budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Baitul Asyi Aceh Di Mekkah
Baitul Asyi Aceh Di Mekkah
Posted by: Unknown Posted date: 08.39.00 / comment : 0
Eksistensi ulama, sayyid dan
habib sudah tumbuh sejak awal Islamisasi terjadi di Aceh, periode Kesultanan
hingga masa kolonial. Mereka telah memainkan peran utama dan membangun pilar
penting dalam bidang keagamaan, kenegaraan dan perekonomian. Sebagian kecil
dari mereka tercatat rapi dalam manuskrip seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan
Bustanus Salatin. Namun, sebagian besar pudar dengan berbagai sebab, hanya
meninggalkan sebuah teka teki nama, termasuk diantaranya Habib Bugak dan Sayyid
Abdurrahman.
Sumber-sumber yang saya gunakan adalah surat ikrar Mahkamah Syari’ah Mekkah dan 6 (enam) sarakata Kesultanan Aceh dari hasil inventarisasi dan laporan Dr Hilmi Bakar dan Tim Red Crescent. Perbedaannya “mungkin” cara dan metodelogi yang digunakan untuk membedahnya, dari secuil ilmu yang saya miliki dan sumber terbatas yang saya ketahui. Sebagai info, ikrar waqaf Mekkah ditulis tahun 1222 H, sedangkan sarakata I (1206 H), II & III (1224 H), IV (1270 H), V (1289 H) dan VI (tanpa tahun). Dan dua dari enam sarakata tidak berstempel Kesultanan.
Sumber-sumber yang saya gunakan adalah surat ikrar Mahkamah Syari’ah Mekkah dan 6 (enam) sarakata Kesultanan Aceh dari hasil inventarisasi dan laporan Dr Hilmi Bakar dan Tim Red Crescent. Perbedaannya “mungkin” cara dan metodelogi yang digunakan untuk membedahnya, dari secuil ilmu yang saya miliki dan sumber terbatas yang saya ketahui. Sebagai info, ikrar waqaf Mekkah ditulis tahun 1222 H, sedangkan sarakata I (1206 H), II & III (1224 H), IV (1270 H), V (1289 H) dan VI (tanpa tahun). Dan dua dari enam sarakata tidak berstempel Kesultanan.
Saya memulai dengan beberapa
pertimbangan dari sumber di atas. Pertama kata Bugak dan tahun dalam ikrar
wakaf di Mekkah tercatat pada tahun 1222 H. Apabila kata Bugak merujuk kepada
julukan (kuniyah/kunyah) daerah atau tempat Habib meninggal dan dimakamkan,
maka itu akan bertentangan dengan isi sarakata II, III, IV dan V, karena
disebutkan ia masih hidup dan berkiprah di tahun 1224 H, 1270 H dan 1289 H di
Peusangan, bukan di Bugak.
Sebaliknya, jikalau anggapan
bahwa Bugak nama aslinya dan al-Asyi kuniyah-nya, maka jelas tidak ada hubungan
sama sekali dengan isi sarakata I, II, III, dan IV karena disebut dengan
Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan, bukan Habib Bugak. Logikanya
bahwa, Mahkamah Syariah Mekkah –dunia Arab umumnya- tidak mencantumkan gelar
saja tanpa nama lengkap –termasuk ayah kandung- dalam surat resmi, namun itu
yang telah terjadi. Di Aceh, tradisi pemakaian al-Asyi sudah lazim pada abad
ke-19 M setelah namanya seperti Muhammad Zain al-Asyi pengarang kitab
Kasyf Kiram, Bidayat al-Hidayat, atau Abbas al-Asyi pengarang kitab Sirajul
Zalam dan Kitabur Rahmah fil Thib, juga Ismail al-Asyi penyusun kitab Jawami’
dan Tajul Muluk, mereka sezaman dengan Sayyid Abdurrahman bin Alwi.
Selanjutnya, dalam hipotesa
Dr Hilmi menunjukkan bahwa ia tidak mutlak menyimpulkan Habib Bugak adalah
Sayyid Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Ia hanya menghubungkan dua nama tersebut
yang hidup dalam periode yang sama, yaitu antara ikrar wakaf Habib Bugak tahun
1222 H (1800 M) di Mekkah dengan sarakata Sayyid Abdurrahman tahun
1206-1281 H (1780-1865 M) di Aceh. Keraguannya terletak pada kata “Bugak” di
dalam ikrar Mekkah bertulis “ba-waw-kaf-alif-hamzah”. Sedangkan keenam sarakata
Kesultanan tidak satupun terdapat tulisan Bugak di dalamnya, akan tetapi Sayyid
Abdurrahman Peusangan di sarakata I, II, III, IV, Sayyid Ahmad bin Sayyid
Husain Monklayu di sarakata V, dan tuan Sayyid Abdurrahman di sarakata VI.
Kedua tokoh Aceh, Prof.
Alyasa Abubakar dan Prof. Azman Isma’il, -menurut Dr Hilmi- juga tidak pernah
menyebut Habib Bugak adalah Sayyid Abdurrahman. Bahkan –menurut laporan- Dr
Hilmi pernah mengklarifikasi via sms kepada Prof. Alyasa Abubakar, menyebutkan
belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum
nama aslinya. Asumsinya adalah, jika nama dan biografinya belum jelas, apalagi
asal usul hartanya, warisannya, keluarganya dan perannya di Aceh atau di
Mekkah, serta hal-hal lainnya.
Sebagai perbandingan, sosok
Faiz al-Baghdadi yang tercatat dalam naskah Syattariyah koleksi Zawiyah Tanoh
Abee disebut sebagai Mufti dan Syaikhul Islam (1630-1636 M) di akhir hayat
Sultan Iskandar Muda (1636 M), tepatnya setelah meninggal Syamsuddin
as-Sumatrani tahun 1039 H/1630 M dan sebelum resmi hadir Nuruddin ar-Raniri (1637-1644
M) di Aceh. Akibatnya, sebagian masyarakat percaya bahwa Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrani dihukum pancung atas perintah Nuruddin ar-Raniri.
Padahal tidak ada interaksi di antara mereka, karena jarak waktu yang sangat
berjauhan.
Demikian juga sosok
Saifurrijal dalam laporan Peter Sourij atau Saifullah dalam naskah Fathul Mubin
‘ala al-Mulhidin, menjadi kunci penting dalam penyelesaian kasus Wujudiyah
dengan Nuruddin ar-Raniri tahun 1643 M. Akan tetapi, umumnya dikenal Abdurrauf
al-Fansuri yang mendamaikan kedua kubu tersebut, padahal ia kembali ke Aceh
tahun 1661 M, atau sekitar 17 tahun setelah kepulangan Nuruddin ar-Raniri ke
India. Ini dikarenakan kita berhenti pada satu titik pembahasan, dimana
beberapa tokoh penting lainnya yang sezaman belum tersentuh kajiannya.
Dalam dunia filologi, kritik
teks (tahqiq) menjadi salah satu metode untuk mengetahui originalitas dan
mengekplorasi kandungan isi manuskrip atau naskah kuno, termasuk sarakata.
Maka, memahami pemaknaan konteks saat teks lahir (ditulis) sangat penting,
seperti penggunaan kata-kata “memberi ia hadiah”, “waqaf”, “mengelola” dan
“ikrar perjanjian” sebagaimana yang terdapat dalam sarakata. Dari sisi
kodikologis, validitas media yang digunakan, kertas dan stempel Kerajaan
menjadi kajian utama. Itu sebabnya, tidak semua sarakata terbubuh stempel
Kesultanan, ada prosedural dan kriteria yang ditetapkan.
Dalam kandungan Sarakata I
misalnya (tanpa stempel) disebut “itulah Teuku bin Hakim bernama Raja Seukayu
Meurah dan Teuku Ben Panjoe dan Teuku Keujruen Muda Proeum dan Teuku Keujruen
Pupoeh dan segala tuha-tuha semahunya memberi ia hadiah tanoh glee Leulab
akan Teungku Sayyid Abdurrahman bin al-Alwi anak cucu Teungku Sayyid
Ahmad Habsyi”. Berbedadi sarakata II tertulis “Perbuat sepucuk surat akan
Sayyid Abdurrahman ibn Alwi Peusangan. Syahdan, akan orang waqaf samanya yang
sebelah Punteut dan sebelah Ie Masen pertama-tama Teuku Awee Geutah dan Teuku
Polem”
Dalam adat dan tradisi Aceh,
pemberian gelar “Teungku” kepada Sayyid seperti di atas menunjukkan bahwa kakek
dan keluarganya sudah lama menetap di Aceh dan telah memberi konstribusi besar
di bidang agama, ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Dalam kasus ini (sarakata
I) bahwa Sayyid Abdurrahman dipercayakan menangani hama tikus, sebagaimana yang
telah dilakukan kakeknya. Itu menunjukkan bahwa keluarga dan kakeknya telah
lama tinggal di Aceh. Tentunya ini menyanggah pernyataan ia lahir dan
dibesarkan di Mekkah.
Masih banyak nama-nama ulama
dan tokoh penting dalam sarakata tersebut yang hidup sezaman seperti Habib
Ahmad bin Sayyid Husein Mongklayu, Sayyid Ahmad Habsyi, dan Habib Peusangan
atau para Teuku, Uleebalang dan lainnya yang telah disinggung di atas yang
dapat dihubungkan satu dengan lainnya. Dengan demikian, tidak tertutup segala
pintu kemungkinan akan hubungan dan jaringan di antara sosok dan tokoh-tokoh
tersebut.
Kita tidak mengingkari adanya wakaf Habib Bugak di Mekkah. Tetapi itu bukanlah satu-satunya wakaf Aceh disana sudah ada sejak ratusan tahun, masih banyak wakaf Baitul Asyi lainnya manjadi misterius, dimana “jamaah haji dan masyarakat Aceh” tidak mengetahui status, tempat, dan pengelolaannya, apalagi menempatinya saat musim haji. Oleh karena itu, Kajian kedua tokoh Aceh di atas serta Dr Hilmi menjadi modal awal untuk terus mendalami dan mempublikasi alim ulama dan tokoh-tokoh penting di Aceh. Inilah PR kita dengan tidak menutup buku sumber sejarah Aceh dan menukarnya dengan cerita mitos lainnya.
Kita tidak mengingkari adanya wakaf Habib Bugak di Mekkah. Tetapi itu bukanlah satu-satunya wakaf Aceh disana sudah ada sejak ratusan tahun, masih banyak wakaf Baitul Asyi lainnya manjadi misterius, dimana “jamaah haji dan masyarakat Aceh” tidak mengetahui status, tempat, dan pengelolaannya, apalagi menempatinya saat musim haji. Oleh karena itu, Kajian kedua tokoh Aceh di atas serta Dr Hilmi menjadi modal awal untuk terus mendalami dan mempublikasi alim ulama dan tokoh-tokoh penting di Aceh. Inilah PR kita dengan tidak menutup buku sumber sejarah Aceh dan menukarnya dengan cerita mitos lainnya.
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Aneuk DaraKeubit that gawat nibak uroe nyoe cit baroe long woe jak cuci mata Long kaloen cewek tari ban putro Sampoe anjinoe sang deuh di m...
-
Seulamat Thoen Baroe 1435 HAssalamu'alaikum, wareh ngon rakan Tapujoe Tuhan, Nyang Maha Esa Keu Rasulallah, Seulaweut Salam Sahbat seukalian, dan keuluarg...
-
Dipastikan Ekonomi Tahun 2014 Cukup AmanJakarta - Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) melihat perekonomian Indonesia siap untuk menghadapi segala tantangan...
-
Arab Saudi Ingin Hancurkan Makam Nabi MuhammadPemerintah Arab Saudi mengusulkan kebijakan yang bisa menuai kontroversi umat Islam. Mereka berencana untuk menghancurkan makam Nabi Muha...
-
Sejarah Singkat Abu KeumalaSejarah Singkat Abu Keumala-Abu Keumala" itulah gelar untuk seorang Ulama populer Aceh yang bernama lengkap Teungku Haji Syihabudd...
-
Hikayat Aneuk JampokDeungoe lon kisah khabaran jameun masa keurajeun Nabi mulia masa keurajeun Nabi Sulaiman yang mat hukoman ban sigom donya nib...