breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Menyusuri Makam Raja Jeumpa

Share This
 Mengawali sejarah Kabupaten Bireuen, dulunya dikenal wilayah Jeumpa. Baru setelah pemekarannya dengan kabupaten induk yakni Aceh Utara, nama Bireuen semakin berkibar sejalan dengan pesatnya pembangunan yang digenjot beberapa tahun terakhir.
Begitupun, asal muasal Jeumpa tak mudah dilupakan orang. Untuk itu Kompas.com mencoba menelisik sepintas sebuah situs sejarah yang berkaitan erat dengan penamaan Jeumpa dimaksud. Adalah sebuah perbukitan Cot Keujruen, Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Aceh.

Di sana, terdapat hamparan batu nisan memadati areal perkuburan dengan lokasi curam dan tinggi. Bila kurang berhati-hati menaikinya, bisa saja terpeleset bahkan terseret jatuh di badan bukit yang dipenuhi semak belukar dan puluhan batang kayu besar di sekeliling. Kesan tak terawat menambah aksen seram setiba di puncak bukit.
Terdapat beberapa gundukan batu berukuran sedang dan besar serta diselingi beberapa nisan. Salah satunya adalah Makam Raja Jeumpa. Dari sejarah dihimpun, menyebutkan adalah seorang raja bergelar Raja Abdullah yang berasal dari India belakang masuk ke Kuala Jeumpa (pelabuhan peradagangan masa itu) pada abad ke VII atau VIII.
Akhirnya sang raja bersama istrinya Ratna Kumala menetap di sana dan dinobatkan menjadi raja. Di sana Raja Abdullah menamakan negeri itu sesuai nama negeri asalnya, yakni "Khampia" yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sang raja memiliki dua anak, yakni Siti Geulima dan Raja Jeumpa.
Setelah dewasa, Raja Jeumpa memimpin kerajaan di sekitar perbukitan Peudada hingga Pante Krueng Peusangan. Istananya terletak di Blang Seupung yang dulunya terkenal sebagai bandar pelabuhan besar. Masa kejayaannya diakui benar dengan peninggalan benda-benda di sekitar lokasi tersebut.
Berdasarkan ikhtisar Raja Jeumpa yang ditulis oleh Ibrahim Abduh yang disadurnya dari Hikayat Raja Jeumpa, membuktikan hasil observasi di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak mahligai Kerajaan Jeumpa ditemukan cermin pintu atau jendela setebal enam mili, cincin (bisa muat di jari kaki), anting (sebesar gelang tangan), tali leher, serta kolam pemandian bagi orang-orang istana.
Begitupun sekelumit kisah ringkas di atas sana semakin langka diketahui dan bahkan nama pelaku sejarah itu tak diketahui oleh khalayak ramai khususnya di Bireuen. Kalaupun pernah mendengar hanya sebatas gelar namanya saja yakni Raja Jeumpa, sedang sejarah, silsilah dan bahkan makamnya pun terabaikan begitu saja.
Ironisnya lagi, ketika menyambangi makam raja terkenal pada zamannya itu hanya seonggok batu berukuran besar yang membuktikan bahwa benar itu sebuah makam. Kondisi malam cukup jauh dari kesan terawat.
Penuturan seorang warga Zumairi (42 tahun), selama ini perawatan seadanya dengan bergotong-royong membersihkan areal kuburan dilakukan masyarakat setempat. Sedangkan dari dinas atau pemkab setempat belum dilakukan.
Untuk makam Raja Jeumpa itu sendiri, terlihat berbeda dengan makam-makam yang terdapat di sana. Selain letaknya tepat berada di puncak bukit dengan ketinggian lebih kurang 15 hingga 20 meter, batu yang terdapat di makam juga berukuran besar dan tertinggi dari barisan kuburan lain.
"Sejak kecil warga di sini terbiasa diceritakan tentang sejarah makam tersebut, namun susah juga mengisahkan jika ada orang bertanya," jelas Zumairi.
Ia mengaku, banyak pengunjung dari luar Aceh bahkan luar Indonesia kerap berziarah ke makam ini yang biasa ditemani warga tempatan. Akan tetapi, Zumairi mengakui ukuran batu yang membesar sejalan dengan waktu selama ratusan tahun lalu memang menyedot perhatian publik. Begitu pula usia batang pohon berukuran besar yang menaungi ratusan kuburan di perbukitan tersebut, yakni serut.
Disebut-sebut batang itu memiliki masa tanam cukup lama hingga tumbuh besar sepanjang 20 meter. Ada cerita aneh di balik kokohnya pohon serut tersebut. Zumairi mengaku pernah ada orang yang ingin menebangnya untuk dimanfaatkan kayunya. Namun, tak berapa lama berselang orang tersebut terkena penyakit aneh yang memiriskan.
Kisah sama terjadi pada seorang perempuan yang pernah mencoba mengambil ranting-ranting kayu pohon serut untuk keperluan memasak. Namun saat hendak mengambil ranting-ranting tersebut tangannya seakan sulit digerakkan sehingga si perempuan tadi membatalkan niatnya.
Sejak saat itu, konon masyarakat yang berdiam di Desa Blang Seupung menganggap keramat makam-makam di sana sehingga secara bergotong royong menyempatkan diri membersihkan makam dari ilalang yang meninggi.


«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama