budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Mistik Rante Bui dan Pawang Rimueng
Posted by: Unknown Posted date: 03.29.00 / comment : 0
DALAM
sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah
satunya, ajimat rante bui yang dipakai
oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk
Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai
kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia
Aceh.
Setelah
Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal
Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira
Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang
dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.
Namun
sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh.
Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai
seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu,
saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.
Tak
mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang
mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit
baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di
daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak
mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.
Maka
“perang” antar spionase pun terjadi.
Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan.
Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka
sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.
Terhadap
peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya
“Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah
permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah
satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba
mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita
(Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan
serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.
Selanjutnya,
mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata
Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di
Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat
lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar
ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar
Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.
Pada
suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia
segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat
yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak
lain merupakan mata-mata dari Teugku
Puteh.
Keduanya
pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera
menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan
seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui
Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan
menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.
Antara
Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon
menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan
disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut
menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.
Soal
kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal
itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya
memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram.
“Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari
orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya
menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.
Namun
Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang
bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik
Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di
Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku
Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan
patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan
menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat
persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis
Zentgraaff.
Pun
demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904,
pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua
aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil
lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.
Jimat
stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan
warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di
Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun
akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt.
Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.
Mayatnya
kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda
heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah
Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.
Sampai
di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di
tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami
berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas
Zentrgaaff.
Panglima
Polem pun kemudian melepaskan rante bui
dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen,
seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap
hal-hal yang berbau mistik.
Setelah
operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu
kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap
dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih
percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat
tersebut.
Akhirnya
rante bui itu dihadiahkan kepada
Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam
etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat
bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.
Pawang Rimueng
Cerita
mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa
penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin
memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja
Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.
Bagi
masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian.
Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial
Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan
akan memakan sepotong hati harimau.
Hal
itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke
pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan
Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran
Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang
bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang
rimueng-red).
Tentang
hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu
dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila
berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat
Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.
Bagi
masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah
kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas
tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di
Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh
orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis
Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.
Mneurut
Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan
tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng
Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak
pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.
Cerita
tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang
sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut
Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan.
Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe,
Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu
rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah
sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.
Dalam
bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang
dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang
harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan
seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari
cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan
pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita
bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam
sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari
hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan
manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai
dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang
tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan
rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau
serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.”
Tulis Zentgraaff.
Keberadaan
pawang rimueng sangat dihargai dalam
masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang
mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari
hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.
Di
beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang
keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu
pula pawang rimueng dapat hidup layak.
Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah
pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal
memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain.
“Mereka terkenal karena sangat culas dan
buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya
mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.
Zentgraaff
mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut.
Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang
rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu
diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun
adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya,
sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang
satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.
Menurut
Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang
kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala
keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan
menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang
berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai
melepaskan dirinya dari kebendaan.
Untuk
memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk
memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu
melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal
lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan
dengan hati yang betul-betul bersih.
Semenjak
dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau,
bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan,
namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak
muda dengan bimbingan pawang tua,
belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia
yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan
ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff (Harian
Aceh)
Tagged with:
atjeh
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...