budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Penasaran dengan Izhharul Haq, CISAH ke PeunaronNaskah Izhharul Haq
Penasaran dengan Izhharul Haq, CISAH ke PeunaronNaskah Izhharul Haq
Posted by: Unknown Posted date: 07.50.00 / comment : 0
Peunaron,
satu nama tempat yang terdengar akrab bagi mereka yang meminati kajian-kajian
sejarah permulaan kedatangan Islam ke
pesisir utara Sumatera (Aceh). Pasalnya, sebuah naskah kitab yang konon katanya
memuat silsilah raja-raja Peurlak berasal dari seorang bernama Akub
Peunaron-Gayo. Naskah itu, menurut catatan M. Yunus Jamil yang tertanggal pada
12 Maret 1953, berjudul Izhharul Haq; Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai,
karangan Abu Ishaq Al-Makaraniy. Catatan itu ditulis Jamil dengan bahasa
Jawiy di atas lembaran manuskrip yang
disebutnya sebagai “halaman lepas dari Kitab Izhharul Haq..”. Sementara manuskrip Izhharul Haq versi
lengkapnya, sampai kini belum pernah dijumpai atau dipublikasikan, dan masih
semacam misteri.
Begitupun,
oleh para sejarawan Aceh, antara lain A. Hasjmy dan H. M. Zainuddin, lembaran
berasal dari Akub Peunaron itu telah dijadikan salah satu dokumen penting
mendasari klaim mereka bahwa seawal abad ke-3 H/ke-9 M, telah muncul sebuah
kerajaan Islam di Asia Tenggara, yakni Kerajaan Peurlak dengan penguasa
pertamanya Sayyid ‘Abdul ‘Aziz Syah. Keberasalan lembaran naskah tersebut dari
Akub di Peunaron-Gayo, pedalaman Peurlak, semakin memperteguh klaim tersebut.
Lembaran itu kemudian dipublikasi Hasjmiy dalam salah satu karya setebal 478
halaman berjudul Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, yang terbit pada 1983.
Terdorong
rasa penasaran untuk melacak asal-usul lembaran tersebut, kami rihlah ke
Peunaron, yang baru lima tahun lalu berubah status menjadi kecamatan, pemekaran
dari Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur. Tujuannya ialah untuk mencari
dan menjumpai keluarga Akub Peunaron, sekaligus menggali berbagai keterangan
tentang Akub Penaron yang barangkali masih hidup sampai permulaan paroh kedua
abad ke-20 silam, begitu pula mengenai kronologi kepemilikannya atas lembaran
naskah tersebut.
Ke
Peunaron
Sabtu
pagi (23/11/2013) sekitar pukul 08.15 WIB, kami tiba di Keude (pusat
perbelanjaan) Gampong Beusa Seberang, Peurlak Barat. Dari gampong yang berada
di barat Krueng (sungai) Peurlak, kami bersepeda-motor ke arah selatan melalui
jalan beraspal yang kondisinya lumayan baik. Perjalanan silih berganti antara
menaiki bukit dan melewati areal sawah yang luas. Selama perjalanan, seperti
setiap kali berpergian ke berbagai pelosok Aceh, selalu muncul kesan bahwa
lahan layak huni di provinsi yang dulunya merupakan wilayah kesultanan Aceh ini
masih sangat luas terbentang, dan perlu
dimakmurkan. “Masih luas sekali tanah Aceh ini!” ucap salah seorang dari kami
seperti berbicara dengan dirinya.
Setelah
hampir satu setengah jam, dan setelah menuruni sebuah gunung paling tinggi
sejak dari awal perjalanan, lalu menyeberangi sebatang sungai jernih dan tidak
lama setelah jalan mendaki kembali, tampaklah lembah Peunaron yang permai
seperti tersingkap dari balik tirai alam yang menutupinya.
Kami
terus melaju mencari ibukota kecamatan. Jalan masih terlihat lengang.
Rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan juga tampak sepi. Tiba di perbatasan
memasuki Gampong Arul Pinang yang berbatu kilometer 42 dari Peurlak, keramaian
mulai tampak. Rumah-rumah penduduk semakin padat dari sebelumnya. Di kiri-kanan
jalan, terlihat biji-biji cokelat (Theobroma cacao) yang sedang dijemur warga,
dan menebarkan aromanya yang khas. Suasana yang secara langsung mengabarkan
tentang kemakmuran wilayah pedalaman itu.
Arul
Pinang merupakan ibukota Kecamatan Peunaron. Fadil Rahmi, Ketua Ikatan Alumni
Timur Tengah yang berdomisili di Banda Aceh dan beristrikan Ainiyyah, wanita
asal Peunaron, yang kami hubungi untuk informasi awal mengenai Peunaron
ternyata telah memberitahukan Camat Peunaron dan mertuanya perihal kedatangan
kami. Tak lama menunggu sambil menikmati kopi di warung milik seorang pemuda
asal Pidie, Pak Camat pun datang. Ia menyambut kami dengan sangat ramah. “Saya
asal dari Panton Labu, Aceh Utara, tapi sudah sejak tahun 1980 berdomisili di
Peunaron. Setamat SPG (Sekolah Pendidikan Guru-red), saya ditugaskan untuk
mengajar di sini,” beber Camat Jaman (baca: Yaman) setelah mengetahui kami
datang dari Lhokseumawe.
Siapa
Akub Peunaron?
Kepada
Pak Camat, kami utarakan perihal kedatangan kami untuk mencari keluarga Akub
Peunaron yang disebutkan oleh M. Yunus Jamil pada lembaran naskah manuskrip
yang menurutnya adalah Izhharul Haq. Sejenak Pak Camat memperhatikan fotocopy
lembaran naskah yang kami tunjukkan. “Tapi setahu saya, dan yang sering saya
dengar-dengar, itu adalah nama Pang Akob. Beliau, menurut satu cerita, adalah
seorang pejuang zaman dulu. Asalnya dari Simpang Jernih, dan kuburnya itu di
Samarkilang, bukan di Peunaron,” terang pria kelahiran 2 Mei 1961 ini. “Kalau
Akub yang dimaksud ini (terkait lembaran naskah Izhharul Haq-red), saya belum
pernah dengar,” tambahnya lagi.
Perbincangan
terhenti sejenak. Bapak Haji Bindinsyah (59 tahun), salah seorang tokoh sesepuh
masyarakat Peunaron dan anggota Tuha Pheut (dewan konsultan gampong) Arul
Pinang, yang juga mertua Fadhil Rahmi, datang menyambut kami dengan hangat.
Sebentar kemudian kami sudah kembali lagi dalam topik awal: siapa Akub Peunaron
ini?
Dari
kedua tokoh masyarakat itu diketahui, Peunaron hari ini jauh berbeda dengan
Peunaron dulu, apalagi dekade 50-an abad yang lalu. Arul Pinang, ibukota
kecamatannya hari ini, begitu juga gampong-gampong di sekitarnya, itu baru
dibuka sejak tahun 1980, setelah adanya program transmigrasi. Sebelumnya daerah
itu hanya hutan belantara dan rawa-rawa. “Dulunya, yang disebut dengan Peunaron
itu adalah kampung kecil di seberang sungai di belakang itu,” tutur Pak
Bidinsyah sambil menunjuk ke arah batang sungai yang kami lintasi sebelumnya.
“Saya saja berasal dari Lokop, dan pindah kemari sejak 80-an, dan waktu itu
masih sedikit sekali orang yang tinggal di sini,” ujarnya lagi.
Ketika
ditanyakan lagi, apakah keduanya pernah mendengar tentang Akub Penaron atau M.
Yunus Jamil, atau siapa saja yang pernah menyimpan kitab-kitab Arab bertulis
tangan (manuskrip), atau apa saja yang punya kaitannya dengan hal-hal seperti
itu, keduanya menggeleng. “Selama ini, kami belum pernah mendengarnya, tapi
coba kita tanyakan dulu kepada Geuchik Peunaron Lama. Dia itu orang yang paling
tahu tentang bagaimana Peunaron sejak dulu. Dia keturunan asli di sini,” ucap
Pak Camat sambil menekan beberapa tombol nomor di handphonenya.
Dari
mikrofon handphone yang volumenya sengaja dibesarkan terdengar suara, “Di sini
ada yang namanya Akub, sudah meninggal, dia seorang ustadz, tapi isteri mudanya
masih hidup.” Mulanya kami sedikit merasa senang mendengar informasi tersebut.
Seperti memperoleh secercah sinar untuk jawaban yang kami cari. Tapi kemudian
jadi ragu juga jika itu memang benar-benar orang yang kami cari. Begitupun,
kami menerima saran Pak Camat untuk menemui Geuchik Peunaron Lama agar dapat
memperoleh keterangan lebih lanjut tentang Akub yang dimaksudnya.
Peunaron Lama
Peunaron
Lama adalah sebuah gampong kecil di lereng gunung yang lazim disebut warga
setempat dengan gunung besar. Di kaki gunung itu, mengalir Krueng Peunaron yang
kemudian bersama-sama dengan KruengBuni dari arah lain, menuangkan airnya ke
Krueng Tuan. Lalu di bagian hilirnya, Krueng Tuan ini membelah wilayah Peurlak
menjadi dua bagian yang hari ini disebut dengan Kecamatan Peurlak Timur dan
Peurlak Barat.
Menurut
Camat Jaman, asal muasal tempat ini dinamakan dengan Peunaron lantaran dari
dulu sampai sekarang, terkenal dengan kesuburannya. Berbagai hasil alam
diperoleh di sini. Sebab itulah, orang-orang yang datang kemari, dulunya,
mengambil semua hasil alam yang mungkin mereka peroleh lalu mereka ikat ke
punggung mereka. “Itulah sebabnya tempat ini disebut dengan pu-na-run, artinya
hasil alam apa saja yang diperoleh diikatkan ke punggung untuk dibawa pulang,”
tutur laki-laki yang telah mengabdikan sebagian besar umurnya di wilayah
terpencil ini.
Usai
bincang-bincang seputar keadaan masyarakat di Peunaron yang umumnya adalah
petani berasal keturunan dari berbagai daerah lain seperti Jawa, Gayo, pesisir
Aceh dan lainnya, dan hidup dalam kemajemukan yang rukun dan harmonis, kami
mohon pamit untuk dapat meneruskan penyelidikan tentang Akub Peunaron yang
disebut M. Yunus Jamil di lembaran manuskrip.
Kami
kembali ke bagian tepi Krueng Peunaron mencari rumah Ucak. Ucak yang berarti
laki-laki pendek, adalah panggilan akrab orang-orang tua di Peunaron untuk
laki-laki bertubuh tegap yang kini mempersilahkan kami ke dalam rumahnya. Rumah
panggung bercat hijau muda merupakan penanda kediaman Ucak yang sekarang
menjabat sebagai Geuchik Peunaron Lama. Pria kelahiran 1961 ini bernama asli
Kasah. Sangat ramah, dan berbicara dengan bahasa Aceh yang fasih. “Orang tua
ibu saya berasal dari Alue Ie Puteih (Aceh Utara-red), namanya M. Yusuf,”
ungkap Bang Kasah, “sedangkan kakek saya dari pihak ayah seorang Gayo asal
Lokop.”
Kepada
Bang Kasah, kami kembali mengutarakan maksud kedatangan kami mencari keluarga
keturunan dari Akub Peunaron yang dicatat M. Yunus Jamil pada tahun 1953, sambil
menunjukkan fotokopi naskah itu kepadanya. “Itulah,” kataBang Kasah memulai
keterangannya, “yang ada di sini seorang tua yang namanya Akub. Dia meninggal
sekitar lima tahun yang lalu. Keluarganya tinggal tidak jauh dari sini. Dan di
sini, ia dipanggil Ustadz.”
Saat
ditanyakan, pernah dengar tentang Akub yang mungkin sudah berusia tua dalam
tahun-tahun 50-an, ia menjawab, “O, kalau itu, saya tidak pernah dengar.”
Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan, kami kembali menanyakan, atau
adakah orang ataupun sebuah keluarga yang diketahui menyimpan atau setidaknya
pernah menyimpan kitab-kitab bertulis tangan (manuskrip) atau semacamnya di
sini? Bang Kasah pun kembali menggelengkan kepala. “Tidak ada,” tegasnya lagi.
Menurut
Bang Kasah, di Peunaron ini dulunya cuma ada beberapa rumah saja. Tidak seramai
sekarang, dan jalan ke sini dari Peurlak pun baru ada jalan setapak. “Kami,
kalau pergi atau pulang dari Peurlak harus menginap semalam di jalan,”
terangnya lagi. Begitu terpencilnya Peunaron pada masa dulunya sehingga hal-hal
yang seperti kami tanyakan kepadanya tampak sebagai sesuatu yang agak sulit
dibayangkan. “Kalau hal-hal semacam itu, mungkin, akan lebih mudah ditemukan di
gampong sebelum Peunaron dari arah Peurlak. Gampong Leubok Bayah, namanya. Di
situ ada Nek Lambak. Mungkin, ia lebih tahu hal-hal begitu,” urai Bang Kasah
menutup keterangannya.
Hari
sudah lewat Zhuhur saat kami mohon izin kepada Bang Kasah, dan beranjak
meninggalkan perkampungan berhawa sejuk itu. Aliran sungai Peunaron yang membelah
rimba nan hijau masih melekat di pelupuk mata. Meskipun yang dicari belum
kunjung ditemui, namun kepada Bang Kasah kami katakan akan singgah lagi kapan
saja kami melintasi wilayah kekuasannya ini (Peunaron Lama). Ia menimpali
dengan senyum lebar sambil berucap, “Ya, baik. (imsykah)”
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Nafsiah Mboi, Usai Kondom Sekarang Minyak BabiSetelah membuat marah umat Islam melalui program 'Kondom'-nya, kini Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal p...
-
80 Persen Salon Esek-Esek di KutarajaBANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda ...
-
Terduga Teroris di Bekasi Diduga Jaringan LamonganTEMPO.CO, Bekasi - Densus 88 Antiteror Mabes Polri mencokok Siswanto dan Abidin, dua orang terduga teroris, di Bekasi tadi malam. Penangk...
-
YasinTa baca yasin oeh lheuh seumbahyang bak jum'at malam yang that mulia Nue peu trang hate ban mandum insan yang baca Qu'ran...
-
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan LegendaBerbagai legenda tentang Jeumpa dan Bireuen sering didengar dan dituturkan. Tapi, yang satu ini di luar itu semua. Ia adalah penanda...
-
5 Kali Sehari Aceh Dilanda GempaAceh - Warta Indonesia : Aceh kembali dilanda gempa, Gempa pertama yang berkekuatan 6,2 SR terjadi pada pukul 14.37 WIB berpusat di B...