budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Harapan Warga Dari Wali Nanggroe
Harapan Warga Dari Wali Nanggroe
Posted by: Unknown Posted date: 20.11.00 / comment : 0
Suara Azan
mengumandang, bukan pertanda mulai masuknya waktu shalat, tapi sebagai tanda
dimulainya prosesi pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh
ke-9, membuat suasana hening dalam ruang
utama gedung DPR Aceh itu.
Lagu Indonesia
Raya juga memecahkan keheningan dalam gedung tak kala pambawa acara
mengumumkan dimulainya pengukuhan Wali
Nanggroe Malik Mahmud yang dihadiri ribuan orang di komplek DPR Aceh, sekitar
pukul 09.00 WIB, Senin (16/2).
Beberapa saat
kemudian, Malik Mahmud Al-Haytar yang menggunakan pakaian adat khas Aceh turun
dari atas mimbar utama menuju sebuah
meja untuk menandatangani "amanat" dari pengukuhan dirinya sebagai
Wali Nanggroe Aceh ke-9.
Sementara Gubernur Aceh Zaini
Abdullah dan Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah berdiri di depan sebagai saksi dalam
pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Dari luar
gedung, ribuan orang tampak khusuk menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe
meski hanya bisa menyaksikannya lewat televisi yang dipancarkan secara langsung
TVRI stasiun Banda Aceh.
Sedangkan di luar komplek
gedung legislatif, belasan ribu laki-laki dan perempuan tampak juga rela
berdiri di atas ruas jalan raya dengan kondisi cuaca panas hanya ingin
menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe yang diharapkan mampu membawa
kesejahteraan, dan perdamaian bagi masyarakat Aceh.
"Kami berharap
dengan adanya Wali Nanggroe, maka masyarakat akan hidup lebih baik dan bisa
sejahtera. Aceh jangan lagi konflik, kepedihan dan kesengsaraan akibat konflik
masih kami rasakan," kata Tgk Hamdani (50), warga Bireuen.
Sementara itu,
Ny Idawati juga berharap agar Aceh kedepan tidak lagi bergelut dengan situasi
ketidakpastian dari berbagai aspek, khususnya masalah keamanan harus
benar-benar bisa mewujudkan daerah ini kondusif.
"Sebagai
seorang ibu, kami berharap situasi Aceh tetap damai, aman dan sejahtera
sehingga tidak lagi adanya rasa was-was. Pilunya hati ketika konflik lalu
jangan sampai terulang kembali dimasa mendatang. Keberadaan Wali Nanggroe harus
membuat Aceh damai, sejahtera," kata wanita asal Calang, Aceh Jaya.
Revitalisasi
peradaban
Sementara itu,
dalam sambutan pertamanya, Wali Nanggroe
Malik Mahmud Al-Haytar menyatakan perlunya melakukan revitalisasi seluruh
peradaban Aceh dan menjadikannya sebagai bagian dari peradanan Indonesia dan
dunia.
"Saya
memandang kita perlu merevitalisasi seluruh pranata peradaban Aceh dan
menjadikannya sebagai bagian dari peradaban Indonesia dan dunia," kata
malik Mahmud di gedung DPRA.
Sebab, menurut Wali Nanggroe
tidak ada artinya status kekhususan dan keistimewaan Aceh jika pranata
peradaban di provinsi ini tidak lagi berfungsi sebagai pilar pembangunan Aceh.
"Akan hilang maknanya
kebebasan, perdamaian dan kemartaban serta peradaban sebuah bangsa, jika kita
tidak saling percaya dan menghormati atas nilai-nilai perdaban kita serta
menjadikannya sebagai landasan dan ciri-ciri khas tamadun Aceh," kata
mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lama berdomisili di luar negeri
itu.
Malik Mahmud juga menyebutkan
tiga tantangan besar kedepan dalam mengurangi kesenjangan sosial, ketidakadilan
ekonomi, dan kesenjangan antara wilayah
yang perlu segera ditemukan resolusinya dalam membangun Aceh secara utuh
berbasiskan nila-nilai peradaban daerah ini.
Pertama, bagaimana semua pihak berdaya menghadapi ancaman
global atas perdamaian dunia yang berdampak pada keberlanjutan perdamaian Aceh.
Kedua, bagaimana
bisa merespon ancaman liberalisasi kebudayaan. Dan ketiga yakni bagaimana juga
harus merespon ancaman sekaligus meraih peluang leberalisasi ekonomi yang
ditandai dengan lonjakan harga pangan dan energi yang terus meningkat secara
cepat.
"Dalam pandangan
saya, perlunya kita melakukan terobosan
dan atau perubahan secara fundamental yang dimulai dari bangku sekolah/madrasah
sejak usia dini hingga perguruan tinggi atau dalam bahasa lainnya kita perlu
melakukan revolusi pendidikan.Sejalan dengan proses transformasi pengetahuan
yang saat ini sedang berjalan di Aceh," katanya menjelaskan.
Berdasarkan
pandangannya, Malik Mahmud mengatakan perlunya revolusi pendidikan itu karena
pada hakekatnya pendidikan itu adalah
membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreativitas sesuai dengan potensi
atau keunggulan yang dimilikinya.
Kemudian, kata dia nantinya
pendidikan tidak semata-mata untuk mempersiapkan seseorang menjadi pegawai
pemerintah, melainkan anak-anak Aceh yang sejak usia dini sampai perguruan
tinggi sudah dididik berdaya dalam menumbuhkan budaya inovasi kreatifitas dalam
mengelola sumbertdaya alam.
Pro
dan kontra
Kendati
demikian, pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar masih mengundang pro dan kontra
baik di dalam masyarakat Aceh sendiri maupun antara DPRA, Pemerintah Aceh
dengan Pemerintah Pusat (Mendagri).
Sikap sebagian elemen
masyarakat Aceh seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menolak
pengukuhan Wali Nanggroe.
Direktur YARA Safaruddin menilai DPRA dan Pemerintah Aceh
telah melanggar empat aspek terkait dengan pengukuhan Wali Nanggroe Malek
Mahmud Al-Haytar.
"Legislatif dan eksekutif
Aceh mengabaikan 'Legal Drafting' perundang-undangan terkait kegiatan pengukuhan
Wali Nanggroe. Qanun (Perda) lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek
historis, filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun
administratif," katanya.
Ia juga menyebutkan,
pengukuhan Wali Nanggroe itu juga bertentangan dengan aspek historis, karena
dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur Wali Nanggroe.
"Bahkan, terkait dengan
Wali Nanggroe itu kami telah melakukan
cek ke Museum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah
yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi Wali
Nanggroe ini tidak tahu harus diposisikan dimana," kata Safaruddin.
Kemudian, ditinjau dari aspek
filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan
keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam pepatah lokal yakni
"hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet" (hukum dan adat seperti zat
dan sifat).
"Artinya Qanun lembaga
Wali Nanggroe yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat
harus bersendikan nilai-nilai keislaman, namun
nilai keislaman itu tidak tertuang di dalam Qanun Wali nanggroe seperti
meniadakan pembacaan Alquran kepada calon Wali Nanggroe. Itu jelas tidak sesuai dengan pepatah Aceh yang
telah melegenda dalam sanubari masyarakat," katanya.
Selanjutnya, Safaruddin
menjelaskan dari aspek politis bahwa Wali Nanggroe yang dibentuk oleh DPRA
masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh.
Menurut dia, seharusnya DPRA
memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh yang menentang itu, jika jika perlu membuat jajak pendapat/referendum
tentang Qanun Wali Nanggroe seperti yang pernah di sampaikan Banleg DPRA dalam
prokontra Qanun bendera dan lambang.
Kemudian, menurutnya pengukuhan
Wali Nanggroe dari aspek yuridis bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum
untuk melakukan pengukuhan, sebab dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna
Istimewa untuk melantik kepala daerah
oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri.
Safaruddin menjelaskan, bahkan
Qanun tersebut yang menjadi dasar adanya Wali Nanggroe belum dijalankan sesuai
dengan koreksi Kendagri.
"DPRA sebagai lembaga
Legislatif harus memahami tupoksinya sesuai dengan perundang-undangan, malah
kami mempertanyakan siapa yang telah memberikan kewenangan kepada DPRA untuk
melakukan pengukuhan tersebut," kata Direktur YARA menjelaskan.
Ketua DPRA Hasbi Abdullah
menyebutkan, pihaknya sudah melakukan sejumlah perubahan Qanun No 8/2012
setelah mempertimbangkan masukan dari Kementerian Dalam Negeri. Perubahan itu
dituangkan dalam Qanun Nomor 9/2013.
"Kita melihat ke
belakang, pembentukan lembaga wali nanggroe mengalami berbagai kendala,
sehingga terjadi tarik ulur," kata Hasbi menjelaskan.
Meski demikian, keberadaan
lembaga pada awalnya Lembaga Wali Nanngroe juga tidak hanya terjadi
pertentangan antara pusat dan daerah, tapi juga antar elemen masyarakat daerah
ini.
"Meski awalnya terjadi
pertentangan namun semuanya itu kami melihat sebuah situasi biasa di alam
demokratis ini," kata Hasbi Abdullah.
Keberadaan Wali Nanggroe
diharapkan dapat menjadi pemersatu masyarakat Aceh serta mampu membawa
kesejahteraan serta simbol kebesaran Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.(Antara Aceh)
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...