budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
Posted by: Unknown Posted date: 00.34.00 / comment : 0
PENGUATAN EKSISTENSI KELEMBAGAAN KOMNAS HAM
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Latar Belakang
Pada era reformasi ini terdapat sebuah fenomena baru dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia terutama dengan kehadiran lembaga-lembaga yang berbentuk
komisi-komisi negara bersifat independen seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain-lain.[1]
Dari sekian banyak komisi-komisi tersebut, keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) patut mendapat perhatian lebih karena lembaga inilah yang
bisa dianggap sebagai embrional dari kemunculan aneka lembaga serupa yang
dikenal dengan istilah state auxiliary agencies
atau institutions,[2]
dengan segala implikasinya bagi sistem ketatanegaraan Indonesia kontemporer.[3]
Jika melihat sejarah dibentuknya Komnas HAM, maka lembaga ini didirikan pada
masa Orde Baru yang dasar hukum pembentukannya menggunakan Keppres No. 50 Tahun
1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kemudian pada era reformasi keberadaan
Komnas HAM lebih diperkuat lagi dengan diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan Komnas HAM pada awal pendiriannya sempat
diragukan independensinya
karena dianggap rentan oleh intervensi pemerintah. Komnas HAM terkesan tak
lebih dari sebuah lembaga korporatisme negara yang dibentuk oleh pemerintah
untuk meredam kritikan para aktivis HAM agar bergabung dalam derap himne
otoritarianisme pemerintahan Orde Baru.[4]
Komnas HAM dianggap hanya
sebagai alat politik dari kepentingan penguasa Orde Baru untuk memulihkan citra
negatif Indonesia dalam penegakan HAM.
Akan tetapi meski mendapat banyak kritikan, ternyata di luar dugaan Komnas
HAM mampu memperlihatkan kinerja yang cukup baik dan mendapatkan kepercayaan
masyarakat. Kesuksesan Komnas HAM mendapatkan kepercayaan dari masyarakat
semakin membuat publik memiliki ekspektasi tinggi akan keberhasilan kinerjanya.
Apalagi ketika Indonesia memasuki era reformasi, maka Komnas HAM diharapkan
dapat memberikan perlindungan dan penegakan HAM yang lebih baik. Namun
sayangnya ternyata Komnas HAM masih belum mampu memenuhi harapan itu. Begitu
banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi tidak dapat diselesaikan oleh
Komnas HAM, baik itu merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi
pada masa lalu seperti kasus Kedung Ombo, Lampung, penembakan mahasiswa
Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, sampai kasus-kasus yang paling mutakhir saat ini
yaitu kasus Lapindo, hilangnya hak memilih masyarakat dalam pemilihan umum pada
tahun 2009, kasus Mesuji, Bima dan lain-lain. Dengan kondisi seperti itu maka
eksistensi Komnas HAM dipertanyakan karena dianggap tidak mampu dalam
menjalankan fungsinya.
Ketidakberdayaan Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM secara maksimal tidak terlepas dari persoalan desain kelembagaannya yang
masih mengandung sejumlah kelemahan. Seperti persoalan masih lemahnya
independensi dan kewenangan yang
dimiliki, anggaran yang tidak mencukupi, tidak jelasnya kedudukan Komnas HAM
dalam sistem ketatanegaraan dan lain-lain. Meski sebenarnya ditinjau dari segi
pengaturan kelembagaannya sekarang, keberadaan Komnas HAM jauh lebih kuat
dibandingkan pada masa Orde Baru, akan tetapi hal tersebut masih belum memadai
ketika dihadapkan pada tantangan dan kompleksitas persoalan HAM di Indonesia
saat ini. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut terkait dengan eksistensi Komnas
HAM, maka tulisan ini akan mengkaji persoalan kelembagaan Komnas HAM yang masih
mengandung sejumlah kelemahan dan akan dilakukan upaya penguatannya dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
B. Persoalan Kelembagaan Komnas HAM
Eksistensi Komnas HAM saat ini dirasakan masih belum efektif dalam upaya
perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dari
segi pengaturan kelembagaannya masih mengandung sejumlah kelemahan dan tidak
memadai dalam menghadapi begitu kompleksnya persoalan HAM di Indonesia. Adapun
yang menjadi persoalan kelembagaan Komnas HAM, yaitu:
1. Dasar Hukum Pembentukan.
Komnas HAM dibentuk berdasarkan UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan tidak diatur berdasarkan UU khusus melainkan hanya menjadi bagian
pengaturan dari UU lain. Padahal di beberapa negara lain khususnya di kawasan
Asia Pasifik, keberadaan institusi HAM-nya diatur dengan UU khusus, malahan di
Thailand dan Afrika Selatan diatur langsung dengan konstitusi. Keberadaan
Komnas HAM selain tidak diatur dengan UU khusus, juga tidak diatur oleh UUD
1945 secara langsung meski di dalamnya terdapat pengaturan terhadap norma-norma
HAM.
Implikasinya,
Komnas HAM tidak mempunyai legal standing
untuk dapat menjadi pihak baik pemohon maupun termohon dalam sengketa
kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya sehari-hari terutama dalam konteks hubungan kelembagaan
dengan lembaga-lembaga negara lain, persoalan untuk terjadinya sengketa
kewenangan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh Komnas HAM.
2. Persoalan
Independensi dan Kedudukan sebagai Lembaga
Negara
Eksistensi Komnas HAM sebagai lembaga independen diatur secara eksplisit oleh
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[5] Meski Komnas HAM dinyatakan sebagai lembaga yang independen
akan tetapi masih memiliki berbagai persoalan yang dapat mengganggu
independensinya itu. Pertama, soal rekrutmen keanggotaan
komisioner Komnas HAM yang harus melalui mekanisme fit and proper test dan mendapat persetujuan dari DPR serta diresmikan oleh Presiden.
Dalam hal
ini tentu saja menyebabkan
Komnas HAM sebagai lembaga yang rentan untuk adanya intervensi kepentingan
politik dalam pemilihan komisionernya. Dikhawatirkan komisioner yang terpilih
sebenarnya lebih merefleksikan kepentingan
politik yang dominan di DPR daripada integritas dan profesionalitasnya.
Kedua, sistem
pendukung (support system)
Komnas HAM adalah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal (Sekjen)
dan stafnya yang
mempunyai status sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal jika mengacu berdasarkan Prinsip-Prinsip Paris maka keterlibatan pegawai negeri atau pejabat pemerintah dalam sebuah institusi nasional HAM paling jauh
hanya sebagai konsultan.[6] Hal ini dikhawatirkan dengan adanya sekretariat yang
para personilnya terdiri dari PNS akan menyebabkan Komnas HAM rentan untuk
diintervensi oleh pemerintah.
Ketiga, berkaitan
dengan masalah minimnya alokasi
dan mekanisme pengelolaan anggaran. Jumlah alokasi anggaran bagi Komnas HAM belum mencukupi
untuk menopang pelaksanaan tugas, fungsi dan operasionalnya secara optimal.
Begitu juga dengan mekanisme pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh sekretariat yang bersifat birokratis karena
berdasarkan mekanisme pengelolaan keuangan negara. Hal ini
kemudian berujung kepada benturan antara pola kerja Komnas HAM sebagai
komisi independen yang harus
fleksibel, dinamis dan responsif berhadapan dengan mekanisme pengelolaan keuangan negara yang birokratis.[7]
Selain itu berkaitan dengan
kedudukannya, Komnas HAM adalah lembaga yang unik karena di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kedudukannya dirumuskan dengan istilah lembaga yang “setingkat lembaga negara”. Pengaturan
kedudukan Komnas HAM sebagai lembaga yang “setingkat lembaga
negara” telah
menimbulkan banyak sekali penafsiran. Karena apakah yang dimaksud dengan perumusan seperti itu. Apakah
setingkat lembaga negara berarti Komnas HAM adalah lembaga negara atau malahan
bukan. Hal ini menyebabkan tidak jelasnya status kelembagaan Komnas HAM dalam
sistem ketatanegaraan.
3. Kewenangan yang belum memadai dan potensi sengketa
kewenangan
Berdasarkan UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Komnas HAM diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan serta mediasi. Komnas HAM juga memiliki kewenangan sebagai penyelidik
kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan berdasarkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM diberi wewenang
sebagai pengawas dari pelaksanaan UU tersebut.
Melihat sejumlah kewenangan
yang dimiliki oleh Komnas HAM yang tersebar ke dalam beberapa UU seperti di
atas, maka hal ini memperlihatkan tidak adanya sebuah desain kelembagaan Komnas
HAM yang utuh dan komprehensif. Terkesan kewenangan-kewenangan yang dimiliki
oleh Komnas HAM seperti tambal sulam dan tidak sebagai sebuah kewenangan yang
secara sistemik melekat kepada lembaga tersebut dikaitkan dengan tujuan yang
dimandatkan kepadanya.
Selain itu kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM itu
dirasakan masih sangat lemah karena hanya sampai kepada tahapan memberikan
rekomendasi yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Sebagai contoh
dalam konteks kewenangan Komnas
HAM melakukan
penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat, dimana banyak
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang sudah dilakukan penyelidikan oleh
Komnas HAM malahan terhambat di Kejaksaan Agung karena tidak ditindaklanjuti
dengan penyidikan. Dalam konteks ini Komnas HAM tidak berdaya untuk dapat
memaksakan hasil penyelidikannya supaya ditindaklanjuti.
Persoalan banyaknya hasil penyelidikan yang sudah
dilakukan oleh Komnas HAM masih tertahan di Kejaksaan, hal ini disebabkan oleh
relasi institusional yang dikonstruksikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia antara Komnas HAM sebagai penyelidik pro-yustisia dan
Kejaksaan Agung yang merupakan penyidik untuk kasus pelanggaran HAM yang berat.[8]
Menurut Enny Soeprapto, pemisahan
lembaga pelaksana fungsi penyelidikan, fungsi penyidikan dan penuntutan
pelanggaran HAM yang berat seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000 itu,
mengakibatkan ketidaklancaran hubungan antara kedua lembaga yang menjalankan
fungsi tersebut yaitu Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Namun, haruslah dicatat
bahwa ketidaklancaran hubungan itu tidak semata-mata disebabkan oleh pemisahan
“fisik” antara lembaga pelaksana fungsi penyelidikan di satu pihak dan
pelaksana fungsi penyidikan serta penuntutan di pihak lain, melainkan oleh
sering tidak samanya persepsi masing-masing pihak mengenai permasalahan yang
mereka tangani, yaitu pelanggaran HAM yang berat, beserta berbagai aspeknya.[9]
Begitu juga dalam konteks pembentukan Pengadilan HAM
ad hoc atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu seperti yang
diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, yang juga menimbulkan permasalahan terkait
tidak jelasnya mekanisme hubungan kelembagaan antara Komnas HAM, DPR, dan
Presiden. Karena hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM yang
seharusnya dijadikan dasar untuk penyidikan dan pembentukan Pengadilan HAM ad
hoc dapat saja diabaikan oleh DPR.[10]
Problem lainnya berkaitan
kewenangan yang dimiliki oleh Presiden untuk menetapkan Keppres pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc atas usul dari DPR. Di sini tidak ada ketentuan berapa
lama jangka waktu yang mengharuskan Presiden untuk mengeluarkan Keppres tersebut
setelah menerima usul dari DPR. Sebagai contoh adalah hasil rekomendasi Pansus
DPR tentang Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997/1998,
dimana DPR telah meminta dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc namun belum
ditindaklanjuti oleh Presiden sampai sekarang. Persoalan-persoalan hubungan
kelembagaan tersebut tentu saja berdampak kepada ketidakjelasan terhadap
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada dan Komnas HAM tidak dapat
melakukan tindakan apa-apa untuk menyelesaikan karena terbatasnya kewenangan
yang dimiliki.
C. Penguatan Kelembagaan Komnas HAM dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Melihat pengaturan kelembagaan Komnas HAM saat ini yang
masih banyak mengandung sejumlah kekurangan sehingga berimplikasi belum efektif
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Untuk mengatasi persoalan tersebut harus
dilakukan penguatan kelembagaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Adapun penguatan ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:
1. Memperkuat dasar hukum pembentukan Komnas HAM
Upaya memperkuat kelembagaan Komnas HAM harus dimulai
dengan melakukan penguatan terhadap dasar hukum pembentukannya yaitu dengan
diatur langsung oleh konstitusi. Caranya adalah amandemen terhadap UUD 1945
dalam rangka melakukan pengaturan serta penataan terhadap eksistensi Komnas HAM
dan juga terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, terutama keberadaan sejumlah
komisi-komisi independen, berkaitan dengan kedudukan, tugas, fungsi, wewenang,
dan hubungan kelembagaannya yang harus diatur oleh konstitusi.
Keberadaan Komnas HAM sebagai lembaga yang diatur
langsung oleh UUD 1945 akan membawa implikasi, pertama, mempertegas
kedudukannya sebagai lembaga negara bukan hanya sebagai lembaga yang setingkat
dengan lembaga negara seperti yang diatur selama ini; kedua, Komnas HAM akan
memiliki legal standing untuk menjadi
pihak baik sebagai pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan
konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan dapat menjadi solusi untuk memperjelas
hubungan kelembagaan antara Komnas HAM dengan lembaga-lembaga negara lainnya
sehingga dapat menghindari terjadinya overlapping
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi; ketiga, semakin mempertegas urgensi
keberadaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena tugas dan
fungsi yang dimilikinya merupakan fungsi utama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara modern yaitu memberikan perlindungan dan penegakan HAM.
Diharapkan bahwa dengan menjadikan Komnas HAM sebagai
organ konstitusi akan membuat lembaga ini menjadi lebih berwibawa berhadapan
dengan lembaga-lembaga dan pihak-pihak lain dalam kerangka pelaksanaan tugasnya.
Selain itu sejumlah kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM juga
harus diperkuat dan untuk pengaturan lebih rinci tentang organisasi kelembagaannya
akan diatur dengan UU khusus.
2. Memperkuat independensi Komnas HAM
Implikasi Komnas HAM sebagai lembaga yang independen berarti
lembaga ini harus berdiri di antara pemerintah dan masyarakat
sipil, yaitu sebagai suatu
lembaga quasi pemerintah. Di satu pihak keberadaan Komnas HAM meskipun sebagai lembaga negara tidaklah untuk menggantikan institusi
pengadilan atau lembaga legislatif melainkan melengkapi fungsi tersebut. Di
pihak lain, Komnas HAM haruslah tetap independen dari lembaga eksekutif maupun lembaga
pemerintah lainnya.[11]
Sebagai
lembaga independen maka Komnas HAM adalah lembaga yang harus bekerja secara terpisah dari
pemerintah, partai politik, legislatif
serta
semua lembaga
dan situasi yang mungkin dapat mempengaruhi kinerjanya. Namun pengertian independen di sini bukan berarti sama sekali tidak ada
hubungan dengan pemerintah, akan tetapi dimaksudkan tidak adanya intervensi
pemerintah maupun pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Untuk mewujudkan Komnas HAM yang independen maka dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, melalui penataan proses rekrutmen anggota
Komnas HAM; mekanisme rekrutmen komisioner Komnas HAM yang melalui fit and proper test dan harus mendapat persetujuan dari DPR memang rentan untuk adanya intervensi kepentingan
politik. Hal ini dapat
diminimalisir dimana Komnas HAM diberi kewenangan untuk merekrut anggotanya
sendiri dengan membentuk tim seleksi independen. Tim ini yang nantinya akan
melakukan seleksi terhadap para calon anggota Komnas HAM. Diharapkan dari
seleksi oleh tim independen ini akan dihasilkan sejumlah anggota Komnas HAM
yang berkualitas, independen dan berintegritas. Oleh karena itu siapapun yang
terpilih adalah mereka yang layak untuk menjadi anggota Komnas HAM bukan
berdasarkan pertimbangan politik di DPR seperti selama ini.
Selain
mekanisme perekrutan maka dalam konteks wewenang melakukan pemberhentian sangat
berkaitan erat juga dengan independensi Komnas HAM sehingga harus diatur
serinci mungkin keadaan yang dapat menyebabkan diberhentikannya anggota Komnas
HAM. Misal seperti adanya situasi yang berhubungan dengan adanya pelanggaran
hukum serius oleh anggota Komnas HAM atau karena tidak mampu lagi dalam
menjalankan pekerjaan karena sakit secara terus menerus sehingga dapat menjadi
bahan pertimbangan sebagai dasar pemberhentian. Mekanisme pemberhentian anggota
ini sebaiknya diserahkan juga kepada mekanisme internal Komnas HAM melalui
rapat paripurna. Selain itu untuk menjamin independensinya maka para anggota
Komnas HAM dan stafnya harus diberi hak imunitas yaitu hak untuk mendapatkan
kekebalan hukum atas pelaksanaan tugas dan fungsinya dari ancaman gugatan baik
secara perdata maupun pidana yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja dari
Komnas HAM.
Kedua,
penataan terhadap sekretariat sebagai sistem pendukung (support
system); Keberadaan sekretariat Komnas HAM yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal dan para stafnya
yang mempunyai status
sebagai PNS memang tidak sesuai dengan Prinsip-Prinsip Paris yang hanya
memperbolehkan keterlibatan unsur pemerintah atau PNS dalam hubungannya dengan
institusi nasional HAM sebagai penasehat atau konsultan semata tetapi tidak
merupakan bagian dari struktur kelembagaan. Hal ini dimaksudkan supaya
institusi nasional HAM tersebut tidak rentan untuk diintervensi.
Akan tetapi
di Indonesia karena mekanisme pengelolaan anggaran negara harus dilaksanakan
oleh struktur satuan kerja yang personilnya berstatus pegawai negeri sehingga
Komnas HAM yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN tidak dapat menghindar
untuk adanya keterlibatan PNS di dalam sekretariatnya. Untuk menghindari adanya
intervensi dari pemerintah dalam konteks penguatan independensi Komnas HAM maka
para personil PNS yang ada di sekretariat sebaiknya direkrut dan bertanggung
jawab langsung kepada Komnas HAM. Selain itu juga sekretariat Komnas HAM harus
didukung oleh para staf yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
sehingga memiliki kapasitas yang memadai dalam rangka mendukung kinerja
kelembagaan Komnas HAM.
Ketiga, berkaitan
dengan masalah alokasi dan mekanisme pengelolaan anggaran
bagi pembiayaan Komnas HAM;
supaya Komnas HAM dapat berfungsi secara efektif dan independen harus ditopang
dengan alokasi anggaran yang memadai dan mekanisme pengelolaan anggaran yang
tepat dalam kerangka mendukung mekanisme kerja dari Komnas HAM. Untuk mewujudkan independensi Komnas HAM maka
harus adanya independensi melalui otonomi keuangan dimana
Komnas HAM
diberikan tanggung jawab untuk merancang anggaran tahunannya sendiri yang
kemudian diberikan langsung kepada DPR untuk disetujui. Peran DPR dalam urusan
anggaran Komnas HAM, hanya terbatas pada pemeriksaan dan evaluasi laporan
keuangan yang disampaikan oleh Komnas HAM setiap tahunnya.
3. Memperkuat kewenangan yang dimiliki
oleh Komnas HAM
Selama ini sejumlah
kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM dirasakan belum memadai sehingga
dirasakan tidak efektif dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena
itu untuk meningkatkan dan memperkuat efektivitas kelembagaan Komnas HAM selain dengan memperkuat kewenangan yang
sudah ada maka harus juga dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, memberikan
kewenangan kepada Komnas HAM untuk dapat melakukan penyidikan terhadap adanya
kasus pelanggaran HAM yang berat dimana ditegaskan bahwa posisi Kejaksaan Agung
hanya bertindak sebagai penuntut.
Kedua, dalam
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
pada masa lalu, maka lembaga yang berwenang untuk merekomendasikan pembentukannya kepada Presiden adalah Komnas
HAM. Di sini DPR tidak lagi dijadikan sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc seperti sebelumnya, dengan pertimbangan
karena DPR sebagai lembaga politik tidak tepat untuk dilibatkan dalam proses
hukum penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Selain itu, ditentukan jangka
waktu yang harus dipenuhi oleh Presiden dalam mengeluarkan Keppres pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc setelah menerima rekomendasi dari Komnas HAM.
Ketiga, memperkuat
kewenangan Subpoena bagi Komnas HAM terkait
kewenangan pemanggilan orang dimana Komnas HAM harus diberikan kewenangan untuk
melakukan adanya pemanggilan paksa. Setiap orang yang diperlukan kehadirannya,
keterangan, kesaksian, pernyataan, atau kerja samanya oleh Komnas HAM yang jika
dipanggil berturut-turut tiga kali, tetapi tidak datang, maka Komnas HAM
berwenang meminta bantuan Polri untuk menghadirkan yang bersangkutan secara
paksa.[12]
Keempat, dalam
kewenangan pemberian rekomendasi oleh Komnas HAM, maka setiap pihak yang menerima
rekomendasi tersebut wajib untuk melaksanakannya. Dalam hal pihak penerima
rekomendasi tidak bersedia melaksanakan seluruh atau sebagian rekomendasi, maka
pihak penerima rekomendasi wajib menjelaskan secara tertulis kepada Komnas HAM
tentang ketidakbersediaannya itu dalam jangka waktu paling lama tujuh hari.
Apabila Komnas HAM tidak dapat menerima alasan dari penerima rekomendasi,
Komnas HAM dapat mengajukan penetapan pengadilan.[13]
4. Pembentukan Komnas HAM di setiap Provinsi
Saat ini Komnas HAM hanya memiliki Perwakilan di Papua dan Kantor Perwakilan di Aceh, Kalimantan Barat,
Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Selama ini pendirian kantor perwakilan
dan perwakilan Komnas HAM lebih diprioritaskan kepada daerah-daerah yang mempunyai potensi konflik dan belum menyebar ke seluruh
Indonesia yang terutama disebabkan oleh persoalan minimnya dana. Hal ini jelas memperlihatkan
masih belum optimalnya efektivitas dan aksesibilitas bagi jangkauan pelayanan
yang dapat diberikan oleh Komnas HAM kepada masyarakat. Oleh karena itu perlunya
penguatan kelembagaan yang komprehensif bagi Komnas HAM agar mudah diakses oleh
semua pihak dengan cara membentuk kantor perwakilan di setiap Provinsi.
5. Peningkatan Kerjasama Komnas HAM dengan berbagai Pihak
Dalam konteks penguatan kelembagaan maka Komnas HAM harus membangun
kerjasama dengan berbagai pihak baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional. Di tingkat nasional, kerjasama dengan lembaga pemerintah adalah
sangat penting bagi Komnas HAM terutama dapat menggunakan sumber daya dan
keahlian yang tersedia yang ada di lembaga-lembaga pemerintah untuk meningkatkan
efektivitas fungsinya. Kemudian Komnas HAM harus menjalin kerjasama dengan Organisasi
non pemerintah (Ornop), karena dukungan dari Ornop akan sangat berguna bagi
Komnas HAM dalam meningkatkan aksesibilitas kelembagaan dimana Ornop sering
berperan memfasilitasi pengaduan dari korban pelanggaran HAM
ke Komnas HAM. Ornop juga dapat
dijadikan sebagai mitra kerja
dalam program-program seperti pendidikan, pelatihan, dan penyebarluasan
informasi tentang HAM. Selain itu Komnas HAM harus
membangun kerjasama dengan media massa karena media sebagai sumber informasi
yang utama bagi masyarakat
dan sangat
kuat dalam membentuk serta mempengaruhi sikap dan opini publik.
Dalam konteks
internasional, Komnas HAM harus
berperan aktif dalam menjalin dan meningkatkan kerjasama baik dengan berbagai institusi nasional HAM yang ada di
negara-negara lain, maupun meningkatkan kerjasama di tingkat subregional seperti
ASEAN, di tingkat regional Asia Pasifik dan di tingkat internasional yaitu PBB.
Oleh karena itu untuk menjadikan Komnas HAM sebagai
institusi nasional HAM yang efektif harus selalu berupaya menjalin dan meningkatkan kerjasama dengan berbagai
pihak.
D. Penutup
Eksistensi Komnas HAM sebagai institusi nasional HAM masih memiliki
sejumlah kelemahan mulai dari persoalan belum optimalnya dasar hukum
pembentukan, pendanaan yang minim, belum jelasnya hubungan kelembagaan dengan
lembaga-lembaga negara lain, ketidakjelasan kedudukan, persoalan independensi,
terbatasnya kewenangan dan aksesibilitas kelembagaan, dimana hal itu semua memperlihatkan
bahwa eksistensi Komnas HAM di Indonesia belum merupakan sebagai sebuah
institusi nasional HAM yang efektif.
Oleh karena itu untuk memperkuat eksistensi kelembagaan Komnas HAM dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia harus dilakukan penguatan dasar hukum
pembentukannya dengan diatur langsung oleh konstitusi, penguatan independensi kelembagaan
dan kewenangan, alokasi anggaran yang memadai, memperluas akses pelayanan
dengan pembentukan Komnas HAM di setiap Provinsi, serta menjalin dan
meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak baik di level nasional maupun
internasional. Penguatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kelembagaan Komnas
HAM yang efektif dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Makalah
Asplund, Knut D
dkk (Ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta.
Hidayat, Arief dkk, 2010, Penataan Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Studi Lembaga Penunjang Negara (Auxiliary State organ) dalam Rangka Mewujudkan Sistem
Ketatanegaraan yang Efektif dan Efisien, Kerjasama Dewan Ketahanan Nasional
dengan Univesitas Diponegoro, Semarang.
Huda, Ni’matul, 2007. Lembaga
Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta,
Jentera Jurnal Hukum, Edisi 12 tahun III, April-Juni
2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.
Kasim, Ifdhal, 2011, Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa
ini, Jurnal HAM Dignitas: HAM dan Realitas Transisional, Elsam, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara, 2009, Kajian tentang
Penataan Mekanisme Hubungan Antar Lembaga Negara, Pusat Kajian Kinerja
Kelembagaan Lembaga Administrasi Negar, Jakarta.
Pratikno,
Cornelis Lay dkk, 2002, Komnas HAM 1993-1997: Pergulatan dalam Otoritarianisme,
FISIPOL UGM, Yogyakarta.
, 2002, Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan
dalam Transisi politik, Fisipol UGM,
Yogyakarta.
Soeprapto, Enny, 2011,
Meninjau Ulang UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan
pada Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan
oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII)
dengan berkerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University
of Oslo, Yogyakarta, 8-10 Juni 2011.
, 2011, Meninjau Ulang UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM
Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan berkerja sama
dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo, Yogyakarta,
8-10 Juni 2011.
Internet
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/05/03024410/Komnas.HAM.Ajukan.Penguatan.Kewenangan,
diakses pada tanggal 21 April 2012.
http://www.komnasham.go.id
[1]Persoalan
utama dari kehadiran begitu banyaknya komisi-komisi negara independen dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia adalah mereka tidak dibentuk berdasarkan
desain konstitusional yang dapat menjadi payung hukum keberadaannya, tapi hanya
berdasarkan isu-isu parsial, insidental dan sebagai jawaban khusus terhadap
persoalan yang sedang dihadapi. Setidaknya hal ini mengakibatkan munculnya dua
permasalahan, pertama, persoalan legitimasi yuridis bagi keberadaan
komisi-komisi itu sangat lemah, sehingga akan mudah terkendala dalam
menjalankan kewenangannya; kedua, komisi-komisi itu berjalan secara
sendiri-sendiri tanpa tersedia sistematisasi kerja sinergis yang bisa saling
mendukung satu sama lain sehingga hasil kerja suatu komisi seringkali tidak
termanfaatkan dengan baik oleh komisi lainnya. Lihat A. Ahsin Thohari, 2006, Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jentera Jurnal Hukum: Komisi Negara,
Edisi 12 tahun III, April-Juni 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta,
hlm. 32-33.
[2]secara
teoretis banyak penyebutan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena keberadaan
sejumlah komisi-komisi negara dalam sistem ketatanegaraan suatu negara termasuk
Indonesia yaitu ada yang menyebutnya state
auxiliary agencies, state auxiliary institutions, independent and self
regulatory bodies, lembaga ekstra struktural, lembaga kuasi negara, lembaga
negara bantu, lembaga sampiran negara, lembaga penunjang dan lembaga non
struktural. Lihat Ni’matul Huda, 2007, Lembaga
Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 197.
[3]Cornelis
Lay, 2006, State Auxiliary Agencies,….,
Op.Cit, hlm. 5.
[4]Pratikno,
Cornelis Lay dkk, 2002, Komnas HAM
1993-1997: Pergulatan dalam Otoritarianisme, FISIPOL UGM, Yogyakarta, hlm. 4.
[5]Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa Komnas HAM adalah: “sebagai
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi hak asasi manusia”.
[6]Knut D Asplund dkk (Ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta,
hlm. 284.
[7]Arief
Hidayat dkk, 2010, Penataan
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Lembaga Penunjang Negara (Auxiliary
State organ) dalam Rangka Mewujudkan Sistem Ketatanegaraan yang Efektif dan
Efisien), Kerjasama Dewan Ketahanan Nasional dengan Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm. 20.
[8]Ifdhal Kasim, 2011, Komnas
HAM dan Tantangannya Dewasa ini, Jurnal HAM Dignitas: HAM dan Realitas
Transisional, Elsam, Jakarta, hlm. 81.
[9]Enny
Soeprapto, 2011, Meninjau Ulang UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada
Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan oleh
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan
berkerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of
Oslo, Yogyakarta, 8-10 Juni 2011,
hlm. 23-26.
[10] Malahan DPR kadang menyimpulkan
sendiri atas ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat terhadap suatu
peristiwa dengan tanpa memperhatikan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan sejumlah kasus dimana DPR pada periode 1999-2004
telah menyatakan tidak terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa
Trisakti 1998, Semanggi 1998 dan 1999 dan oleh karena itu tidak mengusulkan
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk perkara-perkara
tersebut. Ibid, hlm. 20-21.
[11]Knut
D. Asplund, dkk (Ed), 2008, Hukum Hak…,
Op.Cit, hal. 283.
[12]http://nasional.kompas.com/read/2012/04/05/03024410/Komnas.HAM.Ajukan.Penguatan.Kewenangan,
diakses pada tanggal 21 April 2012.
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
»
Previous
This is the last post.
Popular Posts
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Tante Girang Incar Berondong Di Kota LhokseumaweIni bukan film, tapi nyata terjadi di Kota Petro Dolar Lhokseumawe. Kelompok wanita usia 40an tahun aktif mengincar pemuda berpenampilan ...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
Kenyamanan Orang Sunat dan Tidak SunatPada mulanya, sunat dilakukan sebagai bagian dari tradisi. Namun lama-kelamaan, sunat juga dilakukan untuk kebersihan dan kes...