budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Tgk Ahmad Dewi Idi Cut
Tgk Ahmad Dewi Idi Cut
Posted by: Unknown Posted date: 07.50.00 / comment : 0
Tgk
Ahmad Dewi merupakan seorang tokoh ulama pendakwah, lahir 19 Januari 1951 di
Dusun Bantayan, Gampong Keude, Kecamatan Darul Aman, Idi Cut, Aceh Timur.
Ayahnya
Teungku Muhammad Husen berasal dari Desa Meunasah Kumbang, Kecamatan Syamtalira
Aron, Aceh Utara. Kakeknya Teungku Hasballah, ulama besar dari Samudera Pase
yang digelar Teungku Chik di Meunasah Kumbang.
Teungku
Hasballah Meunasah Kumbang menguasai Ilmu Tafsir, Bayan, Fiqh, Siyasah, dan
Ilmu Mantiq. Tokoh berbadan atletis ini terkenal sebagai ulama moderat yang
menguasai dengan baik bahasa Aceh, Perancis dan Inggris. Ketajaman pikirannya
dikagumi oleh kawan maupun lawan. Pada saat perang kolonial Belanda di Aceh
berkecamuk, beliau ikut bergabung dengan mujahidin lainnnya berperang di
Samudera Pase. Selain itu beliau sangat ahli dalam Ilmu Faraid, ahli dalam hal
dialog dan pidato, bakat ini sepenuhnya turun kepada Tgk. Ahmad Dewi.
Ibunya
bernama Dewi kelahiran Peudagee (Serdang Pedagai), Sumatera Utara, nama inilah
yang kemudian menjadi nama belakang Teungku Ahmad Dewi. Nama lahir beliau
adalah Ahmadullah, namun karena wajahnya yang mirip dengan ibunya, maka
orang-orang mengaitkan dengan nama ibunya, disebutlah Ahmad Dewi. Akhirnya
beliau lebih dikenal dengan nama Ahmad Dewi tinimbang Ahmadullah nama aslinya.
Pendidikan
Sekolah
formal yang sempat ditempuh oleh Ahmad Dewi muda adalah Madrasah Ibtidaiyah Idi
Cut. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Dayah, yaitu Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) Matang Geutoe Idi Cut pada tahun 1964. Menurut sebuah informasi,
Tgk. Ibrahim Bardan (Abu Panton) juga pernah belajar di dayah yang dipimpin
oleh Tgk. H. Muhammad Thaib ini. Di dayah ini Ahmad Dewi diasuh di bawah
bimbingan Abu Saleh (Pakcik Tgk. Ahmad Dewi/salah seorang anak Abu Meunasah
Kumbang) yang juga menjadi guru di Dayah MTI. Abu Saleh dikenal sebagai kader
militan yang kerap berurusan dengan aparat keamanan era Suharto.
Ahmad
Dewi juga sempat menuntut ilmu di sebuah pesantren yang dipimpin oleh Tgk. H.
Sofyan di Matang Kuli, sekitar tahun 1968 sampai 1970, setelah itu ia kembali
ke Idi Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif lagi sepeninggal Tgk. Muhammad Thaib
(w. 1968), dan kiblat pendidikan di Idi Cut telah beralih ke Dayah Darussa’dah
Idi Cut di bawah pimpinan Tgk. H. Abdul Wahab. Pada masa ini Tgk. Ahmad Dewi
juga sempat belajar pada Tgk. H. Abdul Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari
nafkah.
Faktor
kesulitan ekonomi menuntut Ahmad Dewi untuk bekerja sambil belajar diusianya
yang masih belia (sekitar 19 tahun). Ia memanfaatkan potensi diri dan bakat
oratornya dengan bekerja sebagai pedagang obat kaki lima. Bagi Ahmad Dewi,
berdagang obat juga media berdakwah, maka ia berkeliling Aceh sambil berdagang
obat dengan tetap menjadikan dayah sebagai tempat domisilinya. Oleh karena itu,
ia tetap menjadi santri dayah Idi Cut (Darussa’dah) dan Matang Kuli sebab ia
bolak-balik melakukan perjalanan antara dua daerah ini.
Suatu
kali dalam tahun 1973, pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga berkunjung ke
Matang Kuli. Kunjungan ini memang kerap dilakukan Tgk. H. Abdul ‘Aziz (biasa
disapa Abon Samalanga) karena Tgk. H. Sofyan (pimpinan dayah Matang Kuli)
merupakan salah seorang murid Abon Samalanga. Keberadaan Teungku Ahmad Dewi
muda menarik perhatian Abon setelah beliau tahu bahwa Ahmad Dewi adalah cucu
Abu Meunasah Kumbang. Sejak saat itu Teungku Ahmad Dewi pun nyantri di
Samalanga karena diajak oleh Abon untuk belajar di Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga.
Baru
setahun belajar di Samalanga Teugku Ahmad Dewi telah menemukan jati dirinya
dan, menentukan arah perjuangannya. Bakat orasi dan kapasitas keilmuannya
semakin terasah di bawah bimbingan Abon Samalanga. Masa-masa belajar di
Samalanga merupakan masa pembentukan karakter dirinya sebagai da’i kritis.
Sambil belajar, Teungku Ahmad Dewi kerap diundang memberi pengajian dan ceramah
di meunasah-meunasah Kecamatan Samalanga dan sekitarnya. Di sinilah popularitas
Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i bermula.
Perawakan yang tinggi tegap, wajah
yang tampan dan bakat orasinya menarik perhatian masyarakat. Ditambah dengan
gaya penampilannya yang menarik, kadang terkesan nyentrik, maka tidak heran
jika dalam tempo singkat ia telah dikenal sebagai da’i yang memukau. Di sisi
lain, darah ulama yang mengalir di tubuhnya dan latar belakang kependidikan di
dayah terbesar Aceh (MUDI Mesjid Raya) memberinya legitimasi dan garansi
keilmuan sebagai ulama yang patut menjadi rujukan bagi masyarakat. Ia diundang
berdakwah ke seluruh daerah di Aceh, dan dakwahnya selalu dipadati pengunjung
yang massanya berjumlah puluhan ribu. Ia menjelma menjadi publik figur yang
ceramahnya ditunggu-tunggu masyarakat.
Ketokohan
sosok Teungku Ahmad Dewi menarik perhatian berbagai pihak dengan berbagai
kepentingan. Sebuah informasi mengabarkan bahwa Teungku Hasan Tiro juga sempat
mengadakan pertemuan khusus dengan Teungku Ahmad Dewi, di Jeunieb dalam
masa-masa gerilyanya di Aceh. Ekses pertemuan ini, pada tahun 1977, Teungku
Ahmad Dewi pun ditangkap aparat keamanan dalam penggerebekan di Dayah MUDI,
Mesjid Raya, Samalanga karena diduga terlibat Aceh Merdeka (AM).
Teungku
Ahmad Dewi ditahan di Markas Laksus Drien Meuduroe, Geulumpang Payong,
Kabupaten Pidie. Selama dalam tahanan, masyarakat tiada henti berkunjung
menjenguk beliau sampai akhirnya dipindahkan ke Banda Aceh (ditahan di daerah
Lampineung). Pada masa ini beliau sempat diisukan telah meninggal dunia,
masyarakat yang menjenguk tidak bisa bertemu beliau sehingga masyarakat di
kampung-kampung melaksanakan shalat jenazah ghaib untuk Teungku Ahmad Dewi.
Setelah
tiga bulan ditahan di Banda Aceh, datanglah seorang ulama Aceh Besar (Abu Usman
Fauzi) yang kala itu aktif dalam partai politik Golkar (Golongan Karya).
Setelah pertemuan itu, Abu Usman Fauzi membuat pendekatan dengan pihak aparat
keamanan agar status tahanan Teungku Ahmad Dewi diringankan. Walhasil, Tgk. Ahmad
Dewi menjadi tahanan rumah yang ditempatkan di dayah Abu Usman Fauzi di Desa
Lueng Ie.
Setelah
beberapa lama di Lueng Ie barulah pihak keluarga tahu bahwa Teungku Ahmad Dewi
masih hidup, lalu menjenguknya ke Desa Lueng Ie. Pihak keluarga memohon agar
penahanan Teungku Ahmad Dewi dipindahkan ke Idi Cut. Kesepakatan berhasil
dicapai, pemindahan Teungku Ahmad Dewi disetujui dengan jaminan keluarga, dan
status wajib lapor ke polsek setempat seminggu sekali.
Teungku
Ahmad Dewi pulang ke kampung halamannya pada pertengahan tahun 1979, tapi rumah
keluarganya telah tiada karena terbakar, tidak ada keterangan yang jelas
mengenai sebabmusabab kebakaran ini. Maka Teungku Ahmad Dewi pun mendirikan
sebuah gubuk di pertapakan gosong rumah orang tuanya. Gubuk itu sebenarnya
peralihan fungsi dari tempat penyimpanan padi (kröng pade) milik orang tuanya.
Di
gubuk itu Teungku Ahmad Dewi menerima satu dua santri yang datang berguru
padanya. Karena rumah itu merupakan tempat tahanan baginya, maka ia menamakan
rumah itu sebagai BTM (Balai Tahanan Militer). Ketika santrinya bertambah, ia
berpikir untuk mendirikan dayah, dan nama BTM pun ditabalkan sebagai nama
dayahnya, namun BTM kali ini berarti Bale Teumpat Meununtöt (Balai Tempat
Menuntut ilmu).
Belakangan
nama BTM menjadi trade mark Teungku Ahmad Dewi dalam setiap dakwahnya.
Singkatan BTM muncul sebagai wujud inspirasinya yang tidak pernah kering,
kadang konyol dan menyentil. Untuk murid-muridnya, BTM diberi kepanjangan Balai
Tempat Menuntut ilmu, namun saat berhadapan dengan tokoh-tokoh parpol ‘plat
kuning’ BTM diberi kepanjangan Beringin Tetap Menang.
Popularitas
Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i merupakan daya tarik tersendiri sehingga
murid-muridnya bertambah banyak, terutama dari kalangan pemuda yang telah
tersadarkan oleh dakwah beliau. Kehadiran para pemuda yang umumnya memendam
jiwa militan ini menginspirasi Teungku Ahmad Dewi untuk mengorganisir mereka
dalam satu barisan anti maksiat. Maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama
KDA (Kesatuan Dafa’sail Aceh), suatu organisasi yang bertujuan untuk
melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar. Di sini nama BTM menemukan
kepanjangan lain, karena dalam KDA ini ada satu pasukan khusus yang dinamakan
Barisan Teuntra Mirah (BTM). Barisan ini memakai seragam merah, dibekali ilmu
bela diri, dan dilengkapi senjata pedang.
Barisan
Teuntra Mirah bertugas menertibkan dan mencegah maksiat di sepanjang garis
pantai Idi Cut yang merupakan objek wisata masyarakat. Akibat dari aksi Barisan
Teuntra Mirah, Teungku Ahmad Dewi seringkali harus berhadapan dengan aparat
keamanan. Menurut keterangan seorang mantan Barisan Teuntra Mirah,
masalah-masalah ini berhasil diselesaikan oleh Teungku Ahmad Dewi dengan jalan
dialog.
Pada
tahun 1980, Teungku Ahmad Dewi kembali ditangkap setelah berdakwah di Idi Rayeuk,
lokasinya di depan pendopo sekarang, menghadap ke masjid jamik. Dalam dakwah
yang disesaki puluhan ribu pengunjung ini, ia dituduh subversif, dan ditahan di
Langsa selama dua tahun tanpa putusan pengadilan.
Meskipun
di penjara Tgk. Ahmad Dewi tetap berdakwah, hanya saja sasaran dakwahnya kali
ini menjadi lebih spesifik, yaitu para penghuni rutan saja. Ia menggelar
pengajian untuk mengajak narapidana bertobat kembali ke jalan Allah. Di sisi
lain, penahanan itu justru mendongkrak popularitasnya, bahkan menjadi
pemberitaan media nasional. Maka tidak heran jika setiap persidangan beliau
dipenuhi ratusan ribu massa yang ingin meyaksikan jalannya persidangan sang
dai.
Bersamanya
juga turut ditahan Teungku H. Azhar BTM (wakil pimpinan dayah BTM). Setelah 1,8
tahun ditahan, Teungku Azhar disidang, lalu dibebaskan. Sementara Teungku Ahmad
Dewi baru di bebaskan setelah lima bulan Tgk. Azhar menghirup udara kebebasan.
Teungku Ahmad Dewi dijemput oleh masyarakat Sungai Pauh Langsa, dipeusijuek dan
diantarkan ke dayahnya, BTM Idi Cut.
Awal
tahun 1983, beliau memimpin kembali dayah BTM. Dayah yang sempat sepi semasa
beliau ditahan, dengan drastis pelajarnya membludak sekembali beliau. Dalam
tahun 1984, santri di dayah ini telah mencapai 400 orang santri putra putri.
Pada
tahun 1985 ia berdakwah tujuh hari tujuh malam dalam rangka deklarasi
pemerintahan syariat Islam di Aceh. Dakwah ini diselenggarakan dengan
mengundang para ulama dari berbagai penjuru Aceh untuk mencari solusi petegakan
syariat Islam di Aceh.
Pada
tahun 1986 beliau menikath dengan Cut khairiyah binti Tgk. H. Muhammad Thaib,
Paloh Meria Lhokseumawe. Beliau terus menetap di dayah BTM bersama keluarganya,
dan dikaruniai putera pertama yang diberi nama Fatahillah (1987), anak kedua
Fatimah Dewi (1989).
Pada
hari Sabtu, 1 Maret 1991 pukul 09.00 wib, Tgk. Ahmad Dewi menerima surat dari
abangnya Tgk. Muhsinullah. Ia diminta segera menjenguk abangnya yang sedang
ditahan pasukan TNI di Tank Batre, Desa Alue Ie Mirah. Tgk. Ahmad Dewi
berangkat dengan mengendarai mobil Chevrolet bersama supir bernama Asnawi.
Pada
waktu itu Aceh berstatus siaga, Operasi Jaring Merah dilancarkan di Aceh. Sejak
kepergian hari itu, Teungku Ahmad Dewi tidak pernah muncul lagi di atas podium
meyuarakan tegaknya syariat Islam di Aceh.
Walaupun
Teungku Ahmad Dewi telah tiada, pengikut-pengikut setianya selalu
memperjuangkan agar di Aceh diberlakukan syariat Islam. Akhirnya pemerintah
mengumumkan pemberlakuan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini. Namun
Teungku Ahmad Dewi sebagai tokoh pelopor pemberlakuan syariat Islam di Aceh,
sampai hari ini tidak diketahui di mana kuburannya.
Tgk
Ahmad Dewi meniggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, Fatahillah, Fatimah
Dewi, dan Abdul Aziz yang kala peristiwa penculikan itu masih tiga bulan dalam
kandungan. Nama Abdul ‘Aziz merujuk kepada nama guru beliau di Samalanga (Abon
‘Abdul ‘Aziz Samalanga). Tgk. Ahmad Dewi telah mewasiatkan nama ini sebelum
kepergiannya. Beliau berpesan kepada isterinya, jika anaknya laki-laki agar
diberi nama ‘Abdul ‘Aziz.
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...