budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Sejarah Teungku Chik Di Awe Geutah
Sejarah Teungku Chik Di Awe Geutah
Posted by: Unknown Posted date: 06.50.00 / comment : 0
Di
Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada
rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun
lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang
pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam
mengembangkan agama Islam di Aceh.
Sayangnya
jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang
menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk
melihat pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa
ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa.
Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Aceh tersebut akan
punah ditelan masa.
Pihak
keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui
lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya
untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak
ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran
penulisan sejarahnya itu.
Untunglah
ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah,
yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom.
Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya
dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.
Dari
cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe
Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui
silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah,
tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah
rumah Aceh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan
beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi
kami ketika itu.
Dikisahkan
Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad
Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian
merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun
tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di
desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun
tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.
Perjalanannya
mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam
yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang
lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara
kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.
Mereka
meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk
agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari
perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah
Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah
ke tempat lain.
Pencarian
untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus
menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di
kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau
Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di
pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa
belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka
melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau
lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah
memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian
menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih
dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan
pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan
tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten
Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana
mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan
pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul
Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah
menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan
Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun,
Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai
pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk
di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk
istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di
sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas).
Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain.
Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka
menetap. Negeri itu sudah laklim.
Lalu
mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka
terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju
Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan
Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi
dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).
Sedangkan
satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan
(Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan
tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk
setempat.
Namun
setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok
untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk
itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut,
untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat
arah penjuru mata angin.
Malam
pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia
naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk
wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul
Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana,
namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya,
pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan
Peusangan Selatan sekarang.
Malam
kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut.
Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam
berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara.
Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru
pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke
arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih
dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan
kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang
permanen.
Maka
keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi.
Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah
mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat
itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang
dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah,
setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa
nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama
yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang
di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di
tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama.
Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun
diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah
tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah (Modus Aceh).
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...