budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Home
/
/ Unlabelled
/ Mengenal Teungku Dianjong
Mengenal Teungku Dianjong
Posted by: Unknown Posted date: 08.12.00 / comment : 0
Sejak
tiga tahun terakhir Gampong Peulanggahan, Banda, Aceh banyak dikunjungi pengunjung yang datang dari Persia, Malaysia,
Jakarta, atau Medan. Mereka berziarah ke sebuah makam yang terletak persis di
samping masjid Teungku Di Anjong di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh. Makam
yang mereka ziarahi adalah makam seorang ulama yang berilmu tinggi dan kasyaf
yang terkenal di Aceh dengan gelar Teungku Di Anjong. Khusus pengunjung dari
Hadhramaut, para penziarah tersebut terdiri atas para ulama habaib yang masyhur seperti Habib
Umar bin Hafidz dan Habib Kazim Assagaf dari pesantren Daarul Mustafa di Tarim,
Habib Salim Assyathiri dan Habib Saleh bin Muhammad Alatas. Sudah sejak lama
memang makam ini sepi dari penziarah apalagi dari luar negeri. Namun, perhatian
masyarakat kembali muncul pada 14 Ramadhan 1429 Hijrah (tahun 2008 M) sewaktu
diadakannya kembali kenduri Teungku Di Anjong yang dilaksanakan oleh masyarakat
Peulanggahan bersama Rabithah Alawiyah Provinsi Aceh.
Teungku
Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh Sultan
Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 M.
Penobatan nama Teungku Di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan
ungkapan Teungku yang “dianjong” yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam
versi lain juga dikatakan bahwa gelar Teungku Di Anjong diberikan karena ulama
ini banyak menghabiskan ibadah dengan
shalat, berzikir, shalawat dan membaca ratib di anjungan masjid yang bertingkat
tiga. Beliau dikenal sebagai ulama tasawuf,
juga berperan sebagai ulama fikih
dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam
wilayah kesultanan Aceh, Sumatera, Pulau
Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah
haji melalui Aceh.
Peran
Teungku Di Anjong dalam menyelamatkan kerajaan Aceh tertulis dalam naskah
penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan
Ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala (1987) yang mengemukakan tentang kejadian
pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah. Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit
neraca pembayaran (utang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini
sangat mencemaskan Sultan, karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya
pula, meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman
dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun jumlahnya
masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada kerajaan Inggris. Sultan
kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di
Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap Teungku Di
Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan
ulama tersebut. Mengetahui maksud
kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan ini dibicarakan
dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala
menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan beliau menyatakan
bahwa hanyalah Teungku Di Anjong yang sanggup membantu Sultan. Teungku Di
Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu
tempat di pinggir Krueng Aceh. Semua
goni diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai Cermen, Ulee Lheue. Sedangkan
hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan bahwa salah satu dari
hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka
hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni
yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia
itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian,
martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar utang tetap
terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris.
Nama
sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain
Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadhramaut, negeri Yaman. Kisahnya hingga kini masih diceritakan oleh para ulama habaib dari
negeri asalnya Hadhramaut, seperti yang
disebutkan para penziarah dari Yaman yang datang ke Peulanggahan. Manaqib
tersebut menyebutkan bahwa kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung
melalui Hadhramaut. Beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara
sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul Hidayah
karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama lainnya di
Madinah. Ulama yang pertama adalah Sayyid Abdurrahman bin Musthafa Alaydrus
yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang kedua ialah Sayyid
Syeikh bin Muhammad Al-Jufri yang berjalan menuju Malabar, India.
Masjid Teungku
Di Anjong
Untuk
meletarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan masih
tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sedia kala. Masjid dan
makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada tahun 2009 dengan struktur beton,
namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan tambahan sarana lainnya seperti
halaman aspal dan tempat wudhuk.
Status
tanah bangunan masjid ini adalah tanah wakaf seluas situs 4 Ha. Sebelum
mendirikan masjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh Cut,
atau rumah kecil) yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama
bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam di sana. Oleh
karena perkembangannya semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung
murid- muridnya. Akhirnya beliau mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan
sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah,
kepentingan pengajian, dan lain-lainnya. Mesjid Teungku Di Anjong selain
berfungsi sebagai sarana tempat shalat dan kegiatan - kegiatan ibadah lainnya,
pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia masjid ini pernah dijadikan
markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah Belanda. Jadi
masjid ini tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
(Makalah Drs. Husaini Ibrahim, MA,
2006).
Masjid
Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan dayah yang terdiri atas tiga lantai. Lantai pertama disebut dengan
Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan lantai ketiga Makfirat. Dayah ini pernah
dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin antipenjajahan
(Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008). Snouck Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers,
juga menyaksikan bahwa makam Teungku Di Anjong menjadi tempat melakukan tradisi
Peuleuh Kaoy atau bernazar, dan
mencatatnya sebagai makam ulama yang paling dihormati di Aceh.
Di
kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam asrama untuk
menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya.
Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan
peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan
kerajaan Aceh pada masa itu (serambi Indonesai).
Tagged with:
Unknown
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Popular Posts
-
Hikayat Aneuk JampokDeungoe lon kisah khabaran jameun masa keurajeun Nabi mulia masa keurajeun Nabi Sulaiman yang mat hukoman ban sigom donya nib...
-
Dipastikan Ekonomi Tahun 2014 Cukup AmanJakarta - Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) melihat perekonomian Indonesia siap untuk menghadapi segala tantangan...
-
Arab Saudi Ingin Hancurkan Makam Nabi MuhammadPemerintah Arab Saudi mengusulkan kebijakan yang bisa menuai kontroversi umat Islam. Mereka berencana untuk menghancurkan makam Nabi Muha...
-
Nabi Muhammad Sudah Peringatkan Kedatangan ISISSEORANG penulis bernama Kashif Chaudry mengatakan dalam jurnalnya yang dimuat oleh surat kabar The Huffington Post, Kamis (7/1/2016), jik...
-
Aneuk DaraKeubit that gawat nibak uroe nyoe cit baroe long woe jak cuci mata Long kaloen cewek tari ban putro Sampoe anjinoe sang deuh di m...
-
Jameun Ka AkheBukon le syg si bungog Jambe, Luroh bak tangke angen peudoda, Bukon le syg jameun ka akhe, Agama reule tanso le jaga, Rata je...