budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin (Wafat 923 H/1518 M)
Naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin (Wafat 923 H/1518 M)
Posted by: Unknown Posted date: 05.39.00 / comment : 0
DALAM
kunjungan ke Museum Negeri Aceh, 2008 silam, kami memang sudah merencanakan
untuk memeriksa kemungkinan adanya naskah-naskah manuskrip atau apapun catatan
kuno berkaitan—apapun jenis kaitan—dengan Samudra Pasai. Rencana itu dapat
dikatakan gagal karena ternyata kami harus punya kesiapan finansial yang
memadai. Waktu yang kami perkirakan sekitar dua atau tiga hari rencana itu
selesai, tapi dengan mengikuti prosedur Museum, kami mungkin harus berada di
Banda Aceh, paling tidak, satu atau dua pekan. Terang saja kami tidak mampu,
dan nyaris saja kunjungan itu berujung sia-sia. Tapi, Tuhan Maha Pemurah,
timbangan itu benar-benar berbalik setelah kami mendapatkan cetak fotografi
naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin yang dipamerkan di satu ruang Museum bersama
cetak fotografi surat-surat lainnya. Naskah fotografi itu kami foto kembali dan
hasilnya seperti terlihat nantinya.
Sepanjang
pengetahuan kami, naskah fotografi tersebut merupakan satu-satunya kertas
dokumen (arsip) dari zaman Samudra Pasai (abad ke-13—16 M) yang pernah
dipublikasikan untuk khalayak umum. Kami belum pernah melihat naskah lainnya,
andaikata ada.
Pada
komentar gambar naskah fotografi ini disebutkan bahwa naskah asli tercatat sebagai
Cartas Orientas no. 59 pada Arsip Nasional Torre do Tombo, Lisbon, Portugal.
Disebutkan pula bahwa surat ini adalah milik Sultan Zainal ‘Abidin (V)
sementara kami baru menemukan empat makam sultan Samudra Pasai bernama Zainal
‘Abidin.
Perihal
adanya naskah surat Sultan Zainal Abidin yang tersimpan di Lisbon (Lissabon)
pernah diutarakan Almarhum Haji Mohamad Said dalam Aceh Sepanjang Abad. Menurut
Said dan sumber-sumber yang digunakannya, naskah surat itu berisi permohonan
Zainal Abidin kepada wakil raja Portugal di Goa supaya mendukung dirinya
menjadi raja di Pasai dan sebagai imbalan, pihaknya akan memberikan hak
monopoli dagang kepada Portugis. Tahun yang disebutkan Said adalah 1520.
Jika
naskah surat yang dimaksud Said adalah naskah fotografi yang dipamerkan di
Museum Negeri Aceh, maka Said beserta sumber-sumbernya telah keliru mengenai
isi naskah surat tersebut. Sebab, naskah surat sama sekali tidak memuat
“permohonan” sebagaimana dikatakan. Malah sebaliknya, nada kekesalan terhadap
Portugis tampak terang sekali. Namun, jika naskah yang dimaksud adalah lainnya,
berarti ada naskah lain yang barangkali masih tersimpan di Lisbon, dan kita
berharap suatu saat dapat dipublikasikan untuk kepentingan sejarah dan ilmu
pengetahuan.
Hal-hal
menyangkut keautentikan naskah surat ini masih perlu dipelajari sebab naskah
fotografi, bagi kami, tidak mendukung pengamatan bahan-bahan materil, yakni
kertas dan tinta, yang digunakan untuk penulisan surat. Sehingga, dari sisi
ini, naskah fotografi tidak dapat memberikan informasi mengenai waktu
penulisannya.
Pada
naskah fotografi ini, terlihat noda-noda di beberapa bagian lembaran naskah
akibat tinta yang mengembang, atau juga tinta lembaran lain yang menempel pada
lembaran naskah, namun coret-coretan dengan huruf berbalik (dari arah kiri ke
kanan) yang terlihat di beberapa bagian sisi kanan naskah dipastikan adalah
bekas ceplakan tulisan dalam naskah. Ini dikarenakan ± 1/3 kertas surat bagian
kanan pernah dilipat vertikal dari kanan ke kiri sekali lipatan, kemudian surat
dilipat horizontal dengan 4 kali lipatan. Mungkin, ini bentuk lipatan asli
surat pada saat pengirimannya. Dengan kondisi sebagai tersebut, terlihat
indikasi bahwa surat ini pernah berada lama di suatu daerah dengan tingkat
kelembaban tinggi. Karena itu dapat diperkirakan bahwa surat ini telah
tersimpan lama pada seseorang atau sebuah jawatan imperial Portugis di Melaka,
atau mungkin juga Goa, sebelum dipindahkan ke tempat penyimpanannya yang
kemudian.
Di
samping kanan naskah terdapat cap yang belum berhasil kami identifikasikan;
kemungkinan besar adalah cap jawatan yang mengarsipkannya pertama sekali.
Pengamatan
penulis tidak menangkap adanya tanda-tanda khusus surat ini berasal dari Diwan
(sekretariat kesultanan Samudra Pasai, terutama, lantaran tidak ditemukan tanda
tangan (tauqi’at/thughra) atau cap (khatam) yang lazim digunakan untuk
pengesahan surat-menyurat. Hal ini, barangkali, tidak menyalahi fenomena arsip
surat-surat kuno perdagangan India yang ditemukan di Geneza Kairo. Surat-surat
tersebut tidak mencantumkan tanda tangan pemiliknya sehingga satu-satunya
intepretasi yang memungkinkan untuk fenomena ini adalah lantaran penerima surat
telah mengenal pola khath (tulisan) pengirim atau juru tulis dari sumber surat.
Sekalipun
demikian, ada tiga hal yang meyakinkan bahwa naskah surat itu berasal dari
sultan Samudra Pasai dan telah ditulis pada paroh pertama abad ke-10 H/16 M.
Pertama,
nama dan julukan pemilik surat yang tertera pada bagian kepala surat: Sultan
Zainal ‘Abidin al-Qa’im tahta Amri Rabb Al-‘Alamin. Zainal ‘Abidin adalah
sultan terakhir yang ditemukan makamnya di kawasan tinggalan Samudra Pasai
dengan tarikh wafat 923 H/1517 M.
Kedua
dan ini yang amat menguatkan penggunaan khath Ta’liq (Nasta’liq), atau yang
lebih tenar kemudian dengan sebutan khath Farisi. Khath ini lazim digunakan
untuk penulisan surat-surat resmi negara di kawasan-kawasan yang lebih
dipengaruhi unsur kebudayaan Islam Persia sebagaimana halnya India.
Ketiga,
isi surat yang memuat peristiwa-peristiwa sejarah pada permulaan abad ke-16 M
di mana Portugis sebagai kekuatan imperialisme pertama Eropa telah berhasil
menancapkan kakinya di India dan kepulauannya.
Naskah
surat ini terdiri dari 27 baris, dan penulisan teksnya terlihat lebih condong
ke sebelah kiri halaman kertas sehingga ujung-ujung kalimat pada sebelah kiri
halaman tampak padat sekali dan tak jarang dibelokkan ke atas.
Teks Naskah
السطر النص
(1) المحبة
والمودة من سلطان زين العابدين القائم تحت أمر رب العالمين إلى كـﭭـِتَانْ مُوران
(2) في
حضان سلطان ﭬرتكال الذي متعلق في ملكه كل الديار أما بعد [فـ]لما رأينا الورقة
(3) من
جانبكم الذي بودي جراني فرح قلوبنا وصدق المتحابين بيننا وبينكم وإذا
(4) رأينا
أمين الـﭭرتكال من كوح (كذا)[6] كلم أو من ملاقات نكرم ونهدي كل ما حضر في بلادنا
(5) لاينقطع
محبتنا من الأول حتى الآن عندكم وبعد هذا قد جاء إلينا منويل فلقم شر الناس
(6) فعلا
فأول فعله جاء الطراد من ﭬريامن إلى شموطره وأهل الشموطرة كثير فيه يغصبه
(7) ثلاثون
(كذا)[7] درهما من الذهب وأهل الطراد كلهم يـبيعه وبعضهم قتله والثاني جاء الطراد من
(8) بنجالا
يأخذ منهم مئتين وعشرين ونصف طرفايات[8] درهما وواحد أمة وواحد طراد بنجالا
(9) بنسبتهم
(كذا) إلى شموطرة يؤديه إلى ملاقات وأموال أهل شموطرة كثير في الطراد والثالث
(10) جاء
من … إلى شموطره …… يغصبه وقتله أربعة أنفار وأنفار أهل
(11) مَرقش
اثنين والرابع يريد منا مائة وعشرين ونصف طرفايات درهما
(12) بزوره
ولِبستيع (كذا) عشرون والخامس يأخذه (كذا) خمسين عبيدا وأمة من عبيد أهل شموطره
(13) ويؤديه
إلى ملاقات والسادس يريد منا فلفل خمسين بهار بزوره وبعد هذا
(14) جاء
إلينا كـسـﭭر مـﭼـّاضُ وأيضا شر الناس فعلا فأول فعله جاء إلى شموطره طرّاد
(15) ديو
يأخذ منهم مائتين طرفايات درهما بزوره وقهره والثاني جاء إلى شموطره
(16) طراد
من الكمباية فأصحاب الطراد ملك الكمباية واسم ناخوذه عليخان (كذا) أخذ منهم مائة
(17) طرفايات
درهما والثالث جاء إلى شموطره طراد من الـﭭـَلَيْكات يعني فاتِ (كذا)
(18) وفي
الطراد أموال أهل شموطره كثير يأخذه (كذا) مائة طرفايات درهما منهم بغصبه
(19) وقهره
والرابع جاء إلى شموطره طراد ناوُرْ يعني ناتِ (كذا)[9] يأخذ منهم مائة طرفايات
(20) درهما
وعشرين ونصف درهما والخامس جاء إلى شموطره مركب من بَرُّوس اسم
(21) البلاد
(كذا) فيه أموال سلطان بنجالا يأخذ منهم مائة بهارقلّاعا (كذا) وأربعة آلاف
(22) بخوره
(كذا) وأهل مركب كلهم يـبيعه والسادس كم من أهل شموطره يغصبه أموالهم
(23) بغصبه
وقهره وكم من أنفار القاضي والوزير يغضبه (كذا) لأجل هذا نحن نشكو
(24) أحوالنا
عندكم لأن في قلوبنا هذا الأمر ليس من أمر سلطان ﭬرتكال ولا من
(25) أمركم
ولا يعلم سلطان هذا [ا]لأمر من أفعال منويل فلقم و كـسـﭭر مـﭼـّاضُ لأنا نعلم
(26) لا
يريد سلطان وكفتان موران [أن] يضر إلى بندره لأن بندرنا بندركم فيجوز (كذا)
(27) أنتم
يحفظه (كذا) []
Terjemah:
Rasa
hormat dan hubungan baik dari Sultan Zainal ‘Abidin Al-Qa’im tahta Amri Rabbil
‘Alamin (penyelenggara urusan kaum muslimin di bawah perintah Tuhan semesta
alam) kepada Kapitan Moran (Morano?) di haribaan Sultan Portugal yang terikat
seluruh negeri dalam kerajaannya.
Amma Ba’du
Ketika
kami melihat (menerima) surat dari Anda yang [memang] saya harapkan [?], maka
saya terbawa [larut] oleh kegembiraan hati kami dan kesungguhan jalinan baik di
antara kami dan Anda. Dan ketika orang kepercayaan Portugis tiba dari Kuj Kulam
atau Mulaqat (Melaka), kami hormati dan kami hadiahi seluruh [hasil bumi] yang
sampai ke negeri kami. Tidak pernah putus rasa hormat (hubungan baik) kami
sejak awal sampai waktu ini terhadap Anda.
Kemudian,
Manuel Falxem (?) datang kepada kami. Ia adalah orang yang paling jahat
kelakuannya.
Yang
pertama sekali ia perbuat ialah ketika tiba kapal barang dari Fariyaman
(Pariaman) ke Syummuththrah (Sumatra/Samudra Pasai). Di dalamnya banyak orang Sumatra. Ia merampas [sejumlah]
30 dirham dari emas. Semua awak kapal barang itu dijualnya dan sebagian lagi
dibunuh.
Yang kedua,
ketika kapal barang dari Bengal tiba, ia merampas dari mereka 225 tharfayat (?)
dirham dan satu budak perempuan, dan satu kapal barang Benggala yang seharusnya
[?] ke Sumatra [kemudian] dibawa ke Melaka padahal banyak sekali harta benda
orang-orang Sumatra dalam kapal kontainer itu.
Ketiga, datang
dari… dirampasnya dan ia membunuh empat
orang, dua orang di antaranya adalah
penduduk Maraqqusy (?).
Keempat,
ia menginginkan dari kami 125 tharfayat dirham dengan semena-mena (lalim) dan
[…?] dua puluh.
Kelima, ia mengambil
lima puluh hamba sahaya laki-laki dan perempuan dari penduduk Sumatra dan
membawanya ke Melaka.
Keenam, ia
menginginkan dari kami lada sebanyak lima puluh (50) pikul dengan semena-mena.
Setelah
itu, Caspar Moggado (?) datang kepada kami. Dia juga orang yang paling jahat
perbuatannya.
Yang
pertama dilakukannya ialah ketika kapal kontainer Diyu tiba di Sumatra. Ia
mengambil dari mereka 200 tharfayat dirham dengan semena-mena dan pemaksaan.
Kedua, ketika
tiba di Sumatra kapal barang dari Kambayat (Kambai) sementara pemilik kapal
barang adalah Raja Kambai dan nama nakhodanya ‘Alikhan. Dia (Caspar Moggado)
mengambil dari mereka 100 tharfayat dirham.
Ketiga,
ketika kapal barang dari Falaykat (?), yakni Fati (?) tiba dan dalam kapal
barang itu banyak harta benda penduduk Sumatra. Ia mengambilnya dari mereka 100
tharfayat dirham dengan semena-mena dan paksa.
Keempat,
ketika kapal barang dari Nawur (Navur?), yakni Fati (?) tiba. Ia mengambil dari
mereka 125 tharfayat dirham.
Kelima,
ketika sebuah kapal [penumpang] dari Barrus, nama negeri yang di dalamnya
terdapat harta benda Raja Bengal, ia mengambil dari mereka 100 pikul qula’ (?)
dan 4000 bukhur-nya (kemenyan), dan semua awak kapal dijualnya.
Keenam,
berapa banyak penduduk Sumatra yang dirampas harta benda mereka secara
semena-mena dan paksa, dan berapa banyak orang-orang Qadhi dan Wazir yang
dibuat murka (dirampasnya).
Dari
itu, kami mengadukan keadaan-keadaan kami ini kepada Anda sebab dalam hati kami
ini ada persoalan tersebut, [yakni] persoalan yang tidak pernah dirasakan oleh
Sultan Portugal atau Anda sendiri, bahkan Sultan Portugal tidak tahu persoalan
kelakuan-kelakuan Manuel Falxem dan Caspar Moggado sebab sesungguhnya kami tahu
Sultan [Portugal] dan Kapitan Moran tidak ingin merugikan bandarnya sendiri
karena bandar kami adalah bandar Anda juga maka bolehlah… Anda, [ia] menjaganya
(maka seharusnya, Anda menjaganya juga).
Komentar-komentar Awal
Pertama:
Naskah
surat tidak dibuka dengan basmallah atau tahiyyah (salam) karena surat
ditujukan kepada orang berlainan aqidah. Sebab itu cukup dibuka dengan beberapa
kalimat diplomatis menyatakan hubungan baik yang terjalin.
Kedua:
Seperti
dikatakan, pengirim atau pemilik surat adalah Sultan Zainal ‘Abidin, yang dalam
surat itu tertera gelarannya, yaitu al-Qa’im tahta Amr Rabb Al-‘Alamin (orang
yang mengurusi Muslimin di bawah perintah Tuhan semesta alam). Zainal ‘Abidin
adalah putera Sultan Mahmud (W. 872 H/1468 M) anak dari Zainal
‘AbidinRa-’Ubabdar. Kakek dari pihak ayahnya, yakni Zainal ‘Abidin Ra ‘Ubabdar yang
juga bergelar Al-Malik Azh-Zhahir ini, adalah piut dari Al-Malik Ash-Shalih
(696 H/1297 M). Beberapa petunjuk penting yang terdapat pada makam puteranya
yang lain, yaitu Khujah As-Sulthan Al-’Adil Ahmad (W. 864 H/1460 M),
mengungkapkan bahwa pada zaman pemerintahan Zainal ‘Abidin Ra-‘Ubabdar, Samudra
Pasai mencapai masa puncak kegemilangan dan berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai pelosok Asia Tenggara yang amat jauh.
Namun
persoalan mengenai pemilik surat ini tidak tuntas begitu saja. Mohamad Said
serta sumber-sumbernya, begitu pula para penulis sejarah yang lain, menyebutkan
bahwa Sultan Zainal ‘Abidin masih hidup setelah 1518.[11] Said dan lainnya,
memang, tidak menyebutkan kapan Zainal ‘Abidin wafat tapi nama sultan Zainal
‘Abidin masih disebut-sebut untuk peristiwa-peristiwa sampai dengan 1521. Meski
mereka telah keliru jika menyangka bahwa Sultan Zainal ‘Abidin yang memerintah
Samudra Pasai di belasan awal abad ke-16 M telah hidup sesudah 1517, tapi bagi
kami, persoalannya ialah adakah sultan bernama Zainal ‘Abidin sesudah Zainal
‘Abidin yang wafat pada 1517 M?
Pada
komentar naskah fotografi, memang, disebutkan bahwa pemilik atau pengirim surat
itu adalah Zainal ‘Abidin V, namun dari inskripsi makam-makam yang dijumpai di
kawasan tinggalan Samudra Pasai hanya ada empat sultan bernama Zainal ‘Abidin
yang diketemukan sampai dengan saat ini: 1. Zainal Abidin, ayahanda dari Ratu
Nahrasyiyah (wafat sekitar tahun-tahun permulaan abad ke-9 H/15 M); 2. Zainal
‘Abidin Ra-Ubabdar Al-Malik Azh-Zhahir (W. 841 H/1438 M), kemenakan Zainal
‘Abidin I, putera dari saudaranya yang bernama Ahmad (makam dan tarikh wafatnya
yang terakhir tidak diketahui); 3. Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Zainal ‘Abidin
Al-Malik Azh-Zhahir (W. 878 H/ 1474 M); dan 4. Zainal ‘Abidin bin Mahmud (W.
923 H/1517 M).
Kemudian, ada tiga hal yang juga perlu
dipertimbangkan:
Satu
Tidak ditemukan sama sekali makam sultan Samudra Pasai yang bertarikh wafat
lebih akhir dari makam Sultan Zainal ‘Abidin yang wafat pada 1517 M, meski
ditemukan beberapa makam bukan sultan yang bertarikh wafat sesudahnya, salah
satunya adalah makam yang kami duga milik permaisuri Sultan Zainal Abidin IV
sendiri karena dimakamkan persis di samping makamnya.
Dua
Epigrafi ayat-ayat Al-Qur’an dan syair pada makam Sultan Zainal Abidin yang
secara lebih kental mengisyaratkan ihwal masa akhir dan kesudahan zaman Samudra
Pasai.
Tiga
Nisan makam Maharaja Ibrahim (W. 930 H/1524 M) di Ilie, Ulee Kareng, Banda
Aceh, yang bercorak nisan makam Samudra Pasai periode terakhir. Kami melihat
ini sebagai petunjuk bahwa dialah penguasa (raja) Samudra Pasai setelah Zainal
‘Abidin wafat, yakni ketika Samudra Pasai telah menjadi wilayah bagian dari
Kesultanan Aceh Darussalam yang diperintah oleh Sultan ‘Ali Al-Makhshush bi
Mughayatillah (‘Ali Mughayat Syah) bin Syamsu Syah bin Munawwar Syah (W. 936
H/1530 M).[12] Para sejarawan menyebutkan bahwa Maharaja Ibrahim adalah saudara
Ali Mughayat Syah dan dialah orang yang telah membebaskan Samudra Pasai dari
kungkungan Portugis.
Mempertimbangkan
hal-hal tersebut, kami mencoba memberi kesimpulan sementara bahwa pemilik surat
tersebut adalah Sultan Zainal ‘Abidin yang wafat pada 923 H/1517 M.
Ketiga:
Kapitan
Moran (Morano; Muran?), tampaknya, adalah perwakilan gubernur Portugis di
Melaka. Tidak disebutkan siapakah viceroy atau gubernur Portugal di Goa pada
waktu itu.[14] Mungkin, salah seorang dari dua pejabat tinggi Portugis: Lopo
Soares de Albergaria (1515-1518 M) yang menggantikan Afonso de Albuquerque
(1515), atau Diogo Lopes de Sequiera (1518-1521 M).
Apabila
surat ini ditujukan kepada Sequiera, maka boleh jadi naskah surat ini telah
ditulis pada masa akhir hidup Sultan Zainal ‘Abidin. Agaknya, hal ini memang
lebih mungkin, selain karena isi surat menggambarkan perihal buruk yang dialami
Samudra Pasai dalam masa-masa itu, Sequiera juga barangkali dikenal sebagai
seorang yang lebih memungkinkan untuk diajak berdiplomasi.
Terkait
perantara antara Sultan Samudra Pasai dan pemerintah Portugis di Goa,
sepertinya, Kapitan Moran telah mewakili pihak Portugis dalam kesepakatan untuk
mengikat hubungan baik, antara Samudra Pasai dan Portugis di Melaka. Atas
kesepakatan itu, Samudra Pasai tidak mengganggu setiap lalu lintas Portugis,
Goa-Melaka, dan tampaknya Sultan Samudra Pasai telah memberikan hak monopoli
dagang kepada pihak Portugis. Teks surat: Dan ketika orang kepercayaan Portugis
tiba dari Kuj Kulam atau Mulaqat (Melaka), kami hormati dan kami hadiahi
seluruh [hasil bumi] yang sampai ke negeri kami.
Selain
Kapitan Moran, naskah surat juga menyebutkan Portugis bernama Manuel Falxem (?)
dan Caspar Mogado (?). Marsden dalam Sejarah Sumatra menyebutkan dua orang
Portugis bernama: Gaspar d’Acosta dan Manuel Pacheco.
Marsden
menuturkan:
“Beberapa
waktu sebelum kejadian ini (yakni, Diego Pacheco mengelilingi Sumatra—pasca
1511), sebuah kapal di bawah komando Gaspar d’Acosta hilang di pulau Gomez (?)
dekat tanjung Aceh. Orang-orang Aceh menyerang kapal itu, membunuh sejumlah
orang dan menawan sisanya. Kapal milik Joano de Lima dibajak di dekat pantai
dan orang-orang Portugis dibunuh. Penghinaan-penghinaan dan perlakuan buruk
lainnya yang dialami Portugis di Pasai menggerakkan gubernur Malaka, Garcia de
Sa, untuk mengirim kapal di bawah pimpinan Manuel Pacheco. Kapal itu bertujuan
untuk menuntut balas. Untuk itu, ia meblokade pelabuhan-pelabuhan dan mencegah
bandar-bandar Pasai mendapat bahan makanan. Akhirnya Sultan Pasai mengirim
utusan untuk berdamai dengan pemerintahan Portugis di Malaka. Pemerintah Malaka
menerima usulan tersebut.”
Apakah
Gaspar dan Manuel ini yang dimaksud dalam naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin?
Sekalipun tidak dapat dipastikan, tapi peristiwa yang dituturkan Marsden tampak
ada kaitannya dengan isi surat Sultan Zainal ‘Abidin. Cuma boleh jadi, setiap
pihak (Samudra Pasai dan Portugis) mewakili sudut pandangnya masing-masing,
atau justeru sumber Portugis yang diduga kuat telah memanipulasi fakta
sebenarnya, atau menggunting sebagian kenyataan, untuk membenarkan tindakan
ekspansionisnya atas Samudra Pasai.
Keempat:
Penyebutan
sultan untuk wakil raja atau gubernur Portugis di Goa. Hal ini juga diutarakan
Tome Pires dalamThe Suma Oriental-nya. Tome Pires menyebutkan bahwa kala itu
sebutan sultan di kawasan timur India hanya dikhususkan untuk penguasa tiga
negeri; Pasai, Melaka dan Bengal. Sementara lainnya disebut dengan raja. Tome
Pires menulis: “Surat-surat dari
Portugis untuk raja mana saja yang dituju di kawasan itu harus dicantumkan:
Dari Sultan Portugal kepada raja ini dan itu.”
Kelima:
Disebutkan
dalam naskah surat bahwa seluruh negeri Islam terikat hubungan dengan
pemerintah atau sultan Portugal. Ini merupakan gambaran umum Dunia Islam antara
1514-1518 setelah Portugis berhasil mendirikan pos-pos dagangnya di berbagai
pangkalan strategis Dunia Islam dari Teluk Arab/Persia sampai Melaka setelah
Penaklukan de Alboquerqei pada 1511.
Keenam:
Naskah
surat menyebutkan beberapa nama negeri yang memiliki hubungan langsung dengan
Samudra Pasai. Di antara negeri-negeri itu ada yang masih menggunakan nama
tersebut sampai dengan hari ini, sementara beberapa lainnya masih perlu kepada
penyelidikan lanjut.
Dari
sini tampak jelas hubungan luas Samudra Pasai dengan negeri-negeri terkenal
lainnya. Naskah menyebutkan:
1. Portugal
(Fertugal).
Salah
satu kerajaan Eropa di semenanjung Iberia yang merupakan kekuatan imperialisme
pertama menjajah Timur. Hasrat untuk sampai ke negeri-negeri di Timur lewat
jalur lain yang jauh dari wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyah (Ottoman),
sejak awalnya, telah disemangati oleh usaha-usaha Pangeran Henry (1393-1460)
dari Portugal yang terkenal dengan Mualim. Usaha itu berbuah keberhasilan
setelah Vasco de Gama berhasil melintas Tanjung Harapan (Cape of Hope) dan
sampai ke India pada 1497.
Tak
lama setelah de Gama mencapai India, Portugis mulai meluaskan pengaruh dan
pendudukannya di negeri-negeri Timur Islam dengan mendirikan benteng dan pos
perdagangannya (factories). Kekuatan imperialisme Barat yang pertama ini
melangkah jauh dari negeri asalnya di semenanjung Iberia sampai dengan Melaka sebuah
bandar strategis untuk pertukaran komuditi niaga antara Asia bagian
Barat-Selatan dan Asia Tenggara-Timur Jauh setelah berhasil merebut Goa dan
menjadikannya sebagai pusat pemerintahan imperiumnya di Timur. Dan setelah
1509, Albuquerque (viceroy) merupakan tokoh paling berpengaruh dalam kegiatan imperialisme
Portugis di Timur.
2.Kouj Kalim
(Kulam-mali)
Kouj
Kalim, atau barangkali Kulam. Meskipun kami belum berhasil menjumpai nama kota
seperti ini, dan cuma menjumpai Kouj Bahar di kawasan Bengal, tapi dapat
diperkirakan bahwa yang dimaksud adalah Kulam-mali, salah satu kota pelabuhan
terpenting selain Calicut di Malabar, barat India. Ibnu Baththuthah menyebutkan
Kulam-mali adalah kota terbagus di Malabar dengan pasar-pasarnya yang tertata
rapi. Kota itu memiliki gudang-gudang besar untuk penyimpanan sejumlah komuditi
yang dapat diangkut satu kapal atau lebih.
Dalam
naskah surat disebutkan bahwa setiap utusan Portugis yang datang dari
Kulam-mali hendak menuju Melaka atau sebaliknya, disambut dengan baik di
Samudra dan dihadiahi berbagai barang yang dikumpulkan di Samudra.
3. Mulaqat (Melaka)
Naskah
surat ini telah memberikan suatu kepastian tentang asal muasal nama Melaka.
Dari naskah ini diketahui bahwa nama Melaka (Malaka) tidak berasal dari zaman pra-Islam
atau pra-Samudra Pasai sebagaimana dugaan ramai sejarawan. Kata Melaka ternyata
adalah peralihan fonetik dari kata Mulaqat yang berarti tempat perjumpaan. Nama
tersebut diberikan melihat fungsi bandar Melaka yang sengaja dikhususkan
sebagai tempat perjumpaan para pedagang dari Timur dan Barat.
Kami
meyakini bahwa Melaka mencuat sebagai bandar perdagangan terbesar di Asia
Tenggara setelah negeri itu dibuka oleh Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar .
Sebelum itu Melaka, barangkali, hanya sebuah kerajaan kecil yang dihuni
penganut agama Budha yang bermigrasi dari selatan Sumatra atau Singapure. Tidak
mashurnya negeri itu sebelum ditaklukan oleh Sultan Zainal ‘Abidin dari Samudra
Pasai dikarenakan para pedagang dari Asia Barat pada masa sekitar abad ke-7
H/13 M, yang umumnya Muslim, lebih tertarik untuk singgah di bandar-bandar yang
dikuasai Muslim. Hal ini dapat ditangkap dari keterangan Al-Qazwiniy (W. 682
H/1283 M) dalam Atsarul Bilad wa Akhbarul ‘Ibad:
“Jawah
(yakni, pesisir utara Sumatera) adalah negeri di pantai laut Cina seberang
India.
Di
zaman kita sekarang (yakni, paroh kedua abad ke-7 H/ 1283 M), para pedagang
yang pergi ke Cina hanya bisa mencapai negeri ini dan sulit mencapai
negeri-negeri lain sebab selain letaknya yang jauh, juga karena berbeda agama.
Dari negeri ini para pedagang mengambil kemenyan Jawi, kamper… dan membawanya
ke berbagai negeri lain.”
Kami
juga meyakini bahwa setelah Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar membuka negeri
itu, ia menempatkan puteranya Manshur bin Zainal ‘Abidin (W. 882 H/ 1486)
sebagai penguasa Mulaqat (Melaka). Sepeninggal Sultan Zainal ‘Abidin, Manshur
tampaknya telah mengangkat dirinya sebagai sultan di Melaka.
4. Fariyaman (Pariaman)
Dapat
langsung diketahui bahwa tempat yang dimaksud adalah daerah yang disebut
kemudian dengan Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dalam Ensiklopedia Nasional
Indonesia disebutkan bahwa Padang Pariaman telah cukup lama berdiri. Nama
Pariaman berasal dari kata Parsi dan Yaman. Konon, dulunya orang-orang Parsi,
Yaman, Gujarat dan lainnya berdagang sampai daerah ini.
Meskipun
hampir dapat dipastikan bahwa Pariaman telah dikunjungi oleh ramai pedagang
dari kawasan Timur Tengah, Persia, dan India sebelum didatangi orang Eropa
karena kekayaan alamnya, namun sampai dengan saat ini kami belum memperoleh
banyak informasi tentang sejarah Pariaman, begitu pula mengenai keterkaitannya
dengan kerajaan Minangkabau yang dikatakan oleh William Marsden sebagai
kerajaan yang wilayah kekuasaannya di zaman purba meliputi seluruh pulau Sumatera.
Marsden juga mengakui bahwa sejarah Minangkabau sendiri tidak banyak diketahui.
Pada umumnya, keberadaan catatan sejarah kerajaan ini diragukan dan di lain
pihak, sumber-sumber sejarah tertulis tidak ada.
Bagaimanapun,
naskah surat ini menunjukkan bahwa Pariaman telah punya hubungan sangat dekat
dengan Samudra Pasai meski sejauh ini kami belum menemukan sumber-sumber
sejarah untuk mengetahui corak atau watak hubungan tersebut.
5. Syummuthrah
(Sumatra/Samudra Pasai) Telah diterangkan di Bagian pertama.
6. Bengal
Bengal
merupakan kawasan luas di timur anak benua India, dan karena sebagian besar
sungai di timur India bermuara ke kawasan tersebut semisal Gangga, Jamuna dan
Bhrahmaputra, maka kawasan itu juga dikenal dengan sebutan: Bilad Al-Anhar (negeri
sungai-sungai).
Bengal
menjadi kawasan Islam yang tunduk ke Ghur atau kemudian ke Delhi setelah dibuka
oleh Ikhtiyaruddin Muhammad bin Bakhtiyar Al-Khiljiy, salah seorang panglima
Quthubuddin Aibak, di penghujung abad ke-6 H/12 M.
Pada
masa Sultan Ilyas Syah (W. 759 H/1358 M) di pertengahan abad ke-8 H/14 M,
Bengal merupakan kawasan yang meliputi barisan pegunungan Himalaya di utara
sampai dengan teluk Bengal di selatan, dari barisan gunung Lauhitya di timur
sampai dengan dataran tinggi Nagpur Minor di barat.
Sultan
Ilyas sangat bangga dengan sebutan Bengal untuk persatuan negeri-negeri Bengal,
begitu pula dengan sebutan Benggali untuk penduduknya. Dia sendiri memilih
gelar Syah Bengal untuk dirinya sekalipun ia memulai pemerintahannya di Bengal
bagian utara dengan mengambil Pandawa sebagai ibukota pemerintahan. Hal ini
dilakukan sebagai upaya menarik hati rakyat Bengal untuk mendukung pemisahan
diri dari pemerintahan pusat di Delhi.
Pemerintahan
Bengal di bawah kesultanan yang berdiri sendiri, terpisah dari Delhi,
berlangsung sampai dua abad lamanya (739 H/1338 M-945H/1537 H). Dalam masa itu,
Bengal sempat diperintah oleh 24 orang sultan dengan ibukota pemerintahannya
yang berpindah-pindah antara Kuru dan Pandawa (kedua kota kuno di tepi sungai
Gangga itu sekarang sudah terpencil).
Pada
tahun 899 H/1494 M pemerintahan Bengal dipegang oleh Husain Syah yang
sebelumnya memegang jabatan umum (menteri) pada masa pemerintahan Dinasti
Ahbasy, dan menggelar dirinya dengan Sultan ‘Ala’uddin. Dalam masa kepemerintahannya,
Bengal mencapai masa puncak kesejahteraan dan kemakmuran. Sultan Husain sempat
memerintah sampai 27 tahun lamanya yang kemudian diteruskan oleh anak cucu
keturunannya sampai dengan tahun 944 H/1537 M. Ibukota mereka di Kuru
(Hastinapur, sekarang). Dari sini dapat diketahui bahwa Sultan Bengal yang
dimaksud dalam naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin adalah Sultan Husain Syah.
7. Maraqqusy (Maraqsya; Maraqqasy?)
Mulanya,
kami mengenyampingkan kemungkinan yang dimaksud adalah kota Marakkush di barat
Afrika Utara (Maghribi) karena yang terakhir ini ditulis dengan kaf bukan qaf.
Namun, sejauh ini kami pun belum dapat mengetahui pasti tempat atau kota dengan
nama ini. Sekadar untuk memperkirakannya, Maraqqasy bisa jadi adalah Meraxsa,
karena sangat mungkin pengucapan yang tepat bagi nama kota atau tempat tersebut
adalahMaraqsya, dan ini sangat dekat dengan kata-kata Meraxsa. Jika perkiraan
ini tidak meleset, maka boleh jadi yang dimaksud adalah Meraxsa di Banda Aceh
sekarang. Meraxsa merupakan salah satu kota pelabuhan paling utara di pesisir
barat Aceh tempat di mana sekarang lebih dikenal dengan Ulee Lheu. Namun jelas
belum ada sandaran apapun untuk menegaskan hal ini, dan masih saja terbuka
kemungkinan yang dimaksud ialah Marakkush di Maghribi (Moroko).
8. Diyu
Diyu
adalah sebuah kota pelabuhan India yang terletak di mulut teluk menuju Kambai.
Dermaganya dipadati berbagai komuditi yang diangkut dari berbagai negeri di
samudera India. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang. Setiap
tahunnya, lebih dari 2000 orang sampai ke dermaga ini. Suatu hal yang dapat
dipastikan, perdagangan merupakan tonggak utama perekonomian Diyu. Pemerintah
Diyu, kala itu, tidak hanya membuka tangan bagi setiap pedagang yang datang
tapi juga menggalakkan mereka untuk berniaga ke Diyu dengan memberikan berbagai
fasilitas dan hadiah kepada mereka.
9. Kambayat
(Kambai)
Kambai
adalah salah satu kota pelabuhan di tepi barat India berada dalam teluk yang
dapat dilayari kapal-kapal. Ibnu Baththuthah menyebutkan bahwa saat air laut
surut, kapal-kapal berdiri di atas lumpur dan ketika pasang kapal-kapal itu
mengapung kembali di atas air. Dari laporan Ibnu Baththuthah, dermaga Kambai
tampaknya merupakan sebuah dermaga yang dangkal. Kota ini dipadati pedagang
asing, dan memiliki bangunan-bangunan yang kokoh dan mesjid dalam jumlah
banyak. Para pedagang yang datang bersaing dalam membangun kota ini. Karena
saking banyaknya pedagang yang sampai ke pelabuhan ini, diangkatlah seorang
yang dikenal dengan Malik At-Tujjar (raja para saudagar). Kapal-kapal Arab
mengangkut kuda Arab, wol dan lainnya ke kota tersebut dan mengangkut
rempah-rempah dan lain-lain sebagai gantinya. Di samping itu, pemerintahan
setempat juga mewajibkan para saudagar membayar 1 % dari keuntungan untuk
keperluan kota.
10. Barrus
(Barus)
Pada
1997 satu tim arkeologi Indonesia-Prancis menemukan sebuah cap di Barus
(Sumatera Utara). Cap itu ditemukan di situs Lobu Tua yang diperkirakan oleh
Tim tersebut berasal dari periode pertengahan ke-9 M sampai akhir abad ke-11
M.[31]
Menurut
Ludvik Kallus, inskripsi yang terdapat pada cap tersebut berbunyi Allah,
Muhammad atau Billah, Muhammad.[32] Namun setelah mengamatinya secara saksama
dan menyalin ulang inskripsi tersebut, kami memastikan bahwa inskripsi yang
tertulis pada cap tersebut adalah dua kata: Balush di baris atas danKhamak atau
kata-kata semisal itu di baris bawah. Inskripsi ini tertulis dalam khath Kufi
yang cenderungmuzakhraf (berias) atau muwarraq (berdaun) sebagaimana halnya
khath Kufiy pada periode di mana khath Naskhiy sudah lebih populer digunakan
(penghunjung abad V H dan seterusnya). Fenomena khath Kufiy demikian telah
berkembang di Mesir, lalu dari sana menyebar ke seluruh Dunia Islam, barat dan
timurnya.
Dari
sini, barangkali, bisa disimpulkan bahwa Barrus atau suatu tempat yang kemudian
dikenal dengan Barrus pernah bernama Balush atau Palush.
Tahun 2008,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris
menerbitkan bukuBarus Seribu Tahun Lalu oleh Claude Guillot dkk. Dalam buku itu
dikutip catatan teks Xintang Shu yang menggambarkan Sriwijaya sebagai suatu
kerajaan dibagi menjadi dua kerajaan, termasuk yang paling barat dinamakan
Lang-Po-Lu-Si. Kerajaan ini kaya akan emas, air raksa dan kamper. Lang-Po-lu-si
biasanya diidentifikasikan sebagai Barus.
Dari
keterangan-keterangan ini dapat dijelaskan bahwa pada masa sebelum Barrus, di
kawasan tersebut sudah berdiri kerajaan suku yang telah memeluk Islam dikenal
dengan Balush, Palush atau Po-lu-si. Kapan mulanya kawasan itu lebih dikenal
dengan Barrus, belum dapat diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut. Namun
apabila melihat kepada sistem politik kekabilahan (kesukuan) yang lumrah
dipraktikkan dalam berbagai masyarakat adat, di mana sebuah kerajaan, negeri
atau suku dimiliki sepenuhnya oleh seorang pengayom, maka besar kemungkinan
Balush atau Palush merupakan nama raja yang memerintah di kawasan tersebut
sebelum Barrus atau Parrus yang boleh jadi juga nama seorang raja dan pemimpin
legendaris bagi masyarakat setempat pada masa kemudiannya. Sementara kata
Khamak pada cap Lobu Tua itu, mungkin, punya arti semacam: kerajaan, suku atau
keluarga.
Tidak
mustahil, kemudian, apabila nama Raja Barrus ini melekat untuk wilayah tersebut
sehingga pada pertengahan abad ke-9 H/15 M, atau lebih pastinya permulaan abad
ke-10 H/16 M),[35] wilayah itu sudah dikenal dengan Barrus sampai dengan
sekarang. Kami kira, suatu hari, inskripsi pada nisan-nisan kuno di Barrus akan
memberi jawaban putus tentang hal ini.
11. Fulikat (Palikat) dan Nawur (Navur) yaitu
Fati Dua kota di kawasan pantai Coromandel, India Selatan.
Ketujuh:
Naskah surat
juga menyebutkan beberapa istilah perekonomian dan kelautan yang digunakan di
zaman Samudra Pasai:
Satu
Tharrad. Pada hakikatnya, tharrad adalah
sejenis kapal perang yang digunakan bangsa Arab sejak pertama mereka mengenal
kelautan. Strukturnya yang ramping memungkin kapal ini untuk melaju dengan
kecepatan tinggi. Kapal yang dirancang khusus untuk peperangan ini juga
memiliki ruang-ruang dengan kapasitas yang mampu menampung sekitar 40 ekor kuda
perang, dilengkapi dengan pintu yang bisa dibuka-tutup sesuai keperluan. Kapal
semacam ini kemudian dipakai oleh orang-orang Eropa dan disebut Tartana.
Tapi
menurut kami, tharrad yang dimaksud dalam naskah surat adalah kapal pengangkut
kotak-kotak barang (container) karena thard dalam bahasa Arab berarti barang
kiriman dari satu tempat ke tempat lain.[37] Maka, tharrad bisa bermakna kapal
pengangkut barang-barang kiriman. Bisa juga, dinamakan tharrad untuk kapal-kapal barang ini dikarenakan
strukturnya yang sama dengan kapal perang; ramping, agar mampu melaju dengan
kecepatan tinggi.
Dua
Dirham. Mata uang ini sudah mulai beredar sejak awal sejarah Islam. Dirham
berasal dari bahasa Yunani, drachma, tapi orang-orang Arab mengutipnya dari
bangsa Persia. Mata uang ini dibuat dari perak dan tembaga. Namun, dirham
Samudra Pasai adalah mata uang terbuat dari emas dan perak. Meski lazimnya mata
uang dari emas disebut dengan dinar dan perak disebut dengan dirham, namun di
Samudra Pasai disebut untuk keduanya mengikuti tradisi Persia. Dalam naskah
surat disebutkan: “dirham dari emas”. Pada dirham yang sering ditemukan di
kawasan tinggalan Samudra Pasai tercetak tulisan (inskripsi) As-Sulthan
Al-’Adil pada satu mukanya, dan pada muka yang lain terdapat nama-nama sultan
yang mengeluarkan dirham tersebut.
Tulisan
Malik Azh-Zhahir yang terdapat setelah nama-nama sultan pada sejumlah besar
dirham yang ditemukan adalah tradisi kemudian untuk menandakan seorang sultan
dari garis keturunan Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar yang bergelar Al-Malik
Azh-Zhahir. Pada dirham tertulis Malik tanpa al. Penghapusan al pada awal
kata/nama Arab juga merupakan tradisi Persia. Dengan demikian, menurut kami,
Malik Azh-Zhahir bukan gelar setiap sultan Samudra Pasai sebagaimana dugaan
sebagian sejarawan, tapi adalah penanda dan baru dimulai pada masa generasi
putera Sultan Zainal Abidin Ra-Ubabdar.
Ketiga
Tharfayat. Istilah ini belum diketahui secara pasti maknanya. Kami menduga,
istilah ini bermakna semacam pajak (tax) yang ditarik oleh pemerintah Samudra
Pasai. Tharfayat dapat saja berupa penggabungan dua kata yang dalam istilah
ilmu bahasa Arab disebut dengan Naht (pemahatan), yakni kata thar dari
Syammuthrah atau Samathar dan kata fay dari kata fayyi’ (pajak) lalu
di-jama’-ta’nits-kan menjadi tharfayat. Dengan demikian, barangkali, bisa
dipahami bahwa dua orang Portugis, yang dikeluhkan oleh Sultan Zainal Abidin
dalam suratnya itu, telah merampas banyak kapal barang yang tiba di Sumatra
(Samudra Pasai) atas nama pajak Samudra Pasai. Mungkin, ini sengaja dilakukan
Portugis dalam rangka memperkuat blokadenya atas pelabuhan-pelabuhan Samudra
Pasai serta mempersulit keadaan di dalamnya.
Keempat
Buhar. Kata ini dalam bahasa Arab berarti bawaan atau pikulan.[39] Pikul adalah
sukatan yang barangkali berbeda ukurannya antara satu negeri dengan lainnya.
Satu pikul dapat berukuran 62, 5 kg.
Kelima
Bandar, berasal dari bahasa Persia, maknanya dermaga atau pelabuhan, dan dapat
berarti kota tepi laut yang menjadi pusat perdagangan. Biasanya, dikepalai oleh
seorang Syah Bandar (istilah Persia).
Sedangka Kedelapan:
Naskah
menyebutkan dua jabatan penting dalam kesultanan Samudra Pasai, yakni wazir dan
qadhi. Ini menandakan bahwa dalam sistem pemerintahannya, Samudra Pasai tidak
berbeda dengan negeri-negeri Islam yang lain pada waktu itu.
Kedua
jabatan dalam tata pemerintahan Islam ini memiliki dasar-dasar hukum yang kuat
dalam syari’at Islam. Dalam sejarah Islam, kedua jabatan ini telah mengalami
beberapa perkembangan amat menentukan dalam memberikan bentuk akhir dari
kedudukan dan fungsinya.
Analisis Isi Naskah Surat
Secara
umum, naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin yang ditujukan kepada Kapitan Moran
(?) berisi pengaduan sultan kepada wakil raja (viceroy) atau gubernur Portugis
untuk negeri-negeri di Timur menyangkut tindak semena-mena dua utusan Portugis
di bandar Samudra Pasai. Sultan menyebutkan bahwa tindakan kedua utusan itu
sangat merugikan pihaknya, yang pada akhirnya tentu akan mengeruhkan hubungan
antara Samudra Pasai dan Portugis. Karena itu, Sultan meminta kepada wakil raja
Portugal lewat Kapitan Moran untuk menyikapi berbagai perilaku kedua utusan
Portugis itu.
Dengan
demikian, isi surat ini jelas menunjukkan kondisi masa-masa akhir Samudra
Pasai. Pemilik surat, Sultan Zainal ‘Abidin yang dari inskripsi pada batu
nisannya di komplek pemakaman kesultanan Blang Me, Samudera, Aceh Utara,
diketahui telah wafat pada 923 H (1518 M), yakni setelah empat tahun Khujah
(Khoja) Sultan Ahmad mangkat pada 919 H (1514 M). Dari sini dapat diperkirakan
bahwa teks surat tersebut telah ditulis antara tahun 1514 dan 1518. Besar
kemungkinan ditulis menjelang masa-masa akhir pemerintahan dan hidup Sultan.
Kemungkinan ini didasari kenyataan isi surat yang menggambarkan kesemerautan
kondisi Samudra Pasai serta konflik dengan Portugis yang semakin memuncak.
Semenjak
kejatuhan Melaka di tangan Portugis pada 1511, kerajaan-kerajaan Islam di
kepulauan timur India mengalami tekanan kuat dari bangsa imperialis itu. Watak
penjajahan Portugis yang keras dan kejam di satu sisi, dan semakin melemahnya
kekuatan kerajaan-kerajaan Islam utara Sumatra, terutama Samudra Pasai, dalam
menghadapi rongrongan bangsa penjajah itu, di sisi yang lain, mengarahkan kita
pada suatu kesimpulan bahwa Sultan Zainal ‘Abidin terpaksa mengikat hubungan
dengan Portugis. Barangkali itulah alternatif terbaik yang terpikirkan oleh
Sultan dalam waktu-waktu sulit tersebut demi menyelamatkan Samudra Pasai.
Namun, mungkin, pemimpin politik tertinggi Samudra Pasai itu kemudian menyadari
bahwa pilihannya itu adalah keliru. Masa berhubungan dengan Portugis yang
kurang dari empat tahun itu adalah masa paling buruk bagi Samudra Pasai. Negeri
Islam terbesar di Asia Tenggara ini menyaksikan ketidak-stabilan politik,
sosial dan ekonomi dalam seluruh tingkatannya, dalam dan luar negeri.
Sejauh
penyelidikan kami, antara tarikh wafat Khoja Sultan Ahmad dan Sultan Zainal
‘Abidin tidak ditemukan batu nisan bertarikh serta berukir indah yang menjadi
penanda kehidupan budaya di Samudra Pasai. Hal ini sedikit banyak menjadi
petunjuk atas merosotnya budaya dan peradaban Samudra Pasai dalam waktu-waktu
itu lantaran kekacauan yang terjadi akibat hubungan dengan Portugis.
Hubungan
yang dijalin Sultan dengan Portugis ternyata sia-sia belaka. Bangsa yang dalam
usaha penjajahannya tidak cuma menargetkan rempah-rempah tapi juga untuk
melanjutkan upaya-upaya salibis dalam menundukkan negeri-negeri Islam, tidak
menghormati hubungan tersebut. Suatu penyesalan tentu datang, dan kesan adanya
penyesalan ini terlihat dari ekspresi seniman pemahat batu nisan Sultan Zainal
‘Abidin yang memilih untuk memahat ayat Al-Qur’an, surah At-Taubah: 29, serta
bait-bait syair pewaris tahta Sevilla terakhir, Al-Mu’tamid bin ‘Abbad (W. 488
H/1095 M), pada penanda makam Sultan di komplek pemakaman kesultanan Blang Me,
Samudera, Aceh Utara. Seniman atau siapapun perancang batu nisan Sultan Zainal
‘Abidin ini seolah-olah hendak mengisyaratkan bahwa akhir yang menimpa Samudra
Pasai tidaklah jauh berbeda dengan Andalusia di Spanyol (misykah.com).
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...