budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Asia Tenggara dalam Kurun Syiar Islam (Abad ke-7 H/13 M—ke-11 H/17 M) Asia Tenggara dalam Kurun Syiar Islam (Abad ke-7 H/13 M—ke-11 H/17 M)
Asia Tenggara dalam Kurun Syiar Islam (Abad ke-7 H/13 M—ke-11 H/17 M) Asia Tenggara dalam Kurun Syiar Islam (Abad ke-7 H/13 M—ke-11 H/17 M)
Posted by: Unknown Posted date: 07.41.00 / comment : 0
Penyebaran
Islam adalah fenomena sejarah menakjubkan. Banyak para ahli sejarah, baik di
kalangan Muslim maupun Non-Muslim (Barat) yang telah membincangkan fenomena
ini. Banyak faktor telah mendukung sampainya Islam di pesisir utara Sumatera
lalu penyebarannya ke berbagai pelosok di kawasan Asia Tenggara. Namun di
antara berbagai faktor terpenting ialah karena “jati diri” Islam itu sendiri
sebagai agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia (universal).
“Al-Quran
ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, dan sesungguhnya kamu
akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Quran setelah beberapa waktu lagi.”
(Shad: 87-88)
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (Saba’: 28)
“Dialah
yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama
yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrikin tidak menyukai.” (At-Taubah: 33)
Kesadaran
akan hal itulah yang telah menumbuhkan berbagai usaha orang-orang Muslim untuk
menyebarkan agama Allah di muka bumi. Da’wah atau menyeru kepada Islam
merupakan suatu kewajiban, individu maupun lembaga. Islam juga mensyari’atkan
jihad sebagai cara untuk membukakan jalan bagi Islam sampai kepada berbagai
kelompok manusia di mana saja mereka bertempat tinggal di dunia. Jihad fi
sabilillah tidak serta merta berarti menggunakan kekerasan untuk memaksakan
orang lain memeluk Islam. Jihad selain ditujukan untuk mempertahankan wilayah
Islam, juga untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan da’wah Islam berkembang
dan setiap orang dapat memilih dengan bebas memeluk Islam. Sementara untuk
meyakinkan orang lain memilih Islam dengan penuh kerelaan, Islam
menyelenggarakan da’wah dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, nasehat yang
baik, serta dialog dengan metode yang terbaik.
Penyebaran
Islam di manapun tempat di dunia ini tidak pernah lepas dari ajaran Islam itu
sendiri yang telah membangkitkan semangat untuk menyampaikannya kepada seluruh
manusia. Islam bukan untuk suatu kelompok atau etnis, tapi Islam adalah adalah
agama untuk membawa kebaikan kepada seluruh manusia.
Da’wah
adalah tugas individu dan kelompok Muslim dalam status apapun. Inilah yang
menjadi faktor paling penting dalam sampai dan menyebarnya Islam di pesisir
utara Sumatera kemudian ke berbagai wilayah yang luas di Asia Tenggara.
Dari
itu, penyebaran Islam bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, sambil
lalu, ataupun dikarenakan suatu kepentingan di luarnya semacam perdagangan dan
lainnya, namun memang sesuatu yang dimaksudkan serta dilakukan secara serius
oleh setiap Muslim baik pribadi maupun kelompok.
Islam yang Tersebar lewat Da’wah
dan Jihad Masa-masa sebelum Abad ke-7 H/ke-13 M
Sebagian
ahli sejarah menyebutkan bahwa jalur perdagangan ke Asia Tenggara telah ada
sebelum masa kedatangan Islam. Beberapa komuditi dengan kualitas terbagus yang
berasal dari kepulauan India (Asia Tenggara) telah dikenal dan dipasarkan oleh
orang-orang Arab. Al-Qur’an menyebutkan beberapa komuditi asal India dengan
nama India yang telah di-arab-kan seperti zanjabil (jahe) dan kafur (kamper).
Abad
ke-1 Hijriah, Islam menjangkau seluruh semenanjung Arab dan Persia meliputi
masyarakat pelaut yang hebat di sekitar teluk Persia (teluk Arab). Para
pedagang di sekitar teluk Persia diyakini sebagai orang yang mula-mula
menyebarkan Islam sampai kawasan barat daya India (Malabar).
Memang
tidak mustahil, dalam abad ke-1 H/ke-7 M, para pedagang Muslim telah sampai ke
daerah-daerah kepulauan di Asia Tenggara (Jaza’ir Al-Hind). Namun sejauh ini
belum ditemukan data-data sejarah yang lebih dapat menguatkan hal tersebut.
Abad
ke-2 H/ ke-9 M adalah abad di mana orang-orang Muslim dapat dipastikan telah
berada di kepulauan Asia Tenggara. Sulaiman As-Sirafiy atau yang terkenal
dengan Saudagar Sulaiman (Sulaiman At-Tajir) yang lahir di Siraf, sebuah
wilayah di teluk Arab, pada 851 M mencatat laporan perjalanan ke India dan Cina
dalam satu manuskrip diberi tajuk Hawadits Tarikhiyyah Mutatabi’ah. Dalam
manuskrip yang disalin kembali oleh seorang ahli geografi sedaerahnya, Abu Zaid
As-Sirafiy ini, ia mencatat peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan
perdagangan antara Timur Tengah dan Cina. Tulisan itu juga menerangkan bahwa
Teluk Arab pada waktu itu disebut dengan Teluk Cina disebabkan banyaknya
kapal-kapal Cina yang lalu-lalang dan hal itu sudah merupakan pemandangan yang
biasa. Kapal itu biasanya sampai ke Siraf, membongkar muatannya ke kapal-kapal
kecil yang kemudian mengangkut barang-barang tersebut ke Bashrah serta
negeri-negeri lainnya di Teluk. Dalam perjalanan pulang ke Cina, kapal-kapal
itu singgah di pantai Oman sebelum melayari samudera India ke Cailon sampai
akhirnya tiba di Canton yang merupakan pelabuhan terbesar untuk perdagangan
dengan wilayah-wilayah di barat dunia.
Dalam
laporan tersebut, Sulaiman memuat banyak informasi mengenai koloni-koloni
Muslim yang hidup pada waktu itu di Cina. Koloni-koloni itu pada umumnya
terdiri dari pedagang yang hidup di bandar-bandar, khususnya di Khanfu
(Canton). Orang-orang Muslim punya hubungan baik dengan orang-orang Cina yang
memperoleh manfaat besar dari perdagangan tersebut. Namun hubungan ini sempat
terganggu beberapa waktu kemudian akibat pecahnya revolusi di Cina. Pada 878 M,
kekacauan itu telah membunuh para pedagang asing. Namun demikian, hubungan itu
kembali membaik sampai dengan waktu kunjungan Ibnu Baththuthah di abad ke-14 M.
Dari
laporan Saudagar Sulaiman tersebut dapat disimpulkan bahwa koloni-koloni Muslim
telah terbentuk sepanjang jalur perdagangan antara Asia Barat (teluk Persia)
sampai Cina. Pantai utara Sumatera begitu pula barat sampai selatannya
tampaknya merupakan kawasan-kawasan yang dikunjungi dan dihuni masyarakat
Muslim.
Berita
mengenai keberadaan orang-orang Muslim di Sumatera dapat diketahui dari tulisan
Buzurk Syahriyar Ar-Ramhurmudzi dalam Aja’ib Al-Hind: Barruhu wa Bahruhu wa
Jaza’iruhu:
“Adat
istiadat para raja [kepulauan] Emas dan Zabaj (Sriwijaya?) tidak membolehkan
seorang pun dari orang-orang Muslim dan asing, siapa pun dia, begitu pula
seluruh penghuni kerajaan-kerajaan mereka untuk duduk di hadapan mereka selain
dengan sikap yang disebut dengan “bersila”. Siapa saja yang mengulurkan kakinya
atau duduk dengan cara lain, maka ia akan dikenakan denda berat sesuai harta
miliknya. Kebetulan pada suatu waktu, seorang nakhoda bernama Juhud Kuta
(Kuta”h”) hadir di depan salah seorang raja di sana bernama Sarnata Kala
(Kala”h”). Nakhoda itu seorang yang dihormati serta diakui kedudukannya, dan
sudah berusia lanjut. Ia duduk bersila di depan Raja Sarnata Kala. Sampai lama
Sarnata Kala belum beranjak berdiri. Juhud sudah tidak tahan lagi maka
tiba-tiba ia mengalihkan topic pembicaraan. Dia menceritakan tentang kan’ad
(satu jenis ikan). Katanya: ‘Di tempat kami, di Oman ada sejenis ikan, kan’ad
namanya.
Satunya
sebesar ini,’ sambil menjulurkan kakinya
dan menggenggam bagian tengah pahanya, ‘dan ada lagi yang sebesar ini,” seraya
menjulurkan kakinya yang sebelah lagi dan menggenggam pangkal paha. Raja lantas
mengatakan kepada menterinya, ‘Lelaki ini tentu punya alasannya sendiri mengapa
saat kita sedang membicarakan hal lain, ia lantas tiba-tiba membicarakan
tentang ikan. Apa sebabnya?’ Menteri lantas menjawab, ‘Wahai Raja, dia ini
laki-laki tua, sudah berusia lanjut dan lemah. Dia tidak tahan lagi duduk
begitu. Karenanya saat dia sudah lelah dan hendak istirahat, dia mencari sebab
dan alasan untuk itu. Maka saat itu Raja mengatakan, ‘Ada baiknya kita menghapuskan
aturan duduk ini dari orang-orang Muslim lagi asing ini.’ Sejak itulah
dibatalkan aturan tersebut, dan diganti dengan aturan yang membolehkan
orang-orang Muslim untuk duduk sesuka mereka di hadapan raja-raja, sementara
lain mereka tetap duduk dengan cara bersila dan barangsiapa yang melanggarnya
akan dikenakan denda.”
Kisah
ini dapat menunjukkan telah adanya koloni-koloni Muslim di pantai Sumatera,
namun mengenai masyarakat-masyarakat Muslim awal di sepanjang jalur perdagangan
samudera India menuju Cina masih sedikit sekali dikaji. Selain itu, untuk
sementara ini belum pernah ditemukan
tinggalan sejarah Islam yang berasal dari masa yang lebih awal dari abad ke-7
H/ke-13 M kecuali beberapa batu nisan kuno, antara lain batu nisan Fathimah di
Leran, batu nisan di Barus dan beberapa batu nisan lainnya yang masih perlu
ditinjau ulang.
Sekalipun
demikian, masa-masa pra-abad ke-7 H/ke-13 M jelas telah membuka jalan bagi
perkembangan Islam yang muncul pada abad kemudian terutama pada awal abad ke-7
H/ke-13 M.
Masa-masa Abad ke-7 H/ke-13 M dan
Setelahnya
Untuk
sebelum masa Al-Malik Ash-Shalih memerintah, ditemukan tiga batu nisan makam
bertarikh wafat pada abad ke-7 H/ ke-13 M. Pertama, batu nisan makam seorang
bernama Ibnu Mahmud yang bertarikh wafat 622 H di Gampong Leubok Tuwe, Meurah
Mulia, Aceh Utara; kedua, batu nisan tidak menyebutkan nama tapi hanya
menyebutkan sifat-sifat pemilik makam, yang juga bertarikh wafat pada tahun
yang sama 626 H. Kemudian, satu makam lagi milik seorang yang disebut dengan
Ibnu Khaddajih, wafat pada 676 H di Gampong Matang Ulim, Samudera, Aceh Utara.
Dari tinggalan-tinggalan sejarah tersebut diyakini bahwa kekuatan politik Islam
mulai terbentuk di kawasan pantai utara Sumatera paling tidak sejak awal abad
ke-7 H/ke-13 M.
Kemudian,
dari masa penghujung abad ke-7 H/ ke-13 diperoleh data sejarah teramat penting
dari batu nisan makam Sultan Al-Malik Ash-Shalih yang menggambarkan suatu
perkembangan baru bagi Islam di Asia Tenggara. Bila epitaf nisan-nisan
sebelumnya tidak menyebutkan gelar sultan di awal nama tokoh pemilik makam,
maka pada nisan Al-Malik Ash-Shalih yang wafat pada Ramadhan 696 H, gelar itu
pertama sekali dicantumkan. Dengan demikian, sejauh yang diketahui tentang
tinggalan sejarah Islam di Asia Tenggara, Al-Malik Ash-Shalih merupakan sultan
pertama yang muncul di kawasan Asia Tenggara. Tidak mustahil pula jika
kesultanannya telah mendapat pengakuan (taqlid) serta penggelaran sebagai
Al-Malik Ash-Shalih dari khilafah Bani ‘Abbas yang pada waktu itu berada di Kairo.
Mengenai
gelar sultan, Jalaluddin As-Suyuthiy (W.( menyebutkan dalam Husnul Muhadharah:
“Penamaan ini (sultan) hanya dapat dipakai bagi seorang yang kekuasaanya
membawahi raja-raja. Dia dengan demikian
menjadi raja diraja seperti Mesir, Syam atau Ifriqiyah (Tunis dan ke baratnya),
atau Andalus. Prajurit kerajaannya harus berjumlah sekitar 10.000 prajurit, dan
apabila negeri di bawah kekuasaannya bertambah luas dan prajuritnya bertambah
banyak, berarti tambah besar kekuasaannya, dan boleh disebut dengan sultan
agung. Apabila disebut namanya dalam khuthbah-khuthbah di wilayah-wilayah
seperti Mesir, Syam, Jazirah Arab dan semisal di Khurasan, Irak, Faris, atau di
Afriqiyah, Maghrib Tengah dan Andalusia, maka ia dapat disebut dengan Sulthan
Salathin (sultannya para sultan) sebagaimana halnya dinasti Seljuk.”
Gelar
sultan pertama sekali dipakai oleh Dinasti Buwaih pada masa ‘Abbasiyyah. Sejak
itu, gelar sultan digunakan oleh Dinasti-dinasti Samaniyah, Ghaznawi, Saljuk,
dan seterusnya oleh Dinasti Aiyubiyah, Mamalik (Mameluk) dan Utsmaniyyah
(Ottoman). Dalam masa panjang itu, gelar Sultan juga kemudian digunakan oleh
pemerintah-pemerintah negeri Islam di India.
Kemudian,
sesuai data-data sejarah yang berhasil diperoleh dari inskripsi-inkripsi pada
nisan-nisan tinggalan zaman Samudra Pasai yang masih dapat disaksikan sampai
dengan hari ini di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, diketahui bahwa di
pesisir utara Aceh telah muncul satu dinasti Islam yang memerintah sampai
dengan permulaan abad ke-10 H/ ke-16 M. Dapat dikatakan—sejauh yang diketahui
mengenai tinggalan sejarah Islam di Asia Tenggara—bahwa dinasti ini merupakan
dinasti Islam pertama yang muncul di kawasan paling timur dunia Islam.
Dalam
masa-masa pemerintahan dinasti ini, Islam mendapatkan bumi yang padat untuk
tegak dan melebarkan sayap da’wahnya ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Ibnu
Bathuthah dalam laporannya mencatat:
“Keterangan
mengenai Sultan Javah (Jawah/Jawiy). Yaitu Sultan Al-Malik Azh-Zhahir. Ia
adalah di antara raja-raja yang utama dan pemurah. Bermazhab Syafi’iy dan
menyukai ahli-ahli hukum (fuqaha’). Mereka berkumpul di majlis Sultan untuk
menelah dan mengulang kaji. Beliau juga seorang yang banyak melakukan jihad dan
penaklukan. Sangat rendah hati. Apabila pergi ke Mesjid untuk shalah Jum’ah
beliau memilih jalan kaki (tidak menunggang). Rakyat negerinya adalah
orang-orang yang bermazhab Syafi’iy, dan sangat suka berjihad di jalan Allah.
Mereka ikut berjihad bersama Sultan dengan suka rela. Mereka menguasai
negeri-negeri orang kafir di sekitar mereka. Orang-orang kafir itu membayar
jizyah untuk berdamai.”
Tidak
hanya itu, kebudayaan Islam pun diyakini berkembang maju dalam masa-masa ini,
terutama pada abad ke9 H/ke-15 M. Hal ini dapat terlihat dari warisan sejarah
yang ditinggalkan, antara lain:
Pertama,
ditemukan makam tokoh-tokoh yang lewat inskripsi pada nisan makamnya diketahui
bahwa mereka merupakan tokoh-tokoh ulama dan politik yang mempunyai kedudukan
tinggi. Salah seorang di antara mereka ialah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul
Qadir bin Yusuf bin ‘Abdul ‘Aziz bin Manshur Abi Ja’far Al-‘Abbasiy
Al-Mustanshir bi-Llah, yang digelar dengan Shadrul Akabir (pemuka para
pembesar) dan wafat pada 816 H/1414 M. Makamnya di Gampong Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara.
Kedua,
inskripsi Arab pada nisan-nisan makam yang menunjukkan penggunaan bahasa Arab
secara luas dan telah menjadi salah satu bahasa resmi negara, berikut bunyi
inskripsi yang terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an yang terpilih, hadits dan
syair-syair Islam, yang semuanya menunjukkan kedalaman para penghuni zaman itu
dalam kebudayaan Islam;
Ketiga,
warisan seni kaligrafi Arab yang telah melampaui tingkat meniru dan sampai pada
tingkat berkarya (ibda’) dengan warna cita rasa seni yang khas Asia Tenggara.
Semua
ini menunjukkan suatu kehidupan kebudayaan yang dinamis dan maju sampai dengan
suatu kebudayaan Islam dalam warna khas Asia Tenggara menampakkan diri dengan
jelas dan kemudian mampu berdiri sejajar dengan berbagai kebudayaan bangsa
Islam lainnya.
Pada
saat kekuatan imperialisme Eropa mulai menancapkan kukunya di Asia Tenggara dan
berlanjut dengan kejatuhan Melaka ke tangan Portugis, Samudra Pasai di bawah
pemerintahan Dinasti Ash-Shalihiyyah telah mengalami kemerosotan. Namun, di
barat pesisir utara Sumatera, di Aceh, sebuah kekuatan baru sedang menyusun
diri untuk menjadi kekuataan pengganti Dinasti Ash-Shalihiyyah dan peran
Samudra Pasai. ‘Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah tampil mempersatukan
wilayah-wilayah Islam yang telah berpecah-pecah dalam masa kemerosotan Samudra
Pasai, dan pusat pemerintahan Islam kemudian berpindah ke Aceh setelah Samudra
Pasai berhasil dikuasai Maharaja Ibrahim.
‘Ali
Mughayat Syah adalah pelopor kebangkitan umat Islam Asia Tenggara dan merupakan
pendiri dinasti kesultanan Aceh. Sebagaimana dinasti sebelumnya, dinasti ini
bertanggungjawab untuk seluruh negeri yang berada dalam perlindungannya atau
memiliki hubungan persahabatan dengannya. Sekalipun mereka menghadapi tantangan
berat akibat tekanan bangsa-bangsa imperialisme Eropa, namun tugas utama yang
telah dibebankan oleh syari’at Islam ke atas pundak mereka untuk menyiarkan
Islam tidak pula diabaikan—bahkan mungkin menjadi suatu motivasi baru dalam
penyiaran Islam. Dalam pada itu para sultan juga terus memajukan kebudayaan dan
peradaban sebagaimana dapat dilihat dari berbagai tinggalan sejarah dari zaman
Aceh Darussalam.
Penguasa dan Penyebaran Islam
Uraian
di atas, sebagaimana dimaklumi, menekankan peran kekuatan politik Islam
(sultan/dinasti kesultanan) dalam penyiaran dan penyebaran Islam di Asia
Tenggara. Karenanya, dirasa perlu memaparkan secara singkat menyangkut hubungan
penguasa dengan penyebaran Islam dalam sejarah Islam.
Sejarah
Islam, sebagaimana dikatakan Jamal ‘Abdul Hadi dan Wafa Muhammad, adalah
sejarah bagi satu-satunya agama yang diridhai Allah yaitu Islam, “Sesungguhnya
agama di sisi Allah adalah Islam.” (Al ‘Imran:19). Sejarah Islam adalah sejarah
penerapan agama ini, sejarah penerapan syari’at Allah kepada anak Adam.[8] Maka
dalam konteks ini, perintah Islam terhadap kaum Muslimin, penguasa maupun
rakyatnya, mengenai penyiaran Islam adalah suatu yang harus senantiasa
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam penulisan sejarah Islam. Sebab, meskipun
penerapan Islam tidak berada dalam kondisi yang selalu normal dan stabil,
tetapi di sebagian besar waktu, perilaku Muslim—individuil maupun
kelompok—tidak dapat dilepaskan sama sekali dari petunjuk agamanya.
Memperhitungkan dorongan agama (al-wazi’ ad-diniy) dalam sebuah peristiwa
sejarah sebesar penyiaran dan penyebaran Islam di Asia Tenggara adalah suatu yang
mutlak harus dilakukan oleh setiap penulis sejarah yang insaf.
Perintah
Islam yang paling berkenaan dengan penyiaran dan penyebaran Islam adalah
perintah jihad di jalan Allah, tapi ini tidak secara serta merta berarti bahwa
Islam menyebar lewat cara-cara
kekerasan. Islam adalah agama fitrah yang memiliki komposisi-komposisi
kepribadian yang mampu meyakinkan orang untuk memeluknya. Akan tetapi,
gerakan-gerakan jihad dan pembebasan memiliki peran utama dalam melindungi
pemeluk Islam dari faktor-faktor yang mengakibatkan mereka keluar atau dipaksa
keluar dari Islam. Gerakan-gerakan itu juga memiliki peran dalam mempertahankan
wilayah-wilayah Islam untuk tetap berada di bawah panjinya di sepanjang masa.
Pada gilirannya, penulisan sejarah penyebaran Islam tidak akan pernah jauh dari
sejarah jihad. Keduanya ibarat kembaran.
Menyiarkan
dan menyebarkan Islam adalah tugas yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya
(Al-Qur’an: Saba’: 28), dan Allah menyatakan akan memenangkan agama-Nya
(At-Taubah: 33). Allah juga telah
berjanji: (An-Nur: 55; Al-Anbiya’: 105; Al-Qashash: 5).
Setelah
Rasulullah saw. wafat, sejarah Islam memperlihatkan bagaimana tugas ini
kemudian dipanggul oleh para sahabat besar (Khulafa’ Ar-Rasyidun) yang
menggantikan kepemimpinan Rasulullah saw.. Tugas penyiaran Islam kemudian
dilanjutkan pula oleh para pemimpin umat pada kurun-kurun berikutnya sebagai
implementasi hadits Rasulullah saw., “Jihad terus berlanjut sampai dengan hari
kiamat.” Penyebaran dan pembebasan Islam pada gilirannya mengisi sebagian besar
sejarah Islam, malah terkadang peristiwa-peristiwanya telah dicatat secara
khusus oleh para sejarawan Muslim, sebut saja misalnya Al-Balazuriy dalamFutuh
Al-Buldan, Ibnu A’tsam Al-Kufiy dalam Al-Futuh, Al-Uzdiy dalam Futuh Asy-Syam
demikian pula Al-Waqidiy.
Di
Asia Tenggara, penyiaran Islam sekalipun diakui telah dilakukan baik oleh kaum
pedagang Muslim sebagaimana pendapat sebagian sejarawan, maupun oleh kaum sufi
pengembara sebagaimana pendapat lainnya, namun kerja meluaskan wilayah Islam
sekaligus mempertahankanya itu tidak pernah dapat dipisahkan dari kepemimpinan
umat dalam berbagai tingkatannya.
Dari
konsep ketata-negaraan Islam yang disusun Al-Mawardi (wafat 450 H/1059 M),
tampak jelas peran yang diwajibkan oleh syariat Islam kepada penguasa dalam
persoalan jihad dan penyiaran Islam. Al-Mawardi, bahkan, menerangkan bahwa di
antara seluruh jenis kewenangan khusus, kewenangan khusus yang diberikan kepada
amir (panglima) dalam jihad adalah yang paling besar ditinjau dari sisi
hukum-hukumnya, dan terbanyak pembagian serta macamnya, ditambah pula dengan
hukum kepemerintahannya yang apabila menyangkut perkara khusus maka dengan
sendirinya termasuk dalam hukum kepemerintahannya yang umum.
Lebih
lanjut, kita dapat mencermati persoalan penyiaran Islam itu dari data-data
historis yang dihasilkan dari beberapa tinggalan sejarah. Data-data tersebut
diyakini mampu menunjukkan kepada kita suatu kenyataan yang barangkali
sebelumnya merupakan hal yang masih samar-samar, yaitu: peralihan kepada Islam
dan perombakan besar-besaran wajah Asia Tenggara itu telah berlangsung paling
tidak mulai abad ke-7 H/ ke-13 M, dan—yang paling penting lagi—telah
diorganisir dengan sangat rapi oleh setiap kekuatan Islam di Asia Tenggara baik
oleh penguasa kawasan (sultan) maupun oleh masing-masing penguasa negeri Islam
(malik/raja). Inilah peristiwa besar di masa lalu yang telah mengantarkan Asia
Tenggara ke babak kemoderenannya sehingga sangat tepat apabila kurun itu
disebut dengan kurun da’wah (imsykah.com).
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...