breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / / Prahara Perkawinan di Aceh

Share This
Di Aceh, bicara mengenai perkawinan menjadi perkara yang sensitif. Sebelum meminang wanita idaman, pria Aceh harus menyiapkan mahar yang lumanyan besar untuk takaran masyakarat berkehidupan seadanya. Tetapi karena untuk dapat hidup bahagia bersama wanita idaman tak apalah mengeluarkan emas sebanyak 10 sampai 20 mayam bahkan lebih.
Ternyata, selain mahar yang besar itu, pria Aceh juga harus menyiapkan "uang hangus" untuk segala keperluan mempelai wanita. Uang hangus ini biasanya sudah ditentukan oleh pihak keluarga wanita dengan jumlah menurut kesepakatan. Dengan uang hangus ini pula mempelai wanita bisa membeli perlengkapan kamar dan sejenisnya supaya menunjang keindahan pernikahan kelak.
Selain masalah rumit di atas, ternyata masalah perwakinan di Aceh lumanyan panjang dan butuh kesabaran. Kita lupakan masalah mahar karena saya sudah menulisnya di salah satu cerpen yang dimuat di Majalah Femina. Mari kita lihat beberapa prosesi pernikahan di Aceh yang menurut adat-istiadat merupakan hal yang sangat istimewa.

Malam Pacar
Kita mengenal malam pengantin atau malam pertama, di Aceh ada yang namanya malam membubuhkan pacar (inai) di jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki. Pengantin wanita akan dirias bagaikan penari India yang penuh warna merah tua di tangan dan telapak kaki.
Malam pertama membubuhkan pacar tersebut punya tradisi tersendiri, di mana orang tua, sanak famili dan kerabat dekat lainnya beramai-ramai ke rumah mempelai. Di malam itu akan dilakukan peusijuk gaca, di mana akan dilakukan tradisi khusus semacam meminta berkat melalui tradisi yang konon diakui sebagai ajaran Hindu. Karena ini di Aceh, peusijuk udah dianggap sebagai budaya sendiri dan dilakukan sesuai kaidah Islam yang berlaku. Biarpun masih banyak yang menyangsikan dan enggan melakukan peusijuk tetapi ulama di Aceh seakan diam saja dan ikut melakukan tradisi ini, karena itu pula masyarkat yang melakukan peusijuk tidak serta-merta disalahkan sepenuhnya.
Peusijuk gaca dimulai dengan melakukan ritual mempeusijuk wadah menghaluskan pacar tersebut. Setelah itu, mempelai wanita juga dipeusijuk oleh minimal tiga orang yang dianggap layak melakukannya. Peusijuk ini pertama sekali dilakukan oleh orang yang dituakan seperti imam masjid atau ulama terdekat.
Setelah prosesi peusijuk ini kemudian mempelai wanita bersiap-siap untuk dihiasi telapak tangan dan kaki dengan pacar. Dalam membubuhkan pacar pada mempelai wanita biasanya dilakukan oleh orang yang lumanyan telaten dalam melukis sehingga hasilnya akan lebih bagus pula.
Pacar ini akan dibubuhkan pada pengantin wanita minimal tiga malam berturut-turut. Bisa ktia bayangkan bagaimana kreatifnya pelukis pacar ini, sanggup melukis bekas goresan malam sebelumnya sehingga tetap terlukis model yang sama.
Pacar/inai ini menjadi suatu keharusan dan ciri khas penting dalam perkawinan di Aceh. Dengan telapak tangan dan telapak kaki berwarna merah menjadi pertanda bahwa seorang wanita baru saja dipinang pria idamannya, dan akan melangsungkan akad nikah sampai peresmian pernikahan mereka. Pacar ini pun merupakan suatu penghargaan kepada wanita Aceh dalam mempercantik dirinya sendiri secara alami. Terlepas dari simpang-siur boleh atau tidak, toh agama tidak mengharamkan pacar yang pohonnya bisa kita temukan di belakang rumah.

Akad Nikah
Janji suci sehidup semati yang diucapkan oleh pria di depan penghulu saya rasa tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Dan di Aceh pelaksanaannya bisa menjelang peresmian pernikahan atau pun bisa sebulan sebelumnya.

Intat Linto dan Tueng Dara Baro
Ini merupakan dua hal berbeda, Intat Linto merupakan prosesi di mana rombongan mempelai pria mengantai pengantin pria ke rumah wanita. Intat Linto dilakukan pada hari pelaksanaan pesta di rumah pengantin wanita. Sedangkan Tueng Dara Baro merupakan prosesi kebalikan dari Intat Linto, di mana pengantin wanita diantar secara berombongan ke rumah mempelai pria.
Pada intinya, kedua prosesi ini memiliki kesamaan, sama-sama melakukan peresmian pernikahan. Perbedaannya hanya pelaksanaan di tempat berbeda dan beberapa adat yang tidak sama. Pada saat Intat Linto, para rombongan banyak membawa seserahan yang akan diberikan kepada pengantin wanita, atau keluarga wanita. Seserahan ini dikenal sebagai peunuwo bisa dalam beragam bentuknya, hal ini tentu tidak jauh beda dengan daerah lain, barangkali hanya disesuaikan dengan kebutuhan dan penamaan.
Nah, pada saat Tueng Dara Baro, pihak pengantin wanita juga melakukan prosesi yang sama disebut peunulang. Di mana memberikan seserahan kepada pihak mempelai pria, seserahan ini pun saya pikir merupakan hal yang wajar dan sesuai kemampuan ekonomi dalam membelinya.
Biasanya, saat Intat Linto maupun Tueng Dara Baro, rombongan akan disambut oleh kemeriahan penari-penari cilik yang menarikan tarian khas Aceh, seperti Ranup Lampuan. Hal ini tentu saja membahagiakan raja dan ratu sehari yang baru tiba di rumah kediaman mereka dengan penuh senyum tawa. Penari-penari cilik ini sudah dipersiapkan secara khusus dan memang memiliki tempat tersendiri dalam menghibur dibandingkan hiburan lain. Gaya-gaya kecil mereka mampu menghipnotis rombongan untuk melepas lelah sejenak selama perjalanan.

Duek Dara
Kedua memperla dipertemukan maka prosesi selanjutkan adalah duduk di pelaminan, namanya Duek Dara. Kedua mempelai duduk di atas pelaminan mewah dalam suasana panas dan ribut tamu-tamu diundang.
Saat Duek Dara (baik di rumah pengantin pria dan wanita) mereka sama-sama menjalani prosesi yang lumanyan lama. Dimulai dengan peusijuk dari orang yang dituakan hingga saling menyulam makanan maupun sesi foto bersama. Selama Duek Dara ini pula pengantin pria dan wanita harus benar-benar sabar melawan panas dahaga dan sanak-saudara yang minta foto bersama.

Peusijuk
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, peusijuk merupakan prosesi yang merngandung kontroversi di Aceh. Sebagian berpendapat bahwa peusijuk merupakan prosesi yang sama dilakukan oleh umat Hindu. Namun dilihat dari pelaksanaannya,peusijuk di Aceh sudah mengalami perubahan sesuai kebutuhan aturan dalam Islam.
Memang, peusijuk dianggap membuang-buang rejeki dengan menaburkan padi maupun beras dari ujung rambut hingga ujung kaki pengantin. Atau pun karena peusijukdianggap sebagai kepercayaan menolak bala. Pada dasarnya, bahan untuk melakukanpeusijuk ini terdiri dari beras, biji padi, tepung tawar, air, ketan, dan dedaunan khas Aceh. Peusijuk dilakukan dengan "melempar" beras dan padi yang sudah dicampur antar kepala dan kaki pengantin yang duduk bersila, kemudian tepung tawar yang sudah dicampur dengan air akan diteteskan pada kedua telapak tangan dan kaki melalui setangkai daun khas Aceh tersebut,lalu orang yang mempeusijuk akan menyuapi ketan ke mulut kedua mempelai dan diakhiri dengan salaman.
Proses ini dianggap tidak sama dengan proses yang dimaui Islam. Saya sendiri tidak menemukan aturan baku yang melarang peusijuk, bahkan sampai menanyakan kepada ulama di daerah masih membolehkan peusijuk ini. Karena, budaya tidak bisa dihilangkan hanya saja dikombinasikan dengan Islam. Pada peusijuk sendiri " selain masih dianggap pemberkatan " selama prosesnya dibacakan basmalah dan doa-doa keselamatan dunia akhirat.
            Peusijuk tidak hanya dilakukan pada pasangan pengantin saja, pada kegiatan lain pun kerap dilakukan prosesi ini.
Akhirnya, sebuah pernikahan tetap akan bahagia sesuai kemauan suami istri bukan dari faktor luar. Bagus tidaknya watak suami dan istri akan menentukan kokohnya pernikahan. Bagus atau tidaknya proses menuju rumah tangga bahagia, semua karena budaya adalah kebiasaan yang tidak bisa dibuang selama kita hidup bermasyarakat.(Viva.co.id)


«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama