budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Sejarah Singkat Abu Keumala
Posted by: Unknown Posted date: 07.15.00 / comment : 0
Sejarah
Singkat Abu Keumala-Abu Keumala" itulah gelar untuk seorang Ulama populer
Aceh yang bernama lengkap Teungku Haji Syihabuddin Syah. Masyarakat Aceh
mengenalnya sebagai orator ulung karena kelihaiannya dalam menyampaikan dakwah
yang terkesan unik dan sarat dengan ilmu pengetahuan. Salah satu keunikan dari
ceramah Abu Keumala ialah apa saja yang disaksikan atau yang sedang terjadi,
mampu beliau jadikan bahan perbandingan dalam ceramahnya terutama yang
menyangkut masalah ketauhidan. Abu sangat membidangi bidang tauhid, sehingga
Abu Sulaiman lhoksukon menghadiahkan sebatang tongkat untuk abu sebagai
penghargaan atas keistimewaannya. Selain berpidato dan berceramah, Abu juga
mengisi hari-harinya dengan seumeubeut (mengajar) dan menulis. Salah satu karya
beliau yang terkenal adalah " Risalah Makrifah ". sebuah karya di
bidang tauhid yang sangat penting dimiliki oleh semua golongan.
Asal-Usul
Teungku
Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala berasal
dari Seuneuddon Aceh Utara, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir dari
pasangan Teungku Syah kuban dan Nyak La sekitar tahun 1928. Selain Abu keumala,
terdapat banyak Ulama yang berasal dari seuneuddon seperti Abu Seuriget, Langsa
(Teungku Muhammad) yang merupakan pendiri dayah Darul Mu'arif, teungku Muhammad
Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965-1975), Abu Panton
(Teungku Ibrahim Bardan) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (1975 -
sekarang), dan Abu Alue Bilie (Teungku Karimuddin) pimpinan dayah Babussalam
Pante Breuh.
Pendidikan Dayah
Semenjak
umur sembilan tahun, Abu telah belajar di Dayah keumala Kabupaten Pidie, dan
beberapa Dayah lainnya yang terkenal di Aceh termasuk Dayah Abu Krueng kale,
baru kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Dayah Labuhan haji, Aceh
selatan yang saat itu dipimpin oleh Abuya Tgk. H. Muhammad Waly al-Khalidi yang
merupakan Ulama besar Aceh dan sekaligus guru para Ulama Aceh, namun Karena
lama belajar di dayah Keumala, maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan
panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala.
Abu
keumala dapat dikatakan salah seorang Murid kesayangan Abuya Muda wali,
sebagaimana diceritakan oleh Tgk. Ridwan Syihab yang merupakan salah seorang
anak abu keumala bahwa karena kedekatannya, abu sering berdialog dengan Abuya
tidak hanya untuk masalah Ilmiah, bahkan masalah-masalah yang terkesan agak
lucu. Suatu hari Abuya bertanya pada Abu keumala "Soe malem lon ngon Abu
Krueng kale?" (siapa yang lebih Alim antara saya dengan Abu Krueng kale?).
"meunyoe malem, leubeh malem Abuya, tapi meunyoe saleh, leubeh shaleh Abu
krueng kale" (Abuya lebih alim, tapi Abu krueng kale lebih shaleh) jawab
Abu keumala. "Pakoen meunan" (kenapa demikian?) Tanya Abuya lagi.
Dengan nada lembut Abu keumala menjawab "kareuna Abuya na meu'en-meu'en
silet, meunyoe Abu krueng kale hana" (kerena Abuya suka bersilat, kalau
abu krueng kale tidak). Lalu abuya menyahut "nyan keu ek teulheue
sagai". Kata-kata ini sukar diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, tapi
lebih kurang abuya bermaksud bahwa beliau berlatih dan bermain pedang hanya
sekedar untuk penghangat suasana. Dan percakapan antara Abuya dan Abu keumala
saperti diatas bukanlah bertujuan untuk membanding-bandingkan ilmu atau
kealiman Abuya dengan Abu krueng kale, tetapi hanya sekedar candaan yang dapat
menghilangkan kakunya suasana.
Mungkin
panggilan "Abu Keumala" agak sedikit tidak lazim, karena biasanya
seorang Ulama dipanggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana
beliau menetap, bukan bedasarkan tempat beliau mengaji, tapi itulah nama yang
dikenal oleh masyarakat. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957
dengan salah seorang cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau
dianugrahi Sembilan orang anak.
Hijrah ke Medan
Rasulullah
S.A.W diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Madinah ketika masyarakat mekkah
memperlakukan Rasulullah dengan cara kasar. Kejadian hampir serupa dialami oleh
Abu keumala yang harus hijrah ke Medan saat sebagian orang Aceh tak dapat
menerima sikap beliau yang tidak menyetujui gerakan perlawanan terhadap
pemerintah.
Seorang
pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah yang
diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung
Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung tiga puluh orang pelajar Aceh yang
menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Teungku
Syihabuddin mengajarkan agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi masyarakat
di sekitar tempat itu.
Pertikaian
antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar
II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru diserbu oleh sekitar tiga puluh
enam orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak-porandakan, kemudian
dibakar. Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan
broti di kepalanya hingga tidak berdaya, namun beliau dapat diselamatkan ke
rumah sakit.
Hancurnya
asrama yang saat itu dihuni oleh tiga puluh orang pelajar dan mahasiswa yang
juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, menjadi
masalah bagi pemuka-pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk
menampung pelajar dan mahasiswa.
Pendirian Sekolah Islam
Masalah
asrama pelajar/mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada
tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. yang
mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter atas nama Yayasan Sosial Medan.
Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di
pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu
mengingatkan kita akan Dayah Darussalam tempat Abu memperdalam ilmu Agama. Nama
jalan itu memang diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan
untuk mengenang Dayah Darussalam di Aceh, nama itu diterima baik oleh Haji Muda
Siregar yang saat itu menjabat sebagai walikota Medan (tahun 1957).
Karena
digunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu
diberi nama Asrama Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI
(Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), dan SMIA (Sekolah
Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh Teungku Syihabuddin Syah dan
Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah
menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Untuk
memperkokoh perhatian masyarakat terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin
Syah mengajar majelis taklim orangtua-orangtua murid yang diberi nama
Safinatussalamah (kapal penyelamat). Pengajian itu berkembang dengan pesat di
kota Medan. Teungku Syihabuddin Syah juga mengajar di sebelas majlis taklim di
Kota Medan. Beliau menempuh perjalanan ke tempat-tempat pengajian tersebut
dengan menggunakan kendaraan VW Combi yang disetir oleh beliau sendiri.
Nama
komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti
pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan
komplek Miftahussalam itu berkat dukungan masyarakat dalam berbagai bentuk.
Karena kegigihan beliau dan dukungan masyarakat, akhirnya beliau mampu membuka
SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai
disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.
Komplek
Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang
belajar pagi dan sore. Indah dan damainya komplek tersebut begitu terasa ketika
kita menyaksikan siswa dan siswi SLTP dan SMU berpakaian Islami lengkap dengan
jilbab, terlebih lagi saat kita menyaksikan keceriaan mereka saat menuju ke
Mesjid Taqarrub untuk shalat Ashar berjama'ah.
Berdakwah
memang keistimewaan luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Abu. Banyak
masyarakat dari suku batak yang menerima Islam berkat dakwah Abu, bukan itu
saja, mereka bahkan memanggil Abu dengan sebutan Tgk. Syihabuddin Syah
sembiring yang menunjukkan keinginan mereka untuk menjadikan Abu saudara
se-marga mereka. Ini berarti Abu punya kedudukan teramat Istimewa di hati
mereka.
Berbicara
tentang ibadah, Abu keumala nampak sangat tekun menjalankannya, terutama di bulan
ramadhan beliau menghabiskan waktunya di ruangan sederhana untuk berkhalwah,
yaitu beribadah dengan cara menyendiri dan tidak berkomunikasi dengan orang
lain. Metode ibadah seperti ini dapat merubah perilaku tidak baik seseorang
yang suka menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain dan tidak suka
mengingat Allah.
Akhir Hayat
Sebelum
meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula-mula gangguan mata hingga tidak
dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak
juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang, namun tidak ada perobahan.
Kemudian beliau menderita penyakit Diabetes. Dalam keadaan sakit, beliau tetap
berusaha menjalankan aktifitasnya sebagai Imam shalat dan memberi kuliah
walaupun tidak maksimal sebagaimana biasanya. Inilah kehidupan yang penuh
dengan episode yang punya segenab perubahan. ”Satu persatu pelita dunia
pemimpin ummat dan sesepuh agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena
kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang
telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh al-Ustadz
Drs. Hj. Halim Harahap, mewakili para khatib Masjid Taqarrub Jalan Darussalam
26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu
Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek
perkuburan Mesjid Raya al-Mansur jalan Sisingamangaraja, Medan.
Abu
Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No. 2
Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari
Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub,
mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun
yang berada di luar Kota Medan.
Masjid
tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam ceramah singkat maupun dalam
pengajian ibu-ibu dan bapak-bapal. Kuliah agama di berikan di mesjid itu
terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik
di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Pada
acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr. Hj. Aslim Sihotang yang
menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Teungku Haji
Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan kepada murid-muridnya supaya
kitab yang ditulis oleh Almarhum pada tahun 1983 yang berjudul Risalah Makrifah
agar di cetak.
Tagged with:
atjeh
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...