budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Biografi Sheikh Muda Waly al Khalidy
Biografi Sheikh Muda Waly al Khalidy
Posted by: Unknown Posted date: 07.22.00 / comment : 0
Pada kesempatan
ini kita akan mengenal sosok ulama besar Aceh yang ilmunya menyebar ke se
antoro Aceh, karena murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar Aceh, beliau
adalah Abuya Muda wali al-khalidy.
Abuya Muda Waly
Al khalidy dilahirkan diDesa Blang poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten
Aceh Selatan, pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H.
Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra
Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang
masyhur dipanggil masyarakat oleh Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama
aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Tak lama setelah
Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang
wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik
Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh
Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Sheikh
Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syekh Muhammad salim sangat
menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau
pergi mengajar dan berda`wah Sheikh Muda Waly selalu digendong oeh ayahnya.
Mungkin Sheikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya
ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Sheikh Muda Waly masih
dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.
Nama Abuya Muda
Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra
Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku
Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku
Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada
Waly atau lengkapnya Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Perjalanan pendidikan Abuya Muda Waly
Syekh Muda Waly
belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh, dan dasar
ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah
Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School,
beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren
jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh
masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau
sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun belajar di pesantren
Al-Khairiyah, beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di
ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama'ah sama
seperti Pesantren Al-Khairiyah yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang
datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Dipesantren Bustanul Huda barulah beliau
mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti
I`anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn 'Aqil dalam
ilmu nahwu dan sharaf.
Setelah beberapa
tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan
gurunya, Teungku Syekh Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan
gurunya tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat didalam masjid
secara jahar. Dikemudian harinya Syeikh Muda walyingin melanjutkan pendidikan
kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah syekh Muda Waly,
Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syekh Mahmud, minta do'anya untuk dapat
melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas
kelancangan Syekh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah
tersebut. Berkali-kali beliau dan ayahnya meminta ma'af kepada Syekh Mahmud
tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari
Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah, maka timbullah kasus di kecamatan Blang
Pidie. Ada seorang ulama dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh)yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh,
Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu
perdebatan terbuka di ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil
dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad
Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi
tersebut dengan Syekh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau
hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama
setelah itu barulah Syeikh Mahmud mema'afkan kesalahan Syekh Muda Waly yang
berani berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di
Bustanul Huda.
Setelah beberapa
tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan
pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syekh H.Muhammad Salim.
Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syekh H.Muhammad Salim
telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang
dipelajari di Pesantren Bustanul Huda. Sebagai bekal dalam perjalanan beliau
dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain
merupakan milik kakak kandung Syekh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau
diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah
sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata "Biarkan aku antarkan engkau
sampai ke Blang Pidie". Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim
berkata kepada putranya Syekh Muda Waly "biarkan aku antarkan engkau
sampai ke Lama Inong".Pada kali yang ketiga ini Syekh Muda Waly merasa
keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya
merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syeikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar
ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul
Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu
membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.
Sesampainya di
Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin
olehSyeikh H.Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syekh H.Marhaban, menteri muda
pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale
pada pagi hari, pada saat syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab
agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syekh Muda
Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab
tersebut, dengan kalimat terkhir Wa huwa hasbi wa ni'mal wakil. Setelah selesai
pengajian Syeikh Muda Waly merasa bahwa syarahan-syarahan yang diberikan oleh
Syekh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan
apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juga akan sanggup
menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syekh Hasan. Walaupun
demikian beliau tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau.
Bagi Syekh Muda
Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syekh Hasan Krueng Kale, apabila guru
beliau Syeikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Kuerng Kale.
Syekh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren krueng Kale. Beliau bersama Tengku
Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah.
Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah
Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih
menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syeikh
Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al–Quran masih
kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri.
Pesantren Indrapuri tersebut dalam symtem belajar sudah mempergunakan bangku,
satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran kebetulan ada
seorang guru yang membacakan kitab-kitab kuning, Syekh Muda Waly tunjuk tangan
dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau
meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan
murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu
dan memiliki pengetahuan yang luas.
Maka ustaz
tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren
untuk mempersiapkan asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada
saat itu perbekalan yang dibawa Syeikh Muda Waly sudah habis, maka dengan
adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi
memikirkan belanja.
Pimpinan
Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syekh Hasballah Indrapuri sepakat untuk
mengangkat Syekh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren
tersebut. Semenjak saat itu Syekh muda Waly mengajar di pesantren tersebut
tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan
untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai
subuh. Waktu waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar.
Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal
beliau dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian
beliau tidak sakit. Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah
tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang
payung kepada Syekh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang,
Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir
Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi syekh
Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke
Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang
Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo,
Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yang telah mendirikan sebuah perguruan di
Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi
perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku
Hasan mengirimkan Syekh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau
pendahuluan sebelum melanjutkan ke al Azhar.
Berangkatlah
Syekh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali
tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam
School dan kemana beliau harus singgah. Tiba-tiba saja ada seorang penumpang
yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syekh Muda Waly
selama di kapal, orang tersebut bersedia membantu Syekh Muda Waly untuk bisa
sampai ketempat yang beliau tuju.
Setelah sampai
di Normal Islambeliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih
kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri
dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau
lakukan dengan beberapa alasan:
Cita-cita
melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan
memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi
seorang ulama sperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang
diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah olah para pelajar
disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum
memasuki pesantren tersebut. Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak
diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia,
biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda,
ilmu khat dan pelajaran olahraga.
Di normal Islam beliau harus
menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan di lembaga tersebut, Di situ para
pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga
mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syeikh Muda Waly, kalau begini,
lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah
beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.
Setelah beliau
keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga
berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya
`ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syekh Muda Waly supaya
jangan cepat cepat pulang ke Aceh,tetapi menetaplah dulu di Padang,barangkali
ada manfaatnya.
Pada suatu sore
beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung
Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan
seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah.
Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan
menurut Syekh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz
itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak
muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu. Akhirnya para
jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk
menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari,
ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid
ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh
dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat islam Sumatra barat. Dan yang
lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu
dan lain. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo
atau Angku Aceh. Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra
Barat tentang
masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat, seperti masalah
usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al –fitr dan
lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum
muda. Syekh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannyai,
tentu saja berpendirian dalam semua masalah masalah itu seperti pendirian para
ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang
syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang
lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri,
Syeikh Abdul Rauf al-singkili [Syiahkuala], Syeikh Hamzah Fansuri, Syekh
Syamsuddin Sumatrani dan lain lain.
Semuanya
bermazhab Syafi'i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari`at
dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik
dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam
yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja. Karena
itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syeikh
Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan
juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota
padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu,
yaitu syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof.Drs.H. Amura. Syeikh Khatib Ali
ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang. Murid daripada Syeikh Ahmad
Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh
Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh
Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal
di padang karena kegigihannya mempertahankan 'aqidah ahli al-sunnah wa
al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang
ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh
sa`ad Mungka. Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga
beliau menjodohkan Syeikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah
Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syeikh prof.Muhibbuddin Waly. Sejak itulah
kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh
ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau
secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama
lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syeikh Muda waly
juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan
oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syeikh Muda Waliy pada
mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syeikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama
Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama
lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh
Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid-muridnya yang pintar untuk mencoba
pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh
Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syeikh Muda
Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab
oleh Syeikh Muda Waly. Dari situlah, Syekh Muda Waly semakin terkenal
dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syeikh Muda Waly dinikahkan dengan
putri Syekh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim,
Hajjah Rabi'ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly. Akhirnya syekh
Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah
Rasimah.
Rumah itu
terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah
tempat majlis ta`lim Apabila datang hari-hari besar Islam ummat Islam di Kota
Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya
sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda
Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam
rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syekh Hasan Basri, menantu
dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri
beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syekh Muda Waly menunaikan ibadah haji
ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di
Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan
ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari
ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki,
pengarang Hasyiah al- Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab
kitab hadis dari Syekh Ali Al Maliki. Selama di Makkah Syeikh Muda Waly
seangkatan denganSyeikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang
yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al mukarramah .
Abuya muda waly Pulang ke Aceh
Setelah Syekh Muda Waly berjuang
menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti
tidak teratur,tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan
beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah
yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta
pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah
cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan
pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam
Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum
ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau
sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan
melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau
disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan
Haji.
Setelah beberapa
hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren.
Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau
hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai
tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang
masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah. Lahan tempat mendirikan
musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah
mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam
selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula.
Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai
sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya
sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka
beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada.
Beliau membeli
tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran
400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang
berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan
di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh.
Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada
berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Pesantren itu beliau
bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin;di bagian ini
terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan
di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam
pengembangan tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40
hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari
pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin dilokai ini
bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya
agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga: Darul Muta`allimin Ditempat ini
bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al
kampari,guru tasauf Syekh muda Waly.
Keempat : Darus salikin ;dilokasi ini
banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga
digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin ;lokasi yang
paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini .Kalau bukan karena tempat
lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini
apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la ;lakasi ini
merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan
terletak dipinggir jalan. Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly
dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang
belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al
Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia
(Az-Zahidin),hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi
Allah maupun dalam pandangan masyarakat. Tak lama kemudian beliau menikah
dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan
sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan.Pesantren ini merupakan sebuah
pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di pesantren ini
secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi
sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui
perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah
dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah.
Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat
bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga
menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang
ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda
Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan
Murid-Murid
Abuya Muda Waly
1.
Al
Marhum Tgk. H.Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah darul Ulum, Tanoh
Mirah, Bireun
2.
Al
Marhum Tgk.Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum
Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
3.
Al
Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
4.
Tgk.
H.Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesabtren Al Madinatut
Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
5.
Teungku
H.Daud Zamzamy.Aceh Besar.
6.
Al
Marhum Tgk. Syekh Syihabuddin Syah(Abu Keumala) pimpinan pesantren
Safinatussalamah, Medan.
7.
Teungku
Adnan Mahmud pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan
8.
Al
Marhum.Tgk Syekh Marhaban Krueng Kalee(putra Syekh Hasan Krueng kale) mantan
menteri muda era Sukarno
9.
Al
Marhum Tgk.Muhammad Isa Peudada
10. Al Marhum
Tgk.ja`far Shiddiq Kuta Cane
11. Al Marhum Tgk.
Abu Bakar sabil, Meulaboh Aceh Barat
12. Al Marhum
Tgk.Usman fauzi. Cot Iri, Aceh Besar.
13. Syekh.prof.
Muhibbuddin waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14. Al Marhum Syekh
Jailani
15. Al Marhum Syekh
Labai sati, Padang Panjang
16. Al Marhum Tgk.
Qamaruddin, Teunom. Aceh Barat
17. Tgk.Syekh
Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
18. Tgk.Syekh Ahmad
Blang Nibong Aceh Utara
19. Tgk.Syekh Abbas
Parembeu, Aceh Barat
20. Tgk.Syekh
Muhahammad Daud, Gayo
21. Tgk.Syekh Ahmad,
Lam Lawi, Aceh Pidie
22. Tgk.Muhammad
Daud Zamzami, Aceh Basar.
23. Tuanku Idrus,
Batu Basurek, Bangkinang
24. Al Marhum
Tgk.Syekh Amin Umar, Panton labu
25. Syekh Nawawi
Harahap, Tapanuli
26. Al Marhum Tgk
Syekh Usman Basyah, Langsa
27. Tgk.Syekh
Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
28. Tgk.Syekh Basyah
Kamal Lhoung, Aceh Barat Dan lain lain banyak lagi…..
Selain
meninggalkan murid,beliau juga meninggalkan beberapa tulisan diantaranya:
Karya-karya
Abuya Muda Waly
Al fatwa, Sebuah
kitab dalam bahasa indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau
mengenai berbagai macam permasalahan agama Tanwirul anwar, berisi masalah
masalah aqidah
Risalah adab
zikir ismuz Zat Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab
mengenai masalah i`tidaq Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang
perdebatan Syeikh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa`ad Mungka.
Beliau menyebutkan: “Ketahuilah hai
segala ummat Ahlissunnah waljamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad
al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan
Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia
itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Paya
kumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab
ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as
Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan
kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam.
Pada akhirnya
patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib. karena itu maka hamba yang faqir
ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah
adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan
karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama
itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syekh
Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha.
Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungka murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman
Betawi yang masyhur itu.
Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh
Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan
ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi
murid muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut,
karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...