budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Ulama Mekkah di Samalanga
Posted by: Unknown Posted date: 03.41.00 / comment : 0
Pada
17 Juni 2012 lalu, Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah, Desa Meunasah Subung,
Samalanga, Kabupaten Bireuen, resmi berdiri kembali yang dipimpin oleh seorang
ulama muda Aceh, Tgk Tarmizi HM Daud Al Yusufi. Dayah Meunasah Subung dalam
catatan sejarah didirikan dulunya oleh seorang ulama Mekkah Syeikh Abdussalam
Bawarith Asyi pada tahun 1703 M. Peresmian kembali dayah ini dilakukan oleh Tgk
H Hasanul Basri, pimpinan dayah Mudi Mesra Samalanga, dan ditepung-tawari oleh
Abu Kuta krueng.
Maka
kali ini menarik untuk mengupas riwayat hidup Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi
ini, yang berasal dari Mekkah dan menetap di Cot Meurak, Samalanga, Kabupaten
Bireuen. Hingga sekarang, sosok ulama itu masih menyisakan bukti- bukti sejarah
berupa peninggalan bekas pasantrennya dan tanah-tanah wakaf di Meunasah Subung,
Samalanga, hingga di Mekkah almukarramah.
Kedatangan
Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syeikh Abdurrahim Bawarith
Asyi (Tgk Syik Awe Geutah) ke Aceh pada masa Sultan Badrul Munir Jamailullail
bin Syarif Hasyim (1703-1726).
Sebelum
tiba di Kerajaan Aceh, kedua intelektual muda ini belajar di Zabid, Yaman.
Kemudian ke Mekkah pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji yang berasal dari
Zabid, Yaman. Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji menjabat sebagai mufti di
Mekkah menggantikan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili yang pulang ke Aceh
pada tahun 1665 M.
Pengajian
Syeikh Abdussalam dan Syeikh Abdurrahim pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji
diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah, Kabupaten Bireuen. Di sana
terdapat sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam an-Nawawi tentang
sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal). Informasi ini juga ada dalam
silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip di
Awe Geutah.
Azyumardi
Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan, Syaik Al-Mizjaji seorang guru
dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang Taj Al-‘Urus min Jawahir
Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah AlTaj Al-’Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf
As-Sadah Al-Muttaqin . Murthadha Az-Zabidi kemudian merantau ke Mesir dan
menjadi ulama terkemuka di sana. Azra mengakui bahwa Aceh sangat berperan dalam
membawa gagasan pembaharuan Islam di Nusantara.
Di
Awe Geutah terdapat sebuah surat yang berdasarkan verifikasi sejarawan Aceh
ditulis oleh Syeikh Abdurahim kepada adiknya Syeikh Abdussalam (Tgk Cot
Meurak). Dia meminta adiknya untuk membeli kitab ketika adiknya pulang ke
Mekkah.
Di
sini menunjukkan bahwa Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pernah kembali ke Mekkah
setelah membangun Dayah Meunasah Subung, Samalanga.
Kedatangan
Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi bersama abangnya Syaikh ‘Abdurrahim Bawarith
al-Asyi (anak Syaikh Jamaluddin al-Bawarith dari Zabid Yaman) dengan tujuh
ulama lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi, atas instruksi
dari Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dan Syeikh Ibrahim Kurani. Setelah Syeikh
Abdurrauf Al Fansuri Assingkili meninggal pada tahun 1695, maka teman teman
Syeikh Abdurrauf di Mekkah mengirim muridnya ke Aceh agar ajaran-ajaran Syeikh
Abdurrauf Al Fansuri tetap kekal dan berkembang di Aceh.
Sebagaimana
diketahui bahwa Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, Syeikh Ibrahim Kurani, dan
Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili adalah murid dari Ahmad Qushashi, Ahmad
Shinawi, dan ‘Abd Karim al-Kurani, yang mengembangkan tarekat Shattariyyah di
Haramayn. Maka wajar sampai sekarang di kawasan Samalanga dan sekitarnya masih
sangat berkembang tarekat Shattariyyah.
Dayah Subung Hancur
Perang
Aceh melawan kolonial Belanda yang dimulai pada tanggal 26 Maret 1873 antara lain
dipimpin oleh kalangan ulama yang langsung memimpin pertempuran. Dampak ulama
bertempur yakni dayah-dayah menjadi telantar.
Salah
satu benteng kuat pertahanan Aceh adalah Batee Iliek Samalanga. Belanda
kewalahan mengalahkan benteng Batee Iliek, sampai pada tahun 1877 Jenderal Van
Der Hijden terkena tembakan sehingga menyebabkan satu matanya buta.
Belanda
membutuhkan 28 tahun (1873-1901) untuk mengalahkan benteng Batee Iliek yang
jauhnya hanya 200 meter dari Dayah Meunasah Subung.
Ketika
benteng Batee Iliek ditakluki oleh van Heutzh pada tahun 1901, dayah Meunasah
Subung yang dipimpin oleh Syeikh Yahyauddin Bin Abdurrahim Bawarith, cicit
Syeikh Abdussalam, turut dihancurkan. Seluruh manuskrip dan kitab-kitab pun
terbakar.
Pada
tahun 1930-an, Tgk H Abdullah yang pulang dari Mekkah berkeinginan menghidupkan
kembali Dayah Meunasah Subung. Namun Belanda melarangnya dengan alasan akan
bangkit kembali semangat anti-Belanda di Samalanga. Belanda mengawasi apa pun
gerakan keagamaan di sana yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politiknya.
Sejak
itu Dayah Meunasah Subung hanya tinggal nama, sedangkan warisan tanah wakaf
dayah hingga ke Mekkah, yakni di kawasan Syammiyah. Namun sejak tahun 2008,
tanah wakaf itu termasuk wilayah perluasan Masjidil Haram. Hingga kini proses
ganti rugi tanah masih berlangsung di Mahkamah Syariah Mekkah.
Berdasarkan
tanah-tanah wakaf yang membudaya di Aceh pada masa lalu hingga terbentang di
Mekkah, kita bisa memahami mengapa Aceh disebut Serambi Mekkah. Di halaman
Masjidil Haram terdapat berhektare-hektere tanah wakaf masyarakat Aceh, yang
diwakafkan untuk dunia pendidikan seperti asrama sejak era Chik Pante Kulu.
Budaya
wakaf tanah yang dulu sangat diminati oleh rakyat Aceh patut dilestarikan,
karena itu bagian dari amal di dunia. Dengan menyumbang harta akan melimpah
berkah hingga ke akhirat kelak, karena itu merupakan ajuran agama (Dayah Mudi Mesra)
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Kerangka Diduga Milik Nabi Nuh DitemukanPara staf di Penn Museum, Philadelphia menemukan sebuah kotak kayu berisi kerangka manusia berusia 6.500 tahun. Kotak kayu itu telah t...
-
Berikut Isi Sumpah Wali Nanggroe Aceh IXBANDA ACEH - Malik Mahmud Al Haythar akhirnya mengucapkan sumpahnya sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9. Wali yang bergelar Al Mukarram Maula...
-
Harapan Warga Dari Wali NanggroeSuara Azan mengumandang, bukan pertanda mulai masuknya waktu shalat, tapi sebagai tanda dimulainya prosesi pengukuhan Malik Mahmud Al-Hay...
-
Nelayan Temukan Boat Mesin Menyala tanpa AwakBANDA ACEH - Dua nelayan yang baru pulang melaut, Senin (16/12) sore, menemukan boat tet-tet dengan kondisi mesin menyala, tetapi tanpa a...
-
Pendeta Asal Aceh, Muhamad Husein HoseaDibenaknya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk pindah agama. Tapi rencana Tuhan lain. Di usianya yang tiga tahun, pria kelahiran Sigli...
-
Kitab Kuning yang LegendarisDalam sistem pembelajaran pondok pesantren Salafiyah, ada metode untuk belajar kitab kuning. Kitab ini merupakan kitab-kitab berbahasa...