budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Kisah Riwayat Hidup Abu Ibrahim Wayla
Posted by: Unknown Posted date: 07.36.00 / comment : 0
Abu
Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh
lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat. Belum pernah terjadi dalam sejarah di
Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat
(takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla.
Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama
30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka
cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga
menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari
sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang
silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh
ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di
wilayah Pantai barat selatan Aceh.
Abu
Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu
Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh
pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun.
sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun
pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian
mendirikan Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya.
Di
antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Abuya Syeikh Muda
Waly Al-Khalidy yang kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru padanya, Abuya Muda
Waly adalah sebagai seorang ulama tareqat Naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut
keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 3
tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng
Kale dan Abu Hasballah Indrapuri. Setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang
dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho di Padang Panjang, beberapa tahun di Padang
Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemudian Syeikh Muda Waly
kembali kepadang dan pulang ke Aceh
Selatan untuk mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Saat
itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali
dari Mekkah dan mendirikan Dayah, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada
Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu Tareqat Naqsyabandiyah. Namun sebelum
itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad)
dan Teungku Bilal yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu
Adnan Bakongan.
Setelah
lebih kurang 3 tahun memperdalam ilmu Tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu
Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu
Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui
kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara.
Menurut
riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu
Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu
Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla
menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri
selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam
kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh,
pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim
Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya
sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. Mungkin bisa kita bayangkan
seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya.
Begitulah
kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun
menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu
sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu
Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini
sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya
berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang
yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan
Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh
keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian,
keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim
Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah
orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Abu
Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama bernama Rukiah, dari
hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang
laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan
bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya yang beliau
nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal tidak dikaruniai
anak.
Menurut
cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang
dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil,
sehingga beliau mengatakan pada isterinya “Saya mau belah perut kamu untuk
melihat anak kita”, kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang pada saat itu
membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan Abu Ibrahim
Woyla pada isterinya itu.
Karena
perkataan seperti itu dianggap perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga
dengan cemas menggatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim
Woyla yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6
bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah
dilakukannya.
Pada
tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi pasangan
suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu Ibrahim
Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu bagi Abu
Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya
pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi
kembali mengembara entah kemana.
Ketika
anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku
Nasruddin barulah kondisi Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama
keluarganya. Dan saat itu Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di
Suwak Trieng untuk menjadi harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di
kemudian hari.
Pada
saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis
hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua
keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama
keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga
Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah kemana. Sehingga
Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidak pedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap
nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya.
Alasan
isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena menurutnya Abu
Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik berzikit
sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi, keinginan Ummii Rukiah untuk
kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah mempersatukan Abu Ibrahim
Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.
Bila
kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya tak ubah
seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf. Banyak sekali tindakan
yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat
diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar
jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah
menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu
Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Itulah
keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla, yang oleh
sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama
yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku
Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga
menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti
semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat dimana umat
selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di
tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu
Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena
kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang
didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang ia
datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam
hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam ( seorang warga
Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa
Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke
sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilawatinya, ia mengelilingi rumah
tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan
menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berzikir LA ILAHA ILLALLAH
yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan
rumah itu. TIdak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah
agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau
mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah ? Wallahu A’lam.
Menurut
Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak
lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia mencontohkan, kalau misalnya
Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata
dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Abu Ibrahim Woyla
membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan
(sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam
kehidupan sehari-hari.
Keajaiban
lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal
kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari
kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana
selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang yang belum
mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal.
Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit
mengucapkan zikir sambil jalan. Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu
ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh
(perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang
anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang
punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya,
kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai
barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim
Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Tak
heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada
seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu
Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan
berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu
karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat.
Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla
sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama
Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim
Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla
meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla
memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya
karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan
kepada Abu Ibrahim Woyla. Karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang
Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul
tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa
bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun
sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam
kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin
menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla
datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla
kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim
Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu Abu
meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk
apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja,
coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu
Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang
biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada
sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Lantas
sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin bertanya,
“Kenapa dengan kaki Abu ?” Abu menjawab “saya baru pulang dari bukit Qaf
(Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau
kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar
kita akan ditangkap polisi”, Abu meneruskan “setelah saya belanja di toko-toko
itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya, karena saya takut duduk
dalam kereta api itu , maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya
sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh”
Kejadian
serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari
Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk
sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk
menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi
isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru
kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang
isteri pada suaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat
dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu
isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang
didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian
pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla,
yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak
peduli terhadap acara pernikahan anaknya. Padahal acara pernikahan itu akan
berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa
untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau
kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari
“H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung
lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah
mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah
sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim
Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke
Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah
anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90
tahun. Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada
pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak
sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan
berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat
pemujaan. (Santridayah)
Tagged with:
atjeh
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...