breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Unlabelled /

Share This

Sebagian orang mengatakan, Kerajaan Aru jarang dibicarakan. Alasan mereka, barangkali karena Aru atau Haru kalah pamor dengan kerajaan-kerajaan lain yang pernah jaya di Nusantara semisal Samudra Pasai, Aceh dan Malaka. Namun hakikatnya, kerajaan ini sudah berdiri sejak abad ke-13 M sampai dengan abad ke-16 M di wilayah timur Sumatera Utara.
Dr. Phill Ichwan, seorang sejarawan dari Universitas Negeri Medan (UNIMED), menyatakan bahwa kerajaan ini acap kali disebut-sebut pada Amukti Palapa dalam Hikayat Pararaton, Sejarah Melayu dan dalam laporan Mandez Pinto, salah seorang penguasa Portugis di Malaka. Selain itu, Aru juga disebut dalam laporan-laporan Cina, antara lain dalam laporan Admiral Cheng Zhe (Cheng Ho).
Sejarawan terkemuka asal Sumatera Utara, Tuanku Luckman Sinar, juga telah menyebutkan bahwa pada abad ke-15 M, Kerajaan Aru merupakan kerajaan terbesar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu-lintas perdagangan di Selat Malaka. Pemerintah Kerajaan ini menguasai wilayah bagian timur Sumatera mulai perbatasan Tamiang (Provinsi Aceh) sampai dengan sungai Rokan. Sejak 1282, dalam masa Kubilai Khan menduduki kekaisaran Cina, Aru sempat beberapa kali mengirim utusannya ke Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa Aru merupakan sebuah kerajaan yang diperhitungkan di Nusantara.
Kota Rentang Pusat Kerajaan Aru
Meskipun keberadaan pusat kerajaan Islam ini masih silang pendapat, namun sebagian pakar sejarah menunjuk Kota Rentang (Hamparan Perak) sebagai ibukota kerajaan ini. Itu pada abad ke-13 M sampai dengan ke-14 M sebelum berpindah ke Deli Tua pada abad ke-15 sampai ke-16 M. Menurut para ahli, banyak faktor yang menjadi alasan mengapa Kota Rentang lebih layak dinyatakan sebagai pusat Kerajaan Aru. Salah satunya ialah karena adanya jalur dari Karo Plateuau maupun Hinterland menuju pantai timur yang terfokus pada Sei Wampu dan Muara Deli. Di kawasan itu juga ditemukan ragam keramik yang berasal dari China, Muangthai, Srilangka, serta koin atau mata uang Arab dari abad ke-13 hingga ke-14.
Temuan paling signifikan adalah batu nisan yang tersebar di situs sejarah penting tersebut. Sebaran batu nisan berbahan baku batu cadas (volcanic tuff) itu memiliki ornamentasi dalam berbagai ukuran, dan sebagiannya bertulis Arab-Melayu. Dalam banyak sisi, batu-batu nisan tersebut memiliki kemiripan dengan batu-batu nisan yang tersebar di kawasan situs Kerajaan Samudra Pasai.
Masih di kawasan yang sama, di daerah yang berawa-rawa juga ditemukan kayu-kayu besar.  Diduga, kayu-kayu tersebut merupakan sisa-sisa bekas istana Kerajaan Aru. Selain itu, ditemukan pula bongkahan batu-batu besar, serta sisa perahu tua berukuran panjang 30 hingga 50 meter. Semua ini menunjukkan bahwa Kota Rentang merupakan pusat niaga yang padat kala itu.
Asumsi ini juga diperkuat hasil penelitian tim Puslitbang Aarkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Keberadaan tinggalan arkeologi, terutama keramik dan mata uang, yang ditemukan saat penelitian eksploratif, menurut Prof. Naniek H Wibisono, menjadi bukti bahwa di lokasi tersebut pernah berlangsung aktivitas yang berhubungan dengan perniagaan.
Konflik Aru vs Pasai/Aceh
Beberapa sejarawan menulis bahwa antara Aru dan Pasai sering terjadi konflik. Menurut mereka, dalam abad ke-13 M, Pasai menyerang Aru yang mengakibatkan pusat kerajaan ini berpindah dari Kota Rentang ke Deli Tua. Di situ, para petinggi Kerajaan Aru mendirikan kembali kota pusat pemerintahannya. Namun, konon diceritakan, bahwa Pasai tidak pernah berhenti berusaha untuk menaklukkan Aru.
Kronik-kronik dan sumber tutur lainnya juga menceritakan tentang penyerangan Kerajaan Aceh ke Kerajaan Aru. Modus penyerangan itu adalah niat raja (sultan) Aceh untuk mengawini seorang puteri istana Aru bernama Putri Hijau. Raja Aceh, menurut sumber itu, pernah mengirim surat yang berisi: pertama, Puteri Hijau bersedia menjadi permaisuri raja Aceh; kedua, Aceh merupakan serambi Mekkah dan Aru adalah serambi Aceh; dan ketiga, Aceh akan menyebarkan Islam di Aru. Diceritakan pula bahwa Aceh telah menyerang Aru pada tahun 1539 dan 1564, dan dalam kedua penyerangan itu Aru berhasil mempertahankan diri. Pada kali terakhir, Aru dibantu Johor.
Menurut Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah pada CISAH-Lhokseumawe, cerita-cerita tentang sikap ekspansif Pasai dan Aceh terhadap Aru ini sebenarnya kurang dapat dimaklumi. “Tampak hanya seperti suatu sikap unjuk kekuatan dan kehebatan dan malah terkadang hanya karena ingin memperistri seorang puteri,” ujar Taqiyuddin.
Suatu hal lagi yang menjadi tanda tanya besar, kata Taqiyuddin lagi, mengapa hubungan tidak baik ini yang melulu ditonjolkan dalam mitos-mitos yang terlanjur dianggap sebagai sejarah (pseudo sejarah).
Menurutnya, kesan paling mencolok yang muncul dari dalam kisah-kisah tersebut ialah adanya suatu usaha untuk menanamkan kebencian yang kuat terhadap Aceh dan masa lalunya (Samudra Pasai). “Saya percaya ini merupakan salah satu praktik Devide at Impera-nya Belanda yang ingin menguasai seluruh Sumatera pada zaman kolonialnya? Sangat halus dan licik. Kita perlu mengkajinya lebih lanjut untuk dapat memilah fakta-fakta sejarah dari berbagai kebohongan yang dibuat penjajah,” pungkas Taqiyuddin. (imsykah.com)
«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama