breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Sejarah Singkat Abu Keumala

Share This
 Sejarah Singkat Abu Keumala-Abu Keumala" itulah gelar untuk seorang Ulama populer Aceh yang bernama lengkap Teungku Haji Syihabuddin Syah. Masyarakat Aceh mengenalnya sebagai orator ulung karena kelihaiannya dalam menyampaikan dakwah yang terkesan unik dan sarat dengan ilmu pengetahuan. Salah satu keunikan dari ceramah Abu Keumala ialah apa saja yang disaksikan atau yang sedang terjadi, mampu beliau jadikan bahan perbandingan dalam ceramahnya terutama yang menyangkut masalah ketauhidan. Abu sangat membidangi bidang tauhid, sehingga Abu Sulaiman lhoksukon menghadiahkan sebatang tongkat untuk abu sebagai penghargaan atas keistimewaannya. Selain berpidato dan berceramah, Abu juga mengisi hari-harinya dengan seumeubeut (mengajar) dan menulis. Salah satu karya beliau yang terkenal adalah " Risalah Makrifah ". sebuah karya di bidang tauhid yang sangat penting dimiliki oleh semua golongan.

Asal-Usul
Teungku Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala berasal dari Seuneuddon Aceh Utara, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir dari pasangan Teungku Syah kuban dan Nyak La sekitar tahun 1928. Selain Abu keumala, terdapat banyak Ulama yang berasal dari seuneuddon seperti Abu Seuriget, Langsa (Teungku Muhammad) yang merupakan pendiri dayah Darul Mu'arif, teungku Muhammad Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965-1975), Abu Panton (Teungku Ibrahim Bardan) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (1975 - sekarang), dan Abu Alue Bilie (Teungku Karimuddin) pimpinan dayah Babussalam Pante Breuh.

Pendidikan Dayah
            Semenjak umur sembilan tahun, Abu telah belajar di Dayah keumala Kabupaten Pidie, dan beberapa Dayah lainnya yang terkenal di Aceh termasuk Dayah Abu Krueng kale, baru kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Dayah Labuhan haji, Aceh selatan yang saat itu dipimpin oleh Abuya Tgk. H. Muhammad Waly al-Khalidi yang merupakan Ulama besar Aceh dan sekaligus guru para Ulama Aceh, namun Karena lama belajar di dayah Keumala, maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala.
Abu keumala dapat dikatakan salah seorang Murid kesayangan Abuya Muda wali, sebagaimana diceritakan oleh Tgk. Ridwan Syihab yang merupakan salah seorang anak abu keumala bahwa karena kedekatannya, abu sering berdialog dengan Abuya tidak hanya untuk masalah Ilmiah, bahkan masalah-masalah yang terkesan agak lucu. Suatu hari Abuya bertanya pada Abu keumala "Soe malem lon ngon Abu Krueng kale?" (siapa yang lebih Alim antara saya dengan Abu Krueng kale?). "meunyoe malem, leubeh malem Abuya, tapi meunyoe saleh, leubeh shaleh Abu krueng kale" (Abuya lebih alim, tapi Abu krueng kale lebih shaleh) jawab Abu keumala. "Pakoen meunan" (kenapa demikian?) Tanya Abuya lagi. Dengan nada lembut Abu keumala menjawab "kareuna Abuya na meu'en-meu'en silet, meunyoe Abu krueng kale hana" (kerena Abuya suka bersilat, kalau abu krueng kale tidak). Lalu abuya menyahut "nyan keu ek teulheue sagai". Kata-kata ini sukar diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, tapi lebih kurang abuya bermaksud bahwa beliau berlatih dan bermain pedang hanya sekedar untuk penghangat suasana. Dan percakapan antara Abuya dan Abu keumala saperti diatas bukanlah bertujuan untuk membanding-bandingkan ilmu atau kealiman Abuya dengan Abu krueng kale, tetapi hanya sekedar candaan yang dapat menghilangkan kakunya suasana.
Mungkin panggilan "Abu Keumala" agak sedikit tidak lazim, karena biasanya seorang Ulama dipanggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana beliau menetap, bukan bedasarkan tempat beliau mengaji, tapi itulah nama yang dikenal oleh masyarakat. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957 dengan salah seorang cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau dianugrahi Sembilan orang anak.

Hijrah ke Medan
Rasulullah S.A.W diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Madinah ketika masyarakat mekkah memperlakukan Rasulullah dengan cara kasar. Kejadian hampir serupa dialami oleh Abu keumala yang harus hijrah ke Medan saat sebagian orang Aceh tak dapat menerima sikap beliau yang tidak menyetujui gerakan perlawanan terhadap pemerintah.
Seorang pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah yang diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung tiga puluh orang pelajar Aceh yang menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Teungku Syihabuddin mengajarkan agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi masyarakat di sekitar tempat itu.
Pertikaian antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru diserbu oleh sekitar tiga puluh enam orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak-porandakan, kemudian dibakar. Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan broti di kepalanya hingga tidak berdaya, namun beliau dapat diselamatkan ke rumah sakit.
Hancurnya asrama yang saat itu dihuni oleh tiga puluh orang pelajar dan mahasiswa yang juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, menjadi masalah bagi pemuka-pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk menampung pelajar dan mahasiswa.

Pendirian Sekolah Islam
Masalah asrama pelajar/mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. yang mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter atas nama Yayasan Sosial Medan. Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu mengingatkan kita akan Dayah Darussalam tempat Abu memperdalam ilmu Agama. Nama jalan itu memang diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan untuk mengenang Dayah Darussalam di Aceh, nama itu diterima baik oleh Haji Muda Siregar yang saat itu menjabat sebagai walikota Medan (tahun 1957).
Karena digunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu diberi nama Asrama Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI (Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), dan SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh Teungku Syihabuddin Syah dan Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Untuk memperkokoh perhatian masyarakat terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin Syah mengajar majelis taklim orangtua-orangtua murid yang diberi nama Safinatussalamah (kapal penyelamat). Pengajian itu berkembang dengan pesat di kota Medan. Teungku Syihabuddin Syah juga mengajar di sebelas majlis taklim di Kota Medan. Beliau menempuh perjalanan ke tempat-tempat pengajian tersebut dengan menggunakan kendaraan VW Combi yang disetir oleh beliau sendiri.
Nama komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan komplek Miftahussalam itu berkat dukungan masyarakat dalam berbagai bentuk. Karena kegigihan beliau dan dukungan masyarakat, akhirnya beliau mampu membuka SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.
Komplek Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang belajar pagi dan sore. Indah dan damainya komplek tersebut begitu terasa ketika kita menyaksikan siswa dan siswi SLTP dan SMU berpakaian Islami lengkap dengan jilbab, terlebih lagi saat kita menyaksikan keceriaan mereka saat menuju ke Mesjid Taqarrub untuk shalat Ashar berjama'ah.
Berdakwah memang keistimewaan luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Abu. Banyak masyarakat dari suku batak yang menerima Islam berkat dakwah Abu, bukan itu saja, mereka bahkan memanggil Abu dengan sebutan Tgk. Syihabuddin Syah sembiring yang menunjukkan keinginan mereka untuk menjadikan Abu saudara se-marga mereka. Ini berarti Abu punya kedudukan teramat Istimewa di hati mereka.
Berbicara tentang ibadah, Abu keumala nampak sangat tekun menjalankannya, terutama di bulan ramadhan beliau menghabiskan waktunya di ruangan sederhana untuk berkhalwah, yaitu beribadah dengan cara menyendiri dan tidak berkomunikasi dengan orang lain. Metode ibadah seperti ini dapat merubah perilaku tidak baik seseorang yang suka menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain dan tidak suka mengingat Allah.

Akhir Hayat
            Sebelum meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula-mula gangguan mata hingga tidak dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang, namun tidak ada perobahan. Kemudian beliau menderita penyakit Diabetes. Dalam keadaan sakit, beliau tetap berusaha menjalankan aktifitasnya sebagai Imam shalat dan memberi kuliah walaupun tidak maksimal sebagaimana biasanya. Inilah kehidupan yang penuh dengan episode yang punya segenab perubahan. ”Satu persatu pelita dunia pemimpin ummat dan sesepuh agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh al-Ustadz Drs. Hj. Halim Harahap, mewakili para khatib Masjid Taqarrub Jalan Darussalam 26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek perkuburan Mesjid Raya al-Mansur jalan Sisingamangaraja, Medan.
Abu Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No. 2 Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub, mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun yang berada di luar Kota Medan.
            Masjid tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam ceramah singkat maupun dalam pengajian ibu-ibu dan bapak-bapal. Kuliah agama di berikan di mesjid itu terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.

Pada acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr. Hj. Aslim Sihotang yang menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan kepada murid-muridnya supaya kitab yang ditulis oleh Almarhum pada tahun 1983 yang berjudul Risalah Makrifah agar di cetak. 
«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama