budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Kisah Raja Ubit Dipedalaman Rimba Aceh
Kisah Raja Ubit Dipedalaman Rimba Aceh
Posted by: Unknown Posted date: 06.35.00 / comment : 0
Hidup terisolir
selama puluhan tahun di tengah Hutan membuat keturunan Raja Ubiet tak tersentuh
peradaban modern. Mereka yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari
Keumala-Tangse ke pedalaman pucuk Gunung Itam. Ironisnya, mereka baru
mengetahui jika Indonesia sudah merdeka pada tahun 1985. Bahkan sampai saat ini
ada di antara mereka yang tak pernah makan garam, takut turun gunung karena
menganggap Negeri masih di kuasai Belanda. Bagaimana kisahnya?
Raja Ubiet
adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya
ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran
penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris
tanpa sentuhan modernisasi.
Saat ini, ada 50
kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di
pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung
Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di
wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking
sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas
kaki dengan kepala dililit kain hitam
Warga yang
dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan
rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak
turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas
turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka
pemukiman baru di Gunung Kong.
“Mereka turunan
kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an,
semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh
kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun.
Jarak tempuh
dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam
berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.
Ironisnya,
kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari
Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui
kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun
1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.
Seusai bertemu
gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan
Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya
masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan.
“Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan
sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.
Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke
pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat.
Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh
pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.
Tidak boleh memakai topi juga tanpa
alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka
sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga
kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.
Dia bilang, kaum
perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang
seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja,
celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka
dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas.
Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan
dulu.
Ia pun
mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda,
makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan
mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung
lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak
mudah diendus jejaknya.
Begitu juga,
terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap
memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan
pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali,
komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya
berwarna-warni.
Kebencian
terhadap penjajah itulah, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung
Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula, hingga kini mereka
belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi
handphone, di sana.
Selain itu,
tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini.
Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap
mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap
orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan
Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar
mereka.
Tak pelak lagi,
ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak
menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam
penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi.
Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun
dari Tanaman Hutan
Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.
Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.
Sementara itu, sebagian anak kecil
lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda,
selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang
tuanya ke ladang.
Siang pun tiba,
matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang
biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali
bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Malam tiba, giliran anak-anak belajar
mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan
yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada
sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.
“Sebenarnya ada anak-anak yang bisa
baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun
gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang
Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun
meminta diajarkan baca tulis.
Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat
yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku
sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman
tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung
Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan
Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.
“Masih ingat apa yang dikatakan nek
tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang
turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong.
Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya
membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk
keturunan Raja Ubiet disana,” tukasnya lagi.
Beberapa diantara keturunan Raja
Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran
Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka
telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar
petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan.
Selain pendidikan yang tidak ada sama
sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun
setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut
Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri
yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.
Biasanya, sakit yang diderita pun
hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka
di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti
penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang
sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.
Dituturkan Teuku Saudi, sebagian
besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi,
tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di
tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau
hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak
melewati daerah terlarang.
Diceritakan Teuku Raja Keumala,
ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka
harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian
besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya
setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian
Sungai Krueng Itam.
Keesokan harinya, jalannya akan
mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi,
seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan
Aceh tengah dan Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas
Teuku Raja Keumala.
Ketika menyusuri jalan dua hari dua
malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap
menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan
‘raja’. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi,
beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi
gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.
Raja Keumala menilai kalau gajah itu
merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang
buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu
juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara
menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap
seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu
si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan,
tanpa saling kenal terlebih dahulu.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
Diundang Wakil Gubernur
Diungkapkan Wagub, Teuku Raja
Keumala, baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika
diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga
ketika mengunjungi Wagub, ucapnya.
“Saya mengundang Teuku Raja Keumala,
kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga
yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti
yang lalu-lalu,” tukasnya.
Setelah berbicara panjang lebar
dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala,
mau membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku
Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan
dilepas kembali.
Ketika disinggung senjata yang masih
mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang
panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu
juga rencong.
Sedangkan pistol Aceh, telah
diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal,
kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat
disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.
Ketika Raja Keumala melihat foto
dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak
berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah
senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah
masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran itu. Senyum pun kembali
tersungging.
Silsilah Keluarga
Raja Keumala mengungkapkan, silsilah
keturunan Raja Ubiet, warga pedalaman yang mendiami Pucuk Gunung Ijo atau hulu
sungai Krueng Itam. Saat melarikan diri dulu, sebenarnya Raja Tampuk yang
memimpin pelarian, yaitu ayah Raja Ubiet, sedangkan Raja Ubiet, lahirnya di
hutan.
Beberapa pelarian yang ikut serta
saat itu, kini telah menetap di Gunung Kong. Sedangkan keturunan asli Raja
Ubiet atau Raja Tampuk, masih mendiami pedalaman hutan, termasuk Cut Gembak Mu,
anak tertua Raja Ubiet (dari istri pertama).
Setelah itu, Raja Taniansa, Cut
Fatimah, Cut Moramen, dan Cut Nuri. Lalu, dengan istri kedua, ada Teuku Raja
Keumala, Cut utri, dan Teuku Datok Mak. Dengan istri ketiga, lahirlah Cut
Syareh Purnama dan Cut Teubangan.
Sedangkan istri lainnya; Cut Bunda,
Cut Bulen, Cut Meuligo, dan Cut Bungong Jeumpa. Masih istri yang kesekian, ujar
Raja Keumala, ada anak bernama Cut Intan. “Hanya itu yang saya ingat. Dari
mereka yang saya sebutkan, ada yang sudah meninggal dan ada juga yang masih
hidup,” ucapnya.
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...
-
Awas, Terompet dan Topi Tahun Baru Lambang PemurtadanTahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniu...