breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Unlabelled / 80 Persen Salon Esek-Esek di Kutaraja

Share This

BANDA ACEH - Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili, S. STP mengungkapkan. Ada sekitar 80 persen salon di Banda Aceh, digunakan sebagai tempat esek-esek. Gila!
BUKAN fiksi apalagi cerita fiktif. Sebaliknya, inilah fakta miris yang membuat dada menjadi sesak seketika. Bayangkan, ada 80 persen usaha rumah kecantikan alias salon di Kota Banda Aceh, digunakan sebagai tempat transaksi esek-esek atau akrab disebut maksiat.
           Ini memang buka kisah baru, tapi sudah lama terjadi. Namun, pengakuan tak elok itu, kembali disampaikan Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili S. STP. “Dari semua usaha salon yang ada di Banda Aceh, 80 persen diantaranya bergerak di bidang esek-esek. Sementara 20 persen sisanya memenuhi syarat dan pekerjanya memiliki sertifikat keahlian kecantikan,” ungkap Reza.
Pengakuan Reza tentu tidak mengada-ada, apalagi di bulan suci ramadhan saat ini. Buktinya pertengahan Juni 2013 lalu. Salon Fortuna di Jalan Sultan Hotel, Peunayong, Banda Aceh, terpaksa diberhentikan aktivitasnya. Bahkan, pintu utama tempat usaha (toko) itu sudah di segel oleh Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Senin 8 Juli 2013. Itu disebabkan, salon “nakal” tersebut, terbukti menggunakan usahanya sebagai tempat esek-esek.
Nasib serupa juga berlaku untuk Salon Ulfa, Jalan Pembangunan, Peunayong, Banda Aceh. Rumah kecantikan ini pun bernasib sama alias di segel. Penyebabnya, karena pemilik salon telah menggunakan usahanya sebagai tempat praktik maksiat.
Sebelumnya, petugas WH Kota Banda Aceh telah memberikan peringatan dan pembinaan kepada pemilik salon. Bahkan, sudah pernah membuat surat pernyataan yang dibubui materai 6000. Nyatanya, mereka masih “bandel”.
Dua salon itu merupakan bukti masih berkembangnya usaha “lendir” di Kota Banda Aceh yang kadung disebut sebagai model Kota Madani. Praktik ini telah menyebabkan banyak generasi Aceh hancur. Sehingga membuat petugas Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, lebih fokus pada penertiban pelanggar minuman keras dan khalwat.
Kepala Tata Usaha Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Reza Kamili S. STP mengungkapkan. Dari semua usaha salon yang ada di Banda Aceh, 80 persen diantaranya bergerak di bidang esek-esek. Sementara 20 persen sisanya memenuhi syarat dan pekerjanya memiliki sertifikat keahlian kecantikan.
“Sebenarnya, Pemerintah Kota Banda Aceh telah mengeluarkan syarat mendirikan usaha salon. Salah satunya, pekerja salon memiliki sertifikat keahlian,” kata Reza Kalimi di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu.
Masih kata Reza Kamili, untuk melacak dan menekan jumlah salon esek-esek agar tidak dapat berkembang lagi. Pemko Banda Aceh  mencabut izin salon “nakal” tersebut, untuk kemudian tidak memberi izin kembali. “Itu karena mereka menjalankan usaha rumah kecantikan hanya sebagai kedok saja,” papar Reza.
Memang, jika dilihat secara teliti, banyak alat kecantikan di salon itu sudah kadaluarsa, bahkan peralatannya sudah berdebu. Berbeda dengan beberapa usaha salon lain seperti salon Marthatilaar dan salon Rudi Hadisuwarno. “Selama ini mereka (salon Marthatilaar dan Rudi Hadisuwarno) berjalan dengan baik dan tidak kami tindak,” kata Reza Kamili.
Penertiban tempat usaha “nakal” sudah dilakukan Satpol PP dan WH sejak 2011 lalu. Dari data yang diperoleh media ini, dari tahun 2011 hingga 2013, sudah sembilan tempat usaha salon di segel Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh (lihat boks---red). Penyebanya, karena pemilik usaha tersebut melanggar Qanun Nomor: 14 tahun 2003 tentang khalwat dan mesum junto Qanun Banda Aceh Nomor: 4 Tahun 2003 tentang SITU junto Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 7 Tahun 1999, tentang HO????
Qanun Banda Aceh Nomor: 4 Tahun 2003 tentang SITU menjelaskan. Setiap orang dan/atau badan yang hendak membuka tempat usaha/jasa dalam wilayah Kota Banda Aceh, harus memperoleh Izin Tempat Usaha dari Walikota Banda Aceh.
Selain itu dalam Pasal 4 Ayat (1) disebutkan. Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 7 Tahun 1999 tentang Izin Gangguan/HO juga menjelaskan setiap orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha, wajib memiliki Izin Gangguan dari Walikota Banda Aceh.
Sementara Qanun Aceh Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat dan Mesum menjelaskan, tempat usaha yang menyediakan fasilitas maupun memfasilitasi terjadinya praktik khalwat dan mesum, maka tempat usahanya disegel. “Beberapa tahun terakhir kita mendapati pemilik salon memang memfasilitasi terjadinya praktik maksiat, bahkan kami juga mendapati pasangan mesum,” ujarnya.
Salon Ulfa misalnya. Petugas Satpol PP/WH Kota Banda Aceh mendapati seorang mahasiswa yang sudah siap bertransaksi dan melakukan mesum. “Kita tangkap dan bawa ke kantor,” jelas Reza.
Peristiwa serupa juga terjadi di Salon Fortuna. Seorang pekerja salon ditangkap polisi syariat saat sedang bersama seorang pria. Parahnya lagi, pemiliknya juga berada di situ, saat pelaku diamankan. Pemilik salon yang disebut Mami ini bertugas menghubungi pelanggan “budaknya”.
Menariknya, para pekerja seks komersil (PSK) di Banda Aceh merupakan pendatang dari luar Aceh. Kebanyakan berasal dari Medan, Sumatera Utara. “Sedangkan pelanggan kebanyakan orang Aceh,” sebut Reza Kamili.
Ada kesan, mereka sudah sangat terlatih dalam menghilangkan barang bukti ketika petugas mengeladahnya. Hampir setiap pelaku yang ditangkap, petugas sering sekali kekurangan barang/alat bukti. Namun, dari pengakuan pelaku, biasanya pelanggannya berasal kalangan mahasiswa, wiraswasta, dan PNS. Namun begitu, Reza Kamili menyimpulkan, jumlah tertinggi pelaku pelanggar khalwat berasal dari kalangan mahasiswa.
Menurut dia, jika tidak diawasi, dalam sehari PSK itu dapat melayani 10 pelanggan dengan tarif Rp 100 hingga Rp 300 ribu. “Jika 10 orang saja dalam sehari omsetnya bisa Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Namun, jika dikalikan  sebulan (30 hari--red), omsetnya bisa Rp 90 juta. Luar biasa!” prediksi Reza.
Mungkin, karena itu pula para PSK rela bermain kucing-kucingan dengan petugas. Mereka hanya memanfaatkan waktu “berdagang” disaat petugas lengah. Celakanya, mereka biasa memanfaatkan waktu shalat petugas untuk melayani pelanggannya.
Maklum, di tengah keterbatasan porsonil, petugas dituntut untuk bekerja dari 18 hingga 20 jam sehari. Saat ini, petugas Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh ada 154 orang. Rincinya, 101 orang Satpol PP dan 53 orang WH.
“Hampir rata-rata kami menangkap pelaku mesum itu ketika petugas mau shalat. Begitu mendapat kabar dari masyarakat, kami langsung bergerak ke lokasi dan meninggalkan shalat berjamaah,” kata Reza Kamili.
Jadi, tidak heran jika waktu azan berkumandang, pelanggan salon “nakal” itu menjadi ramai. Bahkan mereka menganggap pada saat waktu shalat, merupakan kesempatan bagi mereka. Selain itu, mereka juga sering memanfaatkan waktu tengah malam atau sekitar pukul 02.00 Wib hingga 04.00 Wib. Karena pada saat itu, petugas tidak lagi melakukan razia.
Selain di salon, praktik maksiat juga sering dilakukan di rumah kos, hotel, dan losmen yang ada di Banda Aceh. Jika di persentasekan tempat praktiknya, 80 persen dilakukan di salon, sementara 20 persen lagi di rumah kos, hotel, dan losmen.
Kabarnya, setiap salon “nakal” di Peunayong di backing oleh oknum TNI dan Polri. Namun begitu, Reza Kamili mengaku, pihaknya belum mendapatkan perlawanan yang nyata dari oknum TNI maupun Polri dalam melakukan penertiban.
“Kami aman-aman saja. Walaupun kami dengar ada (backing) di satu-dua salon, tapi kami tidak mendapatkan hambatan apapun di lapangan”. Meski demikian, Reza Kamili mengaku, pihaknya telah berupaya menekan opersional salon-salon “nakal” di Banda Aceh. Kebanyakan salon “nakal” itu berada di Peunayong dan Kampong Baru, Banda Aceh.Begitupun, dia memberi apresiasi kepada masyarakat Peunayong yang telah ikut membantu petugas dalam membasmi penyakit sosial di bumi syariat ini. (Modus Aceh).
«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama