budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Mengangkat Sejarah Islam dari Puing-puing Samudra Pasai
Mengangkat Sejarah Islam dari Puing-puing Samudra Pasai
Posted by: Unknown Posted date: 04.58.00 / comment : 0
Penjelajah muslim terkenal asal
Maghribi, Ibn Bathûthah (wafat 779 H/1378 M), terang menyebutkan dalamTuhfah
An-Nazhzhâr (laporan perjalanannya) bahwa kota Sumatra adalah kota indah,
besar, dipagari dinding terbuat dari kayu dengan menara-menaranya yang juga
terbuat dari kayu (Madînah Sumuthrah madînah hasanah kabîrah ‘alaihâ sûr
khasyab wa abrâj khasyab).
Tidak
diragukan, kota Sumatra yang dimaksud Ibn Bathûthah adalah kota Samudra Pasai,
dan sebagaimana diketahui, kota kuno ini sekarang berada dalam wilayah
administratif Kabupaten Aceh Utara.
Sekalipun demikian masyhur, kota
megah yang dilaporkan oleh Ibn Bathûthah sejak enam setengah abad yang silam
ini belum banyak disingkap hal ihwalnya sampai dengan waktu sekarang; tata
ruang kota, ragam bangunan serta arsitekturnya.
Usaha untuk mengenali kota
Samudra Pasai sementara ini dianggap tidak perlu dan dikira akan percuma
lantaran asumsi yang sudah populer: Samudra Pasai hanyalah sebuah kota maritim,
dan karenanya tidak akan banyak ditemukan peninggalan-peninggalan budaya
(lihat, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk Kelas XI SMA, hal. 98).
Bangunan-bangunan dalam kota Samudra Pasai yang diduga terbuat dari kayu,
sebagaimana lazimnya tradisi arsitektur dari zaman pra-Islam, tentu sudah
lenyap dalam rongga tanah. Tak ada yang tersisa. Kota Samudra Pasai akhirnya
hanya sebuah nama dengan aneka mitos. Begitu asumsi yang berkembang, dan
disokong oleh banyak sejarawan.
Asumsi ini semakin diperkokoh
sekaligus juga mengokohkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam berbagai hal
menyangkut seni—termasuk seni arsitektur dan tata kota yang tengah dibicarakan,
tentunya—Indonesia tidak dapat dianggap sebagai subkultur dari warisan yang
telah memantapkan diri di berbagai kawasan lain di dunia Islam. Indonesia,
paling tidak, memiliki dua warisan pokok tersendiri: satunya, berasal dari akar
paganisme kuno, dan lainnya, berasal dari pengaruh Hinduisme-Budhisme.
Sementara Islam hanya melakukan perbaikan dan penyempurnaan ringan di sana
sini. Untuk menguatkan pandangannya, pendapat ini memberi contoh: bangunan
masjid yang beratap tinggi dan bertingkat-tingkat menyerupai candi (lihat, C.
A. O. Van Nieuwenhuijze dalam The Legacy of Islam, Ed. J. Schacht, Terj. Arab:
Turats Al-Islam, 1998, hal. 204).
Dalam kerangka asumsi ini maka
kota Samudra Pasai tidak berbeda dengan kota-kota masa pra-Islam, kecuali pada
segi-segi tertentu saja, sehingga bekas kota itu juga mengalami hal yang sama
dialami oleh kota-kota pra-Islam; tidak menyisakan bekas atau reruntuhan
puing-puingnya. Bangunan yang mungkin relatif bertahan dan tertinggal cuma
tempat-tempat peribadatan karena kontruksinya yang lebih spesial, sementara
lainnya musnah.
Akibat asumsi dan pendapat
demikian maka sejauh ini belum ada peneliti atau sejarahwan yang benar-benar
tertarik untuk melakukan penyelidikan tentang tata rancang dan bangun kota
Samudra Pasai sebagai sebuah kota Islam sebagaimana Basrah, Kufah, Fusthath, Kairuwan,
Wasith, Baghdad, Qahirah dan lainnya. Dan ini perlu disadari sebagai suatu
kerugian besar bagi para pewaris negeri yang berperan amat besar dalam
mendesign wajah Asia Tenggara selama tidak kurang dari tiga ratus tahun, dan
masih menyimpan pengaruhnya di kawasan sampai dengan hari ini.
Ini
sangat perlu dicatat dan digarisbawahi!
Menyelam
ke Batin Imperialisme
Asumsi dan pendapat seperti
dipaparkan tadi tentu berada pada ujung garis sejajar dari klaim lain
menyangkut sejarah awal perkembangan Islam di utara Sumatera. Yakni klaim bahwa
Islam telah menyebar lewat perdagangan—terlepas dari perselisihan mengenai
kawasan asal para pedagang sebab selisih pandang tersebut, menurut saya, tidak
lebih dari maksud menutupi pokok persoalan yang sebenarnya. Tidak dipungkiri
bahwa hal tersebut dalam batas-batas tertentu memang benar. Namun lazimnya,
perdagangan menjadi faktor pendukung bukan faktor utama dalam proses
Islamisasi. Contoh dekat adalah sebagaimana yang terjadi di Bengal. Keberadaan
kaum pedagang muslim di satu wilayah politik non-Islam diakui telah ikut
mempermudah kekuatan politik Islam dalam gerak perluasan wilayah Islam
(fath/pembebasan).
Janggalnya, mengapa dalam
penyejarahan proses Islamisasi nusantara, khususnya di bagian utara Sumatera, faktor
perdagangan lebih ditonjolkan dari faktor lain yang sebenarnya lebih
menentukan, yakni faktor pembebasan (fath)?!
Ini mengundang tanda tanya
lantaran kedua faktor ini memiliki motivasi, cara, alat, dan tujuan
masing-masing yang karenanya juga menimbulkan efek atau pengaruh sangat berbeda
satu sama lainnya, terutama yang tampak dari skala waktu. Dengan faktor
perdagangan, proses Islamisasi akan mengambil laju seperti tetesan minyak yang
mengembang sedikit demi sedikit, sementara pembebasan (fath) ialah ibarat air
deras yang dapat membalikkan segala keadaan.
Ruang ini tidak memadai untuk
menyebutkan semua perbedaan antara kedua faktor tersebut. Kita ambil saja satu
contoh perbedaan: motivasi. Motivasi perdagangan adalah keuntungan, yang dengan
demikian ia akan menyediakan medan tak berbatas untuk sikap kompromi. Sementara
motivasi pembebasan (fath) adalah pahala yang dijanjikan oleh Allah bagi
orang-orang berjihad di jalan-Nya demi meninggikan agama-Nya. Medan kompromi
tentu lebih sempit di sini; setelah sebuah negeri dibebaskan maka setiap
pemeluk agama lain akan diberi hak untuk memilih antara memeluk Islam atau
membayar jizyah. Sebelum kata paling akhir ini merangsang Pembaca untuk
memperluas persoalan kepada hal-hal yang tidak akan dibicarakan di sini,
mungkin segera perlu diingatkan kembali bahwa prinsip “tidak ada paksaan dalam
agama” merupakan salah satu prinsip pokok dalam Islam. Pembebasan, pada
kenyataannya, adalah syiar Islam dengan kekuatan yang mampu menjamin kebebasan
memilih sekaligus memberi naungan kepada setiap pihak atas pilihannya, baik
mereka yang memilih Islam maupun tidak.
Dari sisi motivasinya, kedua
faktor ini tentu tidak melahirkan atau mendorong laju proses Islamisasi yang
sebanding. Sebagian sejarawan yang meyakini bahwa Islam sampai di utara
Sumatera sejak kurun pertama hijriah (abad VII masehi), dan keyakinan itu
sangat beralasan dan berdasar, juga dapat melihat bahwa ledakan perkembangan
Islam yang amat hebat dan fenomenal itu baru terjadi sejak awal abad VII H
(XIII M) atau penghujung abad sebelumnya sampai dengan abad X H (XV M).
Selama
kurang lebih enam abad dari kedatangan Islam pertama sekali di abad pertama
hijriyah, tebaran koloni-koloni muslim di kepulauan paling timur Asia Tenggara
(gugus pulau Laut Sulu) sampai dengan kepulauan India masih terbilang sangat
terbatas, begitu pula gerak dan kiprah para saudagar dalam penyebaran Islam pun
tidak begitu punya pengaruh luas. Namun diakui, para saudagar muslim telah
berjasa besar dalam memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi di mana mereka
melakukan kegiatan-kegiatan perniagaan. Begitu pula hubungan-hubungan dengan
penguasa setempat telah terintis dan dijalin dalam batas-batas tertentu
sebagaimana dilaporkan sebagian musafir muslim Arab-Persia seperti Buzurk ibn
Syahriyâr Ar-Râmhurmuzi (wafat setelah 340 H/950 M) dalam ‘Ajâ’ib al-Hind;
Barruhu wa Bahruhu wa Jazâ’iruhu.
Lain halnya dengan apa yang
terjadi selama lebih kurang tiga abad, antara abad VII sampai X hijriah
(XIII-XVI masehi). Dalam waktu relatif cepat, Islam mencuat tidak hanya
sebagaimana agama yang diyakini, tapi juga merupakan kekuatan politik dan
militer terbesar di Asia Tenggara seiring merosotnya pengaruh dan kekuasaan
berbagai kekuatan politik non-Islam. Ini tentu lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor pembebasan dari faktor perdagangan.
Kembali pada pertanyaan, mengapa
faktor perdagangan lebih ditonjolkan dalam proses Islamisasi nusantara, bahkan
terkadang tanpa memperhitungkan sama sekali faktor pembebasan (fath)?
Ini merupakan suatu tanda tanya
yang perlu diselidiki jawabannya lebih lanjut mengingat pendapat ini, sejauh
saya ketahui, mula sekali berkembang luas dalam masa imperialisme Belanda di
penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu tokoh penting yang
mengembangkan pendapat ini adalah C. Snouck Hurgronje, seorang pengkaji
Islamologi yang bekerja untuk imperialisme Belanda.
Kita tidak dapat mengenyampingkan
berbagai kondisi politik, lokal maupun dunia, pada waktu pendapat ini
dikembangkan dan diterima oleh banyak orang. Sayang, maksud tulisan ini hanya
ingin menyentil, bukan untuk membahasnya panjang lebar. Tapi yang penting
diketahui bahwa para pengembang asumsi: Islam menyebar lewat perdagangan; seni
Islam di nusantara tidak merupakan subkultur dari seni-seni di kawasan Islam
yang lain dan hanya terpengaruh oleh seni-seni pra-Islam dari paganisme sampai
Hinduisme-Budhisme, mereka menghendaki sesuatu yang lebih dalam daripada yang
tampak di permukaan.
Pendapat atau asumsi tersebut
tentu berakhir pada kesimpulan bahwa seluruh peristiwa yang terjadi menyangkut
proses Islamisasi nusantara pada hakikatnya adalah persoalan yang tidak lepas
dari perniagaan pada tingkat pertamanya.
Dari kesimpulan ini, maka Islam
yang datang ke Indonesia bersama perdagangan dan berkembang dalam rangkulannya
tidak berbeda dengan dua gelombang budaya yang telah sampai ke Indonesia pada
era-era sebelumnya (Hindu dan Budha). Itu tafsiran pertama terhadap
keberhasilan Islam di Indonesia, menurut pendapat ini. Namun perdagangan juga
bukan segalanya, menurut pendapat ini lagi. Ada hal lain yang menjadi tafsiran
kedua terhadap keberhasilan Islam dalam penyebarannya di Indonesia: persaingan
politik dan perdagangan di antara kekuatan-kekuatan imperialisme Barat juga
telah menyebabkan pesatnya penyebaran Islam (lihat, C. A. O. Van Nieuwenhuijze,
hal. 196)! Anda tentu mudah saja melihat kebusukan yang berselimut di bawah
lapik analisis ilmiah ini!
Nyata sekali, pendapat dan asumsi
ini pada hakikatnya telah melecehkan dan menghantam telak Islam dan
sejarahnya—saya tidak bermaksud memprovokasi, silahkan saja Anda mencerna
dengan cara Anda sendiri. Satu bagian penting dan sangat utama dalam Islam,
bahkan merupakan faktor paling menentukan dalam gerak penyebaran Islam, telah
sengaja diabaikan begitu saja, yaitu jihad fi sabilillah.
Penyebaran
Islam di nusantara dianggap suatu proses yang tidak benar-benar dimaksudkan
karena perdagangan merupakan target utama kedatangan kaum muslimin dari
berbagai kawasan di Selatan dan Barat Asia. Dengan demikian, tujuan utamanya
adalah nilai-nilai materialis. Dan itu tentu tidak akan membedakan pedagang
muslim dan imperialisme Barat. Persepsi inilah yang diinginkan oleh
imperialisme Barat berkembang di kalangan pribumi untuk mempermudah geraknya
dalam menguasai negeri-negeri muslimin dan melumpuhkan setiap perlawanan dengan
satu pukulan di ubun-ubun.
Sama sekali tidak sukar dipahami
apabila imperialisme memang benar-benar bermaksud menyingkirkan jihad fi
sabilillah dari pandangan hidup muslim. Dan itu tidak semata-mata ditempuh
dengan membakarHikayat Prang Sabil karya Tengku Chik Pante Kulu, sebagaimana
diketahui, misalnya, tapi juga dengan menjauhkan berbagai hal yang menyadarkan
muslim untuk berjihad.
Kasus
dalam makna serupa juga dilakukan dalam kajian epigrafi Samudra Pasai. Dari
keterangan almarhum T. Ibrahim Alfian diketahui bahwa J.P. Moquette (1913)
dengan bantuan Dr. Van Ronkel telah melakukan pembacaan terhadap inskripsi
syair yang terdapat pada nisan Al-Malik Ash-Shalih di Beuringen Samudera Aceh
Utara. Sekalipun Alfian tidak mengungkapkan secara jelas apakah J.P. Moquette
dan rekannya juga melakukan pembacaan terhadap inskripsi pada kedua batu nisan
makam Al-Malik Azh-Zhahir yang berdampingan dengan makam Al-Malik Ash-Shalih,
tapi saya memperkirakan hal itu telah dilakukan oleh keduanya. Alfian menyalin
inskripsi yang terdapat pada nisan kaki makam Al-Malik Azh-Zhahir dalam bukunya
Kronika Pasai; Sebuah Tinjauan Sejarah (hal. 23)—Alfian menyebutnya di nisan
kepala, dan ini kesilapan yang dapat dimaklumi.
Anehnya dalam hal ini, tak
seorang pun mengungkapkan tentang ayat Al-Qur’an yang terpahat pada batu nisan
kepala makam Al-Malik Azh-Zhahir, yang juga terpahat pada banyak nisan di
makam-makam lainnya. Padahal kaligrafi yang digunakan sama dengan kaligrafi
inskripsi pada nisan kaki makam tersebut, di mana terdapat catatan nama dan
tarikh wafat Al-Malik Azh-Zhahir, yaitu khath nasakh, malah inskripsi ayat itu
terlihat lebih jelas, dan lebih mudah dibaca daripada inskripsi syair pada
nisan makam Al-Malik Ash-Shalih.
Ayat itu adalah ayat 21 surah
At-Taubah atau Bara’ah yang menerangkan tentang pahala dan balasan-balasan
Allah bagi mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya dengan jiwa
dan harta sebagaimana yang terdapat pada ayat sebelumnya, ayat 20 surat
tersebut.
Hemat saya, keberadaan ayat ini
pada nisan makam tersebut telah sengaja ditutupi dan tidak diungkapkan dalam
berbagai kajian tentang epigrafi Samudra Pasai. Tak pelak lagi, ini tentunya
dalam rangka menghindari segala hal yang berkaitan dengan jihad, dari satu
sisi, dan agar tidak merusak asumsi atau pendapat yang dikembangkan oleh
imperialisme menyangkut proses Islamisasi nusantara, dari sisi yang lain. Maka,
sungguh menggelikan ketika ada sebagian anak negeri Islam hari ini yang tidak
henti-hentinya berdecak kagum terhadap mitos objektivitas yang diusung
metodologi Barat!
Imperialisme berhasil menanamkan
suatu kesadaran lain dalam batin pribumi yang mayoritas muslim. Dan itu sangat
halus. Reaksinya berjalan lamban tapi pasti, slow but sure—satu di antara
sekian strategi imperialisme Barat yang diakui sangat mujarab.
Pertengahan abad XX berbagai
usaha imperialisme akhirnya dimahkotai dengan lenyapnya kawasan-kawasan politik
Islam di Asia Tenggara. Pelbagai usaha ke arah pengembalian kehidupan politik
serta kenegaraan ke dalam ranah Islam, sebagaimana masa lalu, berakhir gagal di
tengah gelombang besar pemikiran nasionalisme yang berkembang di negeri-negeri
Islam bekas jajahan Barat.
Fakta kegagalan
imperialisme-kolonialisme Barat dalam targetnya untuk menguasai negeri-negeri
Islam di nusantara pada abad XX secara geo-politis, tidak dapat dipersepsikan
bahwa mereka telah gagal mutlak. Imperialisme Barat berhasil relatif maksimal
dan tepat waktu dalam menggulingkan peran Islam sebagai pranata kehidupan
masyarakat muslim serta memantapkan sebagai gantinya pranata model Barat dalam
berbagai aspek kehidupan; politik, hukum dan perundang-undangan, pendidikan
maupun lainnya. Model itu berdiri tegak penuh bangga di atas puing-puing
peradaban Islam yang menurutnya telah dikalahkan.
Mencari Negeri yang
Hilang
Kota Islam Samudra Pasai pun
lenyap dalam perut zaman, mencapai titik kulminasi kepunahannya secara maknawi
selama lebih seratus tahun terakhir. Karakteristik sejarahnya berhasil dicopot
dan digantikan dengan berbagai mitos pada tempatnya. Ia lantas cuma dikenang
dalam bagian kecilnya, tidak dalam bobot seutuhnya. Imperialisme boleh tertawa
atas kemenangannya itu dalam kubur-kubur mereka, dan Barat boleh berbangga atas
apa yang telah dipersembahkan oleh para leluhur mereka! Namun itu tentu tidak untuk
selamanya.
Benar, para pendahulu tanah ini
menderita kekalahan dalam konfrontasi fisik dan budaya dengan kaum Kristiani
Barat pada putaran terakhir. Tapi suatu hal yang tidak disangka-sangka, dan di
luar jangkau pikir imperialisme, para pendahulu ternyata telah berjaga-jaga.
Mereka sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk hari kekalahan tersebut. Mereka
seperti menghendaki agar di putaran-putaran lain di masa depan, kemenangan
berpihak pada generasi yang mereka tinggalkan.
Adalah
kecemerlangan amat mengagumkan ketika mereka meninggalkan jejak yang amat jelas
sejelas bekas tapak-tapak kaki yang tercetak di tanah liat sehabis hujan. Itu
agar generasi berikut mereka dan hari ini menemukan mereka. Malah barangkali
sebaliknya, merekalah sesungguhnya yang datang dari masa lampau untuk menemui
kita, namun lama sudah kita tidak mengacuhkan mereka!
Epigrafi pada nisan-nisan yang
bertebaran di bekas kawasan kota Samudra Pasai, yang dilaporkan oleh Ibnu
Bathuthah sebagai kota yang indah dan besar, memberikan petunjuk-petunjuk amat
kuat bagaimana peristiwa penyebaran Islam sebenarnya terjadi; bagaimana sesungguhnya
sebuah kesatuan politik dalam bentuk kerajaan Islam, di utara Sumatera
terbentuk.
Epigrafi pada beberapa nisan
menunjukkan secara jelas dari mana pembangun Samudra Pasai berikut keturunannya
berasal. Bersama mereka warisan budaya Islam dari kawasan Islam lain pun datang
untuk memancang tiang peradaban yang pada gilirannya kelak berhasil mengangkat
budaya bangsa-bangsa setempat yang masih terbelakang ke dalam suatu perpaduan
budaya yang lebih maju dan cemerlang. Untuk sekadar membuktikan hal ini, sebuah
misal akan diajukan. Selama ini, bahkan jauh sebelum ini, Anda dan saya belum
pernah menjumpai nama Rajakhan tersebut dalam apapun literatur historiografi
Samudra Pasai pengambilan misal ini lantaran “nama dan penamaan” juga merupakan
salah satu fenomena budaya paling menonjol.
Apa yang terlintas dalam benak
kita ketika mendengar nama seperti itu—makam salah seorang pemilik nama
tersebut terdapat di Kuta Karang, Samudera, Aceh Utara; pada nisannya tertulis
Rajakhan Al-Ma’ruf (terkenal), wafat pada 834 H/1431 M.
Dengan berbagai hikayat dan mitos
yang menceritakan tentang Samudra Pasai, saya, dan mungkin siapa pun, tidak
akan pernah membayangkan nama semacam ini bisa muncul di bekas kerajaan yang
konon menurut ahli sejarah, tidak pernah terdengar perkembangan seni budaya
dari masyarakatnya (lihat, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk Kelas XI
SMA, hal. 98)
Bukankah dari nama itu kita dapat
melihat suatu kombinasi geneologis, politis dan budaya antara kawasan di
selatan anak benua India serta kepulauan dan semenanjung Melayu: raja, dengan
kawasan di utara India dan Asia Tengah: khan.
Epigrafi Samudra Pasai
menunjukkan bahwa banyak teori dalam penyejarahan Samudra Pasai yang mesti
dirombak, jika bukan dibuang sama sekali. Begitu pula dengan watak perkotaan
Samudra Pasai.
Jelas, warisan budaya Islam yang
telah mapan di utara India dan Asia Tengah telah mengambil tempatnya di utara
Sumatera pada masa-masa awal perkembangan Islam di nusantara sebelum kemudian
melahirkan satu watak budaya Islam yang khusus dan unik.
Apabila epigrafi Samudra Pasai
telah memunculkan kenyataan tersebut dengan sangat terang, tiba waktunya untuk
menemukan kenyataan-kenyataan lain yang selaras dengan kenyataan tersebut.
Puing-puing dalam berbagai ragam
bentuk yang ditemukan di kawasan kota kuno Samudra Pasai relatif memberikan
dukungan terhadap kenyataan epigrafis. Namun penemuan yang dianggap sangat
berarti terjadi pada Oktober 2008, saat dalam satu penggalian ditemukan bekas
fondasi sebuah bangunan yang terbenam lebih satu meter dari permukaan tanah.
Penemuan tersebut kemudian disusul dengan penemuan serupa pada Februari tahun
ini. Temuan kali ini berupa bangunan yang telah ambruk, menyisakan puing-puing
setinggi dua meter lebih; sekitar 1,2 meter sisa bangunan menyuruk ke dalam
tanah, dan sekitar 1 meter lebih berada di atas tanah membentuk gundukan tanah
tinggi seluas 32X30 m2.
Letak puing bangunan yang terbuat
dari batu bata merah tersusun sedemikian rupa dan diperkirakan menghadap ke
arah barat, ini juga dapat memberikan beberapa informasi penting tentang tata
ruang kota Samudra Pasai yang indah sebagaimana ditulis Ibnu Bathuthah dalam
laporan lawatannya ke Samudra Pasai pada 747 H/1347 M.
Secara umum, dari dua temuan
bekas bangunan ini dapat disimpulkan bahwa Samudra Pasai telah menerima
pengaruh budaya Islam dari kawasan di utara India seperti kota Delhi, atau Asia
Tengah, seperti kota Bukhara, kala itu. Ini terlihat dari keseragaman seni
arsitektur yang berkembang di dua kota tersebut dengan seni arsitektur yang
berkembang di Samudra Pasai.
Usaha untuk menemukan kembali
kota kuno Samudra Pasai lewat penyelidikan dan ekskavasi perlu dilanjutkan
sebab akan memberikan kontribusi ilmu pengetahuan yang lebih luas tentang corak
dan watak kerajaan Islam di Asia Tenggara. Dan diharapkan, suatu hari, sejarah
Samudra Pasai dapat lepas dari kungkungan berbagai mitos yang telah menciptakan
persepsi keliru tentang watak perkembangan Islam di nusantara.
Ledak-Letup
Kegundahan
Entah karena memang benar banyak
nilai-nilai yang telah bergeser dalam masyarakat Aceh. Entah benar anggapan
bahwa orang Aceh, dalam berbagai lapisan dan strata kehidupannya, cuma
mementingkan apa saja yang membawa keuntungan materil, tidak peduli nilai-nilai
yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Jangankan kaum awam, kalangan yang
mengaku sebagai pribadi-pribadi pemelihara nilai-nilai luhur ternyata juga
bekerja untuk kepentingan pribadi.
Entah benar keikhlasan dan
ketulusan adalah suatu hal yang sulit sekali dipercaya, tidak masuk akal,
sekalipun nama Tuhan sudah dibawa-bawa. Kepercayaan menjadi barang amat mahal
dalam masyarakat, yang mengaku diri mereka mu’min. Sebuah potret masyarakat
dengan warna yang amat kusam.
Entahlah jika itu memang suatu
realita yang sukar dipungkiri. Jelasnya persepsi semacam itu sering terdengar,
dan malah diyakini memang demikian. “Pokoknya tidak ada orang yang berbuat
untuk kepentingan orang lain. Semuanya berbuat untuk kepentingan pribadinya.
Titik!”
Entahlah, cuma yang jelas tak ada
yang bisa mengelak dari hantaman persepsi ini, termasuk gerak penelitian untuk
menemukan dan mengangkat sejarah Islam dari puing-puing Samudra Pasai.
Terjangan kecurigaan, terkadang, mendepak k.o. gerak penelitian, terpental dari
ring dan pertandingan sering harus dihentikan untuk sejenak. Ketika itulah ketulusan
diperlakukan seperti layaknya sebuah ketololan. “Di zaman ini, cuma orang-orang
bodoh, dungu, yang berbuat ikhlas. Lain itu, nonsense!”
Siapa yang rugi? Tidak lain
adalah masa depan bangsa ini. Sebab, untuk waktu sekarang, mengharapkan peran
dan partisipasi pihak-pihak berwenang dan bertanggung jawab dalam
masalah-masalah menyangkut kebudayaan sebagaimana peran para khalifah dan
sultan zaman dahulu dalam menggalakkan ilmu pengetahuan dan budaya, adalah
suatu yang teramat sulit barangkali kata mustahil lebih tepat!
Mungkin, karena bagi
“sultan-sultan” beserta perangkatnya hari ini, kebudayaan tidak begitu penting.
Kebudayaan terkadang hanya diperlukan untuk menjadi kulit luar misi-misi
politis, dan panggung hiburan (peasan). Hiburan tentu banyak didukung dan
diminati oleh orang-orang yang suka mengendurkan urat-urat sarafnya, dan gemar
mengeritik kemajuan yang dicapai oleh orang lain sambil bawa-bawa endatu
geutanyoe(leluhur kita)—di mana endatu, di mana kita?!
Untuk hal memproduksi, menambah
serta menyebarkan wawasan kebangsaan-keagamaan, pemahaman dan ilmu pengetahuan
dianggap tidak begitu urgen dalam dunia di mana berbagai bangsa sudah
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai national security-nya! Lebih baik selalu
menjadi pengekor asal bisa bersenang-senang hari ini! Tidak perlu ambil pusing
dengan generasi mendatang yang mungkin akan kehilangan negeri, bangsa dan boleh
jadi juga agama mereka—para priyayi dan uleebalang yang hidup di bawah ketiak
penjajah juga melakukan hal yang sama dahulunya!
Ketidakpedulian
ini tanpa disadari seperti menimbun gunung di atas puing-puing Samudra Pasai
sehingga semakin tak terlihat dalam semayamnya di kesenyapan zaman. Maka, tidak
perlu menyalahkan generasi mendatang apabila mereka tidak menghargai kita!
Mereka belum pernah diperkenalkan dengan identitas dirinya sementara kita asyik
mengeruk keuntungan dari tanah yang kita katakan mencintainya!
Itu satu hal. Lainnya, iklim
materialisme yang sudah tidak kepalang tanggung menyebabkan runtuhnya rasa
saling percaya di antara sesama, sehingga gerak penelitian itu juga tidak
jarang dihadang tuduhan-tuduhan dan ragam hasutan dari sebagian masyarakat yang
belum punya kesadaran budaya yang tinggi serta minim pendidikan yang berbasis
pembentukan pola pikir beradab dan berbudaya.
Ini semua menjadi rintangan di
jalan penelitian. Dan apa pun kenyataannya, pihak-pihak resmi pemerintah yang
berwenang dalam hal ini mesti punya rasa tertuntut—apabila masih punya perasaan
untuk menambah vitalitasnya; beugarang, beuseu’u, dendang Rafly. Kelesuan dan
stagnasi tidak pernah relevan dengan ajaran Islam, begitu pula dengan zaman di
mana kita berhadapan dengan berbagai tantangan globalisasi.
Inilah ledak-letup kegundahan.
Saya kira kita tidak miskin kewarasan dan kedewasaan untuk mencoba
mendiskusikannya, dan kita tentu telah lama meninggalkan pola respon
sentimentil seperti layaknya perawan yang tersinggung digoda seorang jejaka!
Penulis baris-baris ini pun tidak jarang ditunjuk-tunjuk ke matanya, dituduh
antek-antek dari etnis yang diumpat dengan laknatillah sesaat melakukan
penelitian. Tapi jelas kita tidak perlu cengeng, mengusap mata sambil
mengancam: ingat, kuadukan kepada orangtuaku (misykah.com)!
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...