budaya
Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.
NATIJAH
NATIJAH
HUKUM DAN KRIMINAL
HUKUM DAN KRIMINAL
NANGGROE
NANGGROE
atjeh
atjeh
nasional
nasional
SYA'E
clean-5
HADIH MAJA
Desember 2013
LHOKSEUMAWE - Ratusan Santri Dayah Darul Mujahiddin
Blang Weu Panjo Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe yang tergabung From Pembela Islam (FPI)
Selasa, (31/12), menghalau sejumlah pengunjung Waduk yang akan merayakan malam
tahun baru, meski tidak terjadi bentrokan, namun para pengunjung waduk sempat
panik ketika massa FPI tersebut datang.
Pantaun acehonline.info dilokasi Waduk Kota Lhokseumawe para santri
tersebut menggunakan enam unit Mobil Pick-Up terbuka. Para santri mengenakan
peci dan pakaian serba putih.
Mereka mengelilingi Wakduk sambil bertakbir, serta
menghimbau agar para pengunjung meninggalkan lokasi Waduk. Dalam aksinya
tersebut, para santri juga dikawal ketat sejumlah aparat kepolisian, TNI dan
Satpol PP-WH, untuk menghindari bentrokan.
Ketua FPI Aceh Tgk Muslem Atthari Selaku pimpina
Dayah Darul Mujahiddin saat borasi
meminta kepada pengung agar meninggalkan lokasi waduk dan menesehati
bahwa perayaan tahun baru Masehi itu melanggar dengan ketentuan hukum Islam.
"Perayaan tahun baru hukumnya haram, melanggar
dengan Syariat islam, oleh kerena itu mari kita sama-sama menegakkan Syariat
Islam agar tidak berhura-hura menyambut tahun baru Masehi," imbuhnya.
Tgk Muslem juga menyampaikan, bahwa perayaan
pergantian tahun baru merupakan budaya orang kafir, dimana umat muslim tidak
dibenarkan merayakan hari tersebut.
"Kalau umat Islam mengikuti budaya non muslim,
maka meraka juga termasuk golongan kafir," ujarnya.
Dengan datangnya para santri, ratusan warga yang
memadati Waduk tersebut, kocar-kacir berlarian dan meninggalkan waduk,
khususnya pasangan muda-mudi. Sementara beberapa warga lainnya, khusus yang
membawa keluarga masih terlihar di waduk hingga menjelang tengah malam
(acehonline.info)
BANDA ACEH - Ketua Majelis Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat,
Provinsi Aceh, Abdul Rani Adian mengimbau warga untuk tidak merayakan
malam Tahun Baru 2014, Selasa (31/12) malam nanti. Karena menurutnya,
perayaan tahun baru bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam yang
berlaku di Aceh.
"Mari kita sambut tahun baru
dengan biasa-biasa saja, karena dalam ajaran Islam yang disuruh rayakan
itu tahun baru Hijriyah, bukan tahun baru Masehi," imbaunya, Selasa
(31/12).
Kepada Kompas.com, Abdul Rani mengatakan,
MPU Aceh Barat sudah mengedarkan surat imbaun kepada warga untuk tidak
merayakan malam tahun baru, karena perayaan tahun baru rawan terjadinya
pelanggaran syariat Islam.
"Yang berpotensi
melanggar syariat Islam antara lain kumpul-kumpul muda-mudi di pantai,
di kafe itu sudah sangat serius dalam hal pelanggaran, termasuk meniup
terompet dan membakar kembang api, karena itu tidak dianjurkan dalam
agama," katanya.
Jika ada warga yang tetap
merayakannya, Abdul Rani ajak menyambut tahun baru dengan bersyukur.
"Mari bersyukur kepada Allah, dengan datangya tahun baru, artinya kita
masih diberi umur panjang. Itu saja," katanya.(Kompas.com)
Tahun
baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat
Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniup terompet dan memakai topi
kerucut tersebut.
Tetapi,
Muslim yang ikut-ikutan merayakan itu, tahukah mereka makna topi dan terompet
tahun baru? Ternyata, topi tahun baru berbentuk kerucut sama dengan bentuk topi
Sanbenito.
Sanbenito
(dalam bahasa Spanyol disebut sambenito) adalah pakaian "tobat" untuk
kalangan Kristen yang menyimpang dari paham gereja. Jika mereka mau kembali ke
paham gereja Katolik Roma dengan memakai Sanbenito yang meliputi jubah dan topi
kerucut, mereka diampuni dari inkuisisi.
Pada
perkembangannya, topi Sanbenito dipaksakan kepada kaum Muslimin Andalusia.
Ketika kaum Frank menyerang Spanyol Muslim (Andalusia), mereka menangkap dan
membunuh umat Islam yang tidak mau tunduk kepada mereka. Kaum Kristen
Trinitarian itu juga melaksanakan inkuisisi kepada pemeluk Islam. Namun bagi
mereka yang mau "bertobat" kembali ke Kristen, mereka dibebaskan
dengan kewajiban -salah satunya- memakai topi Sanbenito.
Jika
topi Sanbenito identik dengan "pertobatan" Kristen, terompet identik
dengan ritual Yahudi. Sejarah mencatat sejak tahun 63 SM, Yahudi sudah akrab
dengan penggunaan terompet. Dan hal itu berlangsung hingga zaman Rasulullah
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Oleh
karena itulah, Rasulullah menolak ketika ada yang mengusulkan memakai terompet
untuk memanggil kaum muslimin menjelang shalat berjama'ah. "Membunyikan
terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi," sabda beliau seperti
diabadikan dalam hadits riwayat Abu Daud.
Hadits
yang lebih umum juga mengingatkan dengan tegas. Man tasyabbaha biqaumin fahuwa
minhum. Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum
tersebut. Na'udzu billah min dzalik. (www.dakwah.com)
Enam
hari setelah Natal 25 Desember, tibalah tahun baru Masehi tanggal 1 Januari.
Umat kristiani biasa menggabungkan ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Tak
sedikit umat Islam yang latah terjebak promosi kekafiran dengan mengucapkan
Selamat Natal dan Tahun Baru Masehi.
Bahkan
ikut-ikutan merayakan pergantian tahun baru dengan gebyar maksiat. Demi
menunggu momen pukul 00.00 mereka rela menghambur-hamburkan dana secara mubazir
untuk pesta kembang api, pesta miras, festival hiburan yang berbaur pria dan
wanita, perzinaan dan pesta maksiat lainnya.
Tak
sedikit waktu, dana, tenaga dan pikiran yang dibuang percuma demi tahun baru.
Padahal Allah SWT memperingatkan bahwa para pemboros itu adalah saudaranya
syaitan yang sangat ingkar kepada Tuhan (Qs Al-Isra’ 26-27).
Dalam
tinjauan akidah, para ulama yang berkompeten telah memfatwa haram ucapan
Selamat Tahun Baru Masehi, terlebih merayakan pestanya.
Komisi
Fatwa Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta’)
dalam Fatawa nomor 20795 menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi
kepada non muslim tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim karena perayaan
tahun baru tidak masyru’ (tidak disyariatkan).” Fatwa ini ditandatangani oleh:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan,
Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Syaikh Bakr Abu Zaid.
Senada
itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, dengan tegas menyatakan bahwa
umat Islam dilarang mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi (Miladiyah), karena
ia bukan tahun syar’i. Bahkan apabila memberi ucapan selamat kepada orang-orang
kafir yang merayakan hari raya Tahun Baru, maka orang ini dalam keadaan bahaya
besar berkaitan dengan hari-hari raya kekafiran.
Karena
ucapan selamat terhadap hari raya kekafiran itu berarti senang dengannya dan
mensupport kesenangan mereka, padahal senang terhadap hari-hari raya kekafiran
itu bisa-bisa mengeluarkan manusia dari lingkaran Islam, sebagaimana Ibnul
Qayyim rahimahullah telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya Ahkamu
Ahlidz-Dzimmah. (Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6).
Ibnul
Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat kepada simbol-simbol khusus
kekafiran, (hal tersebut ) adalah haram menurut kesepakatan ulama…” (Ahkamu
Ahlu Ad-Dzimmah, 1/441).
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili dalam situsnya juga mengharamkan ucapan Selamat
Tahun Baru Masehi karena perbuatan tersebut termasuk tasyabbuh (meniru
kebiasaan orang kafir) kepada kaum Kristen yang mana mereka saling mengucapkan
selamat ketika awal tahun baru Masehi. Tasyabbuh dengan mereka diharamkan oleh
Rasulullah SAW.
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad
dan Abu Daud).
Rasulullah
SAW sudah mewanti-wanti umatnya tentang bahaya tasyabbuh terhadap orang Persia,
Romawi, Yahudi dan Kristen. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam
berpakaian atau pun berhari raya.
Dari
Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang
kalian ikuti itu masuk ke lubang biawak, pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah
Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim dari
Abu Sa’id Al-Khudri).
Para
ulama itu memperingatkan strategi pemurtadan yang dikemas dengan
pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, sesuai firman Allah Ta’ala dalam
Al-Qur'an surat Al-Baqarah 109, Ali-Imran 69, 99, 149, dan Al-Hijr 9.
Momentum
Tahun Baru ini tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan,
propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme dan ateisme serta
pemunculan sesuatu kemungkaran yang bertentangan dengan syariat.
Di
antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme),
penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian
terhadap salib dan penampakan syiar-syiar kekufuran yang dilakukan oleh
orang-orang Kristen dan Yahudi.
Banyak
yang beranggapan bahwa perayaan tahun baru adalah urusan duniawi yang tidak ada
kaitannya dengan akidah. Padahal secara historis, perayaan tahun baru Masehi
tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan ritual penyembahan dewa Janus dalam
agama paganisme (agama kafir penyembah berhala):
“The
Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The
Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings.
The month of January was named after Janus, who had two faces – one looking
forward and the other looking backward” (The World Book Encyclopedia, 1984,
volume 14 hlm. 237).
(Penguasa
Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru
semenjak abad ke-46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari)
kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan
Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah –
sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke
(masa) lalu).
Dalam
mitologi Romawi, Dewa Janus adalah sesembahan kaum Pagan Romawi. Bulan Januari
(bulannya dewa Janus) ditetapkan setelah Desember karena Desember adalah pusat
Winter Soltice, yaitu hari-hari di mana kaum pagan penyembah Matahari merayakan
ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal
25 Desember, dan inilah salah satu dari banyaknya pengaruh Pagan pada tradisi
Kristen.
Kaum
Pagan pandai menyusupkan budaya mereka ke dalam budaya agama lain. Ini terbukti
dengan tradisi mereka bertahun baru yang sudah populer diikuti di berbagai
belahan dunia. Misalnya, tradisi kaum Pagan merayakan tahun baru mereka (atau
Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, bernyanyi
bersama, memukul lonceng dan meniup terompet.
Ke
dalam agama Kristen, tradisi pagan ini diadopsi dengan menjadikan hari Dewa
Janus tanggal 1 Januari menjadi Tahun Baru Masehi, sehingga muncullah pemisahan
masa sebelum Yesus lahir pun (Sebelum Masehi/SM) dan sesudah Yesus lahir (Tahun
Masehi/M).
Di
Persia yang beragama Majusi (penyembah api), tanggal 1 Januari juga dijadikan
sebagai hari raya yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Dalam perayaan
itu, mereka menyalakan api dan mengagungkannya, kemudian orang-orang berkumpul
di jalan-jalan, halaman dan pantai, bercampur baur antara lelaki dan wanita,
saling mengguyur sesama mereka dengan air dan minuman keras (khamr). Mereka
berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Semuanya dirayakan dengan
kefasikan dan kerusakan.
Shahabat
Abdullah bin ’Amr RA memperingatkan dalam Sunan Al-Baihaqi IX/234: ”Barangsiapa
yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya Nairuz
(tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia
dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat”, (www.voa-islam.com).
Eksistensi ulama, sayyid dan
habib sudah tumbuh sejak awal Islamisasi terjadi di Aceh, periode Kesultanan
hingga masa kolonial. Mereka telah memainkan peran utama dan membangun pilar
penting dalam bidang keagamaan, kenegaraan dan perekonomian. Sebagian kecil
dari mereka tercatat rapi dalam manuskrip seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan
Bustanus Salatin. Namun, sebagian besar pudar dengan berbagai sebab, hanya
meninggalkan sebuah teka teki nama, termasuk diantaranya Habib Bugak dan Sayyid
Abdurrahman.
Sumber-sumber yang saya gunakan adalah surat ikrar Mahkamah Syari’ah Mekkah dan 6 (enam) sarakata Kesultanan Aceh dari hasil inventarisasi dan laporan Dr Hilmi Bakar dan Tim Red Crescent. Perbedaannya “mungkin” cara dan metodelogi yang digunakan untuk membedahnya, dari secuil ilmu yang saya miliki dan sumber terbatas yang saya ketahui. Sebagai info, ikrar waqaf Mekkah ditulis tahun 1222 H, sedangkan sarakata I (1206 H), II & III (1224 H), IV (1270 H), V (1289 H) dan VI (tanpa tahun). Dan dua dari enam sarakata tidak berstempel Kesultanan.
Sumber-sumber yang saya gunakan adalah surat ikrar Mahkamah Syari’ah Mekkah dan 6 (enam) sarakata Kesultanan Aceh dari hasil inventarisasi dan laporan Dr Hilmi Bakar dan Tim Red Crescent. Perbedaannya “mungkin” cara dan metodelogi yang digunakan untuk membedahnya, dari secuil ilmu yang saya miliki dan sumber terbatas yang saya ketahui. Sebagai info, ikrar waqaf Mekkah ditulis tahun 1222 H, sedangkan sarakata I (1206 H), II & III (1224 H), IV (1270 H), V (1289 H) dan VI (tanpa tahun). Dan dua dari enam sarakata tidak berstempel Kesultanan.
Saya memulai dengan beberapa
pertimbangan dari sumber di atas. Pertama kata Bugak dan tahun dalam ikrar
wakaf di Mekkah tercatat pada tahun 1222 H. Apabila kata Bugak merujuk kepada
julukan (kuniyah/kunyah) daerah atau tempat Habib meninggal dan dimakamkan,
maka itu akan bertentangan dengan isi sarakata II, III, IV dan V, karena
disebutkan ia masih hidup dan berkiprah di tahun 1224 H, 1270 H dan 1289 H di
Peusangan, bukan di Bugak.
Sebaliknya, jikalau anggapan
bahwa Bugak nama aslinya dan al-Asyi kuniyah-nya, maka jelas tidak ada hubungan
sama sekali dengan isi sarakata I, II, III, dan IV karena disebut dengan
Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan, bukan Habib Bugak. Logikanya
bahwa, Mahkamah Syariah Mekkah –dunia Arab umumnya- tidak mencantumkan gelar
saja tanpa nama lengkap –termasuk ayah kandung- dalam surat resmi, namun itu
yang telah terjadi. Di Aceh, tradisi pemakaian al-Asyi sudah lazim pada abad
ke-19 M setelah namanya seperti Muhammad Zain al-Asyi pengarang kitab
Kasyf Kiram, Bidayat al-Hidayat, atau Abbas al-Asyi pengarang kitab Sirajul
Zalam dan Kitabur Rahmah fil Thib, juga Ismail al-Asyi penyusun kitab Jawami’
dan Tajul Muluk, mereka sezaman dengan Sayyid Abdurrahman bin Alwi.
Selanjutnya, dalam hipotesa
Dr Hilmi menunjukkan bahwa ia tidak mutlak menyimpulkan Habib Bugak adalah
Sayyid Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Ia hanya menghubungkan dua nama tersebut
yang hidup dalam periode yang sama, yaitu antara ikrar wakaf Habib Bugak tahun
1222 H (1800 M) di Mekkah dengan sarakata Sayyid Abdurrahman tahun
1206-1281 H (1780-1865 M) di Aceh. Keraguannya terletak pada kata “Bugak” di
dalam ikrar Mekkah bertulis “ba-waw-kaf-alif-hamzah”. Sedangkan keenam sarakata
Kesultanan tidak satupun terdapat tulisan Bugak di dalamnya, akan tetapi Sayyid
Abdurrahman Peusangan di sarakata I, II, III, IV, Sayyid Ahmad bin Sayyid
Husain Monklayu di sarakata V, dan tuan Sayyid Abdurrahman di sarakata VI.
Kedua tokoh Aceh, Prof.
Alyasa Abubakar dan Prof. Azman Isma’il, -menurut Dr Hilmi- juga tidak pernah
menyebut Habib Bugak adalah Sayyid Abdurrahman. Bahkan –menurut laporan- Dr
Hilmi pernah mengklarifikasi via sms kepada Prof. Alyasa Abubakar, menyebutkan
belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum
nama aslinya. Asumsinya adalah, jika nama dan biografinya belum jelas, apalagi
asal usul hartanya, warisannya, keluarganya dan perannya di Aceh atau di
Mekkah, serta hal-hal lainnya.
Sebagai perbandingan, sosok
Faiz al-Baghdadi yang tercatat dalam naskah Syattariyah koleksi Zawiyah Tanoh
Abee disebut sebagai Mufti dan Syaikhul Islam (1630-1636 M) di akhir hayat
Sultan Iskandar Muda (1636 M), tepatnya setelah meninggal Syamsuddin
as-Sumatrani tahun 1039 H/1630 M dan sebelum resmi hadir Nuruddin ar-Raniri (1637-1644
M) di Aceh. Akibatnya, sebagian masyarakat percaya bahwa Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrani dihukum pancung atas perintah Nuruddin ar-Raniri.
Padahal tidak ada interaksi di antara mereka, karena jarak waktu yang sangat
berjauhan.
Demikian juga sosok
Saifurrijal dalam laporan Peter Sourij atau Saifullah dalam naskah Fathul Mubin
‘ala al-Mulhidin, menjadi kunci penting dalam penyelesaian kasus Wujudiyah
dengan Nuruddin ar-Raniri tahun 1643 M. Akan tetapi, umumnya dikenal Abdurrauf
al-Fansuri yang mendamaikan kedua kubu tersebut, padahal ia kembali ke Aceh
tahun 1661 M, atau sekitar 17 tahun setelah kepulangan Nuruddin ar-Raniri ke
India. Ini dikarenakan kita berhenti pada satu titik pembahasan, dimana
beberapa tokoh penting lainnya yang sezaman belum tersentuh kajiannya.
Dalam dunia filologi, kritik
teks (tahqiq) menjadi salah satu metode untuk mengetahui originalitas dan
mengekplorasi kandungan isi manuskrip atau naskah kuno, termasuk sarakata.
Maka, memahami pemaknaan konteks saat teks lahir (ditulis) sangat penting,
seperti penggunaan kata-kata “memberi ia hadiah”, “waqaf”, “mengelola” dan
“ikrar perjanjian” sebagaimana yang terdapat dalam sarakata. Dari sisi
kodikologis, validitas media yang digunakan, kertas dan stempel Kerajaan
menjadi kajian utama. Itu sebabnya, tidak semua sarakata terbubuh stempel
Kesultanan, ada prosedural dan kriteria yang ditetapkan.
Dalam kandungan Sarakata I
misalnya (tanpa stempel) disebut “itulah Teuku bin Hakim bernama Raja Seukayu
Meurah dan Teuku Ben Panjoe dan Teuku Keujruen Muda Proeum dan Teuku Keujruen
Pupoeh dan segala tuha-tuha semahunya memberi ia hadiah tanoh glee Leulab
akan Teungku Sayyid Abdurrahman bin al-Alwi anak cucu Teungku Sayyid
Ahmad Habsyi”. Berbedadi sarakata II tertulis “Perbuat sepucuk surat akan
Sayyid Abdurrahman ibn Alwi Peusangan. Syahdan, akan orang waqaf samanya yang
sebelah Punteut dan sebelah Ie Masen pertama-tama Teuku Awee Geutah dan Teuku
Polem”
Dalam adat dan tradisi Aceh,
pemberian gelar “Teungku” kepada Sayyid seperti di atas menunjukkan bahwa kakek
dan keluarganya sudah lama menetap di Aceh dan telah memberi konstribusi besar
di bidang agama, ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Dalam kasus ini (sarakata
I) bahwa Sayyid Abdurrahman dipercayakan menangani hama tikus, sebagaimana yang
telah dilakukan kakeknya. Itu menunjukkan bahwa keluarga dan kakeknya telah
lama tinggal di Aceh. Tentunya ini menyanggah pernyataan ia lahir dan
dibesarkan di Mekkah.
Masih banyak nama-nama ulama
dan tokoh penting dalam sarakata tersebut yang hidup sezaman seperti Habib
Ahmad bin Sayyid Husein Mongklayu, Sayyid Ahmad Habsyi, dan Habib Peusangan
atau para Teuku, Uleebalang dan lainnya yang telah disinggung di atas yang
dapat dihubungkan satu dengan lainnya. Dengan demikian, tidak tertutup segala
pintu kemungkinan akan hubungan dan jaringan di antara sosok dan tokoh-tokoh
tersebut.
Kita tidak mengingkari adanya wakaf Habib Bugak di Mekkah. Tetapi itu bukanlah satu-satunya wakaf Aceh disana sudah ada sejak ratusan tahun, masih banyak wakaf Baitul Asyi lainnya manjadi misterius, dimana “jamaah haji dan masyarakat Aceh” tidak mengetahui status, tempat, dan pengelolaannya, apalagi menempatinya saat musim haji. Oleh karena itu, Kajian kedua tokoh Aceh di atas serta Dr Hilmi menjadi modal awal untuk terus mendalami dan mempublikasi alim ulama dan tokoh-tokoh penting di Aceh. Inilah PR kita dengan tidak menutup buku sumber sejarah Aceh dan menukarnya dengan cerita mitos lainnya.
Kita tidak mengingkari adanya wakaf Habib Bugak di Mekkah. Tetapi itu bukanlah satu-satunya wakaf Aceh disana sudah ada sejak ratusan tahun, masih banyak wakaf Baitul Asyi lainnya manjadi misterius, dimana “jamaah haji dan masyarakat Aceh” tidak mengetahui status, tempat, dan pengelolaannya, apalagi menempatinya saat musim haji. Oleh karena itu, Kajian kedua tokoh Aceh di atas serta Dr Hilmi menjadi modal awal untuk terus mendalami dan mempublikasi alim ulama dan tokoh-tokoh penting di Aceh. Inilah PR kita dengan tidak menutup buku sumber sejarah Aceh dan menukarnya dengan cerita mitos lainnya.
Sejak
tiga tahun terakhir Gampong Peulanggahan, Banda, Aceh banyak dikunjungi pengunjung yang datang dari Persia, Malaysia,
Jakarta, atau Medan. Mereka berziarah ke sebuah makam yang terletak persis di
samping masjid Teungku Di Anjong di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh. Makam
yang mereka ziarahi adalah makam seorang ulama yang berilmu tinggi dan kasyaf
yang terkenal di Aceh dengan gelar Teungku Di Anjong. Khusus pengunjung dari
Hadhramaut, para penziarah tersebut terdiri atas para ulama habaib yang masyhur seperti Habib
Umar bin Hafidz dan Habib Kazim Assagaf dari pesantren Daarul Mustafa di Tarim,
Habib Salim Assyathiri dan Habib Saleh bin Muhammad Alatas. Sudah sejak lama
memang makam ini sepi dari penziarah apalagi dari luar negeri. Namun, perhatian
masyarakat kembali muncul pada 14 Ramadhan 1429 Hijrah (tahun 2008 M) sewaktu
diadakannya kembali kenduri Teungku Di Anjong yang dilaksanakan oleh masyarakat
Peulanggahan bersama Rabithah Alawiyah Provinsi Aceh.
Teungku
Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh Sultan
Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 M.
Penobatan nama Teungku Di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan
ungkapan Teungku yang “dianjong” yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam
versi lain juga dikatakan bahwa gelar Teungku Di Anjong diberikan karena ulama
ini banyak menghabiskan ibadah dengan
shalat, berzikir, shalawat dan membaca ratib di anjungan masjid yang bertingkat
tiga. Beliau dikenal sebagai ulama tasawuf,
juga berperan sebagai ulama fikih
dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam
wilayah kesultanan Aceh, Sumatera, Pulau
Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah
haji melalui Aceh.
Peran
Teungku Di Anjong dalam menyelamatkan kerajaan Aceh tertulis dalam naskah
penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan
Ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala (1987) yang mengemukakan tentang kejadian
pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah. Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit
neraca pembayaran (utang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini
sangat mencemaskan Sultan, karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya
pula, meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman
dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun jumlahnya
masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada kerajaan Inggris. Sultan
kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di
Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap Teungku Di
Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan
ulama tersebut. Mengetahui maksud
kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan ini dibicarakan
dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala
menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan beliau menyatakan
bahwa hanyalah Teungku Di Anjong yang sanggup membantu Sultan. Teungku Di
Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu
tempat di pinggir Krueng Aceh. Semua
goni diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai Cermen, Ulee Lheue. Sedangkan
hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan bahwa salah satu dari
hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka
hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni
yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia
itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian,
martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar utang tetap
terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris.
Nama
sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain
Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadhramaut, negeri Yaman. Kisahnya hingga kini masih diceritakan oleh para ulama habaib dari
negeri asalnya Hadhramaut, seperti yang
disebutkan para penziarah dari Yaman yang datang ke Peulanggahan. Manaqib
tersebut menyebutkan bahwa kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung
melalui Hadhramaut. Beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara
sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul Hidayah
karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama lainnya di
Madinah. Ulama yang pertama adalah Sayyid Abdurrahman bin Musthafa Alaydrus
yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang kedua ialah Sayyid
Syeikh bin Muhammad Al-Jufri yang berjalan menuju Malabar, India.
Masjid Teungku
Di Anjong
Untuk
meletarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan masih
tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sedia kala. Masjid dan
makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada tahun 2009 dengan struktur beton,
namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan tambahan sarana lainnya seperti
halaman aspal dan tempat wudhuk.
Status
tanah bangunan masjid ini adalah tanah wakaf seluas situs 4 Ha. Sebelum
mendirikan masjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh Cut,
atau rumah kecil) yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama
bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam di sana. Oleh
karena perkembangannya semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung
murid- muridnya. Akhirnya beliau mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan
sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah,
kepentingan pengajian, dan lain-lainnya. Mesjid Teungku Di Anjong selain
berfungsi sebagai sarana tempat shalat dan kegiatan - kegiatan ibadah lainnya,
pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia masjid ini pernah dijadikan
markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah Belanda. Jadi
masjid ini tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
(Makalah Drs. Husaini Ibrahim, MA,
2006).
Masjid
Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan dayah yang terdiri atas tiga lantai. Lantai pertama disebut dengan
Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan lantai ketiga Makfirat. Dayah ini pernah
dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin antipenjajahan
(Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008). Snouck Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers,
juga menyaksikan bahwa makam Teungku Di Anjong menjadi tempat melakukan tradisi
Peuleuh Kaoy atau bernazar, dan
mencatatnya sebagai makam ulama yang paling dihormati di Aceh.
Di
kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam asrama untuk
menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya.
Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan
peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan
kerajaan Aceh pada masa itu (serambi Indonesai).
Tgk
Ahmad Dewi merupakan seorang tokoh ulama pendakwah, lahir 19 Januari 1951 di
Dusun Bantayan, Gampong Keude, Kecamatan Darul Aman, Idi Cut, Aceh Timur.
Ayahnya
Teungku Muhammad Husen berasal dari Desa Meunasah Kumbang, Kecamatan Syamtalira
Aron, Aceh Utara. Kakeknya Teungku Hasballah, ulama besar dari Samudera Pase
yang digelar Teungku Chik di Meunasah Kumbang.
Teungku
Hasballah Meunasah Kumbang menguasai Ilmu Tafsir, Bayan, Fiqh, Siyasah, dan
Ilmu Mantiq. Tokoh berbadan atletis ini terkenal sebagai ulama moderat yang
menguasai dengan baik bahasa Aceh, Perancis dan Inggris. Ketajaman pikirannya
dikagumi oleh kawan maupun lawan. Pada saat perang kolonial Belanda di Aceh
berkecamuk, beliau ikut bergabung dengan mujahidin lainnnya berperang di
Samudera Pase. Selain itu beliau sangat ahli dalam Ilmu Faraid, ahli dalam hal
dialog dan pidato, bakat ini sepenuhnya turun kepada Tgk. Ahmad Dewi.
Ibunya
bernama Dewi kelahiran Peudagee (Serdang Pedagai), Sumatera Utara, nama inilah
yang kemudian menjadi nama belakang Teungku Ahmad Dewi. Nama lahir beliau
adalah Ahmadullah, namun karena wajahnya yang mirip dengan ibunya, maka
orang-orang mengaitkan dengan nama ibunya, disebutlah Ahmad Dewi. Akhirnya
beliau lebih dikenal dengan nama Ahmad Dewi tinimbang Ahmadullah nama aslinya.
Pendidikan
Sekolah
formal yang sempat ditempuh oleh Ahmad Dewi muda adalah Madrasah Ibtidaiyah Idi
Cut. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Dayah, yaitu Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) Matang Geutoe Idi Cut pada tahun 1964. Menurut sebuah informasi,
Tgk. Ibrahim Bardan (Abu Panton) juga pernah belajar di dayah yang dipimpin
oleh Tgk. H. Muhammad Thaib ini. Di dayah ini Ahmad Dewi diasuh di bawah
bimbingan Abu Saleh (Pakcik Tgk. Ahmad Dewi/salah seorang anak Abu Meunasah
Kumbang) yang juga menjadi guru di Dayah MTI. Abu Saleh dikenal sebagai kader
militan yang kerap berurusan dengan aparat keamanan era Suharto.
Ahmad
Dewi juga sempat menuntut ilmu di sebuah pesantren yang dipimpin oleh Tgk. H.
Sofyan di Matang Kuli, sekitar tahun 1968 sampai 1970, setelah itu ia kembali
ke Idi Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif lagi sepeninggal Tgk. Muhammad Thaib
(w. 1968), dan kiblat pendidikan di Idi Cut telah beralih ke Dayah Darussa’dah
Idi Cut di bawah pimpinan Tgk. H. Abdul Wahab. Pada masa ini Tgk. Ahmad Dewi
juga sempat belajar pada Tgk. H. Abdul Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari
nafkah.
Faktor
kesulitan ekonomi menuntut Ahmad Dewi untuk bekerja sambil belajar diusianya
yang masih belia (sekitar 19 tahun). Ia memanfaatkan potensi diri dan bakat
oratornya dengan bekerja sebagai pedagang obat kaki lima. Bagi Ahmad Dewi,
berdagang obat juga media berdakwah, maka ia berkeliling Aceh sambil berdagang
obat dengan tetap menjadikan dayah sebagai tempat domisilinya. Oleh karena itu,
ia tetap menjadi santri dayah Idi Cut (Darussa’dah) dan Matang Kuli sebab ia
bolak-balik melakukan perjalanan antara dua daerah ini.
Suatu
kali dalam tahun 1973, pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga berkunjung ke
Matang Kuli. Kunjungan ini memang kerap dilakukan Tgk. H. Abdul ‘Aziz (biasa
disapa Abon Samalanga) karena Tgk. H. Sofyan (pimpinan dayah Matang Kuli)
merupakan salah seorang murid Abon Samalanga. Keberadaan Teungku Ahmad Dewi
muda menarik perhatian Abon setelah beliau tahu bahwa Ahmad Dewi adalah cucu
Abu Meunasah Kumbang. Sejak saat itu Teungku Ahmad Dewi pun nyantri di
Samalanga karena diajak oleh Abon untuk belajar di Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga.
Baru
setahun belajar di Samalanga Teugku Ahmad Dewi telah menemukan jati dirinya
dan, menentukan arah perjuangannya. Bakat orasi dan kapasitas keilmuannya
semakin terasah di bawah bimbingan Abon Samalanga. Masa-masa belajar di
Samalanga merupakan masa pembentukan karakter dirinya sebagai da’i kritis.
Sambil belajar, Teungku Ahmad Dewi kerap diundang memberi pengajian dan ceramah
di meunasah-meunasah Kecamatan Samalanga dan sekitarnya. Di sinilah popularitas
Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i bermula.
Perawakan yang tinggi tegap, wajah
yang tampan dan bakat orasinya menarik perhatian masyarakat. Ditambah dengan
gaya penampilannya yang menarik, kadang terkesan nyentrik, maka tidak heran
jika dalam tempo singkat ia telah dikenal sebagai da’i yang memukau. Di sisi
lain, darah ulama yang mengalir di tubuhnya dan latar belakang kependidikan di
dayah terbesar Aceh (MUDI Mesjid Raya) memberinya legitimasi dan garansi
keilmuan sebagai ulama yang patut menjadi rujukan bagi masyarakat. Ia diundang
berdakwah ke seluruh daerah di Aceh, dan dakwahnya selalu dipadati pengunjung
yang massanya berjumlah puluhan ribu. Ia menjelma menjadi publik figur yang
ceramahnya ditunggu-tunggu masyarakat.
Ketokohan
sosok Teungku Ahmad Dewi menarik perhatian berbagai pihak dengan berbagai
kepentingan. Sebuah informasi mengabarkan bahwa Teungku Hasan Tiro juga sempat
mengadakan pertemuan khusus dengan Teungku Ahmad Dewi, di Jeunieb dalam
masa-masa gerilyanya di Aceh. Ekses pertemuan ini, pada tahun 1977, Teungku
Ahmad Dewi pun ditangkap aparat keamanan dalam penggerebekan di Dayah MUDI,
Mesjid Raya, Samalanga karena diduga terlibat Aceh Merdeka (AM).
Teungku
Ahmad Dewi ditahan di Markas Laksus Drien Meuduroe, Geulumpang Payong,
Kabupaten Pidie. Selama dalam tahanan, masyarakat tiada henti berkunjung
menjenguk beliau sampai akhirnya dipindahkan ke Banda Aceh (ditahan di daerah
Lampineung). Pada masa ini beliau sempat diisukan telah meninggal dunia,
masyarakat yang menjenguk tidak bisa bertemu beliau sehingga masyarakat di
kampung-kampung melaksanakan shalat jenazah ghaib untuk Teungku Ahmad Dewi.
Setelah
tiga bulan ditahan di Banda Aceh, datanglah seorang ulama Aceh Besar (Abu Usman
Fauzi) yang kala itu aktif dalam partai politik Golkar (Golongan Karya).
Setelah pertemuan itu, Abu Usman Fauzi membuat pendekatan dengan pihak aparat
keamanan agar status tahanan Teungku Ahmad Dewi diringankan. Walhasil, Tgk. Ahmad
Dewi menjadi tahanan rumah yang ditempatkan di dayah Abu Usman Fauzi di Desa
Lueng Ie.
Setelah
beberapa lama di Lueng Ie barulah pihak keluarga tahu bahwa Teungku Ahmad Dewi
masih hidup, lalu menjenguknya ke Desa Lueng Ie. Pihak keluarga memohon agar
penahanan Teungku Ahmad Dewi dipindahkan ke Idi Cut. Kesepakatan berhasil
dicapai, pemindahan Teungku Ahmad Dewi disetujui dengan jaminan keluarga, dan
status wajib lapor ke polsek setempat seminggu sekali.
Teungku
Ahmad Dewi pulang ke kampung halamannya pada pertengahan tahun 1979, tapi rumah
keluarganya telah tiada karena terbakar, tidak ada keterangan yang jelas
mengenai sebabmusabab kebakaran ini. Maka Teungku Ahmad Dewi pun mendirikan
sebuah gubuk di pertapakan gosong rumah orang tuanya. Gubuk itu sebenarnya
peralihan fungsi dari tempat penyimpanan padi (kröng pade) milik orang tuanya.
Di
gubuk itu Teungku Ahmad Dewi menerima satu dua santri yang datang berguru
padanya. Karena rumah itu merupakan tempat tahanan baginya, maka ia menamakan
rumah itu sebagai BTM (Balai Tahanan Militer). Ketika santrinya bertambah, ia
berpikir untuk mendirikan dayah, dan nama BTM pun ditabalkan sebagai nama
dayahnya, namun BTM kali ini berarti Bale Teumpat Meununtöt (Balai Tempat
Menuntut ilmu).
Belakangan
nama BTM menjadi trade mark Teungku Ahmad Dewi dalam setiap dakwahnya.
Singkatan BTM muncul sebagai wujud inspirasinya yang tidak pernah kering,
kadang konyol dan menyentil. Untuk murid-muridnya, BTM diberi kepanjangan Balai
Tempat Menuntut ilmu, namun saat berhadapan dengan tokoh-tokoh parpol ‘plat
kuning’ BTM diberi kepanjangan Beringin Tetap Menang.
Popularitas
Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i merupakan daya tarik tersendiri sehingga
murid-muridnya bertambah banyak, terutama dari kalangan pemuda yang telah
tersadarkan oleh dakwah beliau. Kehadiran para pemuda yang umumnya memendam
jiwa militan ini menginspirasi Teungku Ahmad Dewi untuk mengorganisir mereka
dalam satu barisan anti maksiat. Maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama
KDA (Kesatuan Dafa’sail Aceh), suatu organisasi yang bertujuan untuk
melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar. Di sini nama BTM menemukan
kepanjangan lain, karena dalam KDA ini ada satu pasukan khusus yang dinamakan
Barisan Teuntra Mirah (BTM). Barisan ini memakai seragam merah, dibekali ilmu
bela diri, dan dilengkapi senjata pedang.
Barisan
Teuntra Mirah bertugas menertibkan dan mencegah maksiat di sepanjang garis
pantai Idi Cut yang merupakan objek wisata masyarakat. Akibat dari aksi Barisan
Teuntra Mirah, Teungku Ahmad Dewi seringkali harus berhadapan dengan aparat
keamanan. Menurut keterangan seorang mantan Barisan Teuntra Mirah,
masalah-masalah ini berhasil diselesaikan oleh Teungku Ahmad Dewi dengan jalan
dialog.
Pada
tahun 1980, Teungku Ahmad Dewi kembali ditangkap setelah berdakwah di Idi Rayeuk,
lokasinya di depan pendopo sekarang, menghadap ke masjid jamik. Dalam dakwah
yang disesaki puluhan ribu pengunjung ini, ia dituduh subversif, dan ditahan di
Langsa selama dua tahun tanpa putusan pengadilan.
Meskipun
di penjara Tgk. Ahmad Dewi tetap berdakwah, hanya saja sasaran dakwahnya kali
ini menjadi lebih spesifik, yaitu para penghuni rutan saja. Ia menggelar
pengajian untuk mengajak narapidana bertobat kembali ke jalan Allah. Di sisi
lain, penahanan itu justru mendongkrak popularitasnya, bahkan menjadi
pemberitaan media nasional. Maka tidak heran jika setiap persidangan beliau
dipenuhi ratusan ribu massa yang ingin meyaksikan jalannya persidangan sang
dai.
Bersamanya
juga turut ditahan Teungku H. Azhar BTM (wakil pimpinan dayah BTM). Setelah 1,8
tahun ditahan, Teungku Azhar disidang, lalu dibebaskan. Sementara Teungku Ahmad
Dewi baru di bebaskan setelah lima bulan Tgk. Azhar menghirup udara kebebasan.
Teungku Ahmad Dewi dijemput oleh masyarakat Sungai Pauh Langsa, dipeusijuek dan
diantarkan ke dayahnya, BTM Idi Cut.
Awal
tahun 1983, beliau memimpin kembali dayah BTM. Dayah yang sempat sepi semasa
beliau ditahan, dengan drastis pelajarnya membludak sekembali beliau. Dalam
tahun 1984, santri di dayah ini telah mencapai 400 orang santri putra putri.
Pada
tahun 1985 ia berdakwah tujuh hari tujuh malam dalam rangka deklarasi
pemerintahan syariat Islam di Aceh. Dakwah ini diselenggarakan dengan
mengundang para ulama dari berbagai penjuru Aceh untuk mencari solusi petegakan
syariat Islam di Aceh.
Pada
tahun 1986 beliau menikath dengan Cut khairiyah binti Tgk. H. Muhammad Thaib,
Paloh Meria Lhokseumawe. Beliau terus menetap di dayah BTM bersama keluarganya,
dan dikaruniai putera pertama yang diberi nama Fatahillah (1987), anak kedua
Fatimah Dewi (1989).
Pada
hari Sabtu, 1 Maret 1991 pukul 09.00 wib, Tgk. Ahmad Dewi menerima surat dari
abangnya Tgk. Muhsinullah. Ia diminta segera menjenguk abangnya yang sedang
ditahan pasukan TNI di Tank Batre, Desa Alue Ie Mirah. Tgk. Ahmad Dewi
berangkat dengan mengendarai mobil Chevrolet bersama supir bernama Asnawi.
Pada
waktu itu Aceh berstatus siaga, Operasi Jaring Merah dilancarkan di Aceh. Sejak
kepergian hari itu, Teungku Ahmad Dewi tidak pernah muncul lagi di atas podium
meyuarakan tegaknya syariat Islam di Aceh.
Walaupun
Teungku Ahmad Dewi telah tiada, pengikut-pengikut setianya selalu
memperjuangkan agar di Aceh diberlakukan syariat Islam. Akhirnya pemerintah
mengumumkan pemberlakuan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini. Namun
Teungku Ahmad Dewi sebagai tokoh pelopor pemberlakuan syariat Islam di Aceh,
sampai hari ini tidak diketahui di mana kuburannya.
Tgk
Ahmad Dewi meniggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, Fatahillah, Fatimah
Dewi, dan Abdul Aziz yang kala peristiwa penculikan itu masih tiga bulan dalam
kandungan. Nama Abdul ‘Aziz merujuk kepada nama guru beliau di Samalanga (Abon
‘Abdul ‘Aziz Samalanga). Tgk. Ahmad Dewi telah mewasiatkan nama ini sebelum
kepergiannya. Beliau berpesan kepada isterinya, jika anaknya laki-laki agar
diberi nama ‘Abdul ‘Aziz.
Perpustakaan Kuno Tanoh Abee terdapat di Desa Tanoh Abee, di kaki
Gunung Seulawah, Aceh Besar. Perpustakaan Tanoh Abee terletak di dalam kompleks
Pesantren Tanoh Abee yang didirikan oleh keluarga Fairus yang mencapai klimaks
kejayaannya pada masa pimpinan Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan sebutan
Teungku Chik Tanoh Abee. Beliau meninggal pada tahun 1894 dan dimakamkan di
Tanoh Abee.
Pengumpukan naskah (manuskrip) Dayah Tanoh Abee telah dimulai sejak Syekh
Abdul Rahim, kakek dari Syekh Abdul Wahab. Naskah yang terakhir ditulis pada
masa Syekh Muhammad Sa’id, anak Syekh Abdul Wahab yang meninggal dunia pada
tahun 1901 di Banda Aceh, dalam tahanan Belanda. Perpustakaan Tanoh Abee yang
terdapat di Desa Tanoh Abee, Kecamatan Seulimum, Kabapaten Aceh Besar. Menurut
hasil penelitian Arkeologi Islam Indonesia, perpustakaan tersebut merupakan
satu-satunya perpustakaan Islam tertua di Nusantara, bahkan termasuk
perpustakaan Islam yang paling tua di Asia Tenggara.
CIKAL
Keberadaan perpustakaan Tanoh Abee ini tak terlepas dari sejarah pendirian
sebuah pesantren (dayah) yang dibangun oleh ulama asal negeri Baghdad, bernama
Fairus Al-Baghdady yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636 M). Fairus hijrah ke Aceh waktu itu bersama 7 saudaranya. Empat
orang, termasuk Fairus menetap di wilayah Aceh Besar. Tiga saudara lainnya
menyebar ke Pidie dan Aceh Utara. Diperkirakan Fairus Al-Baghdady inilah
sebagai ulama yang mula-mula membangun pesantren (dayah) tersebut, yang
kemudian dikenal dengan pesantren Tanoh Aceh sebagai cikal-bakal dari
perpustakaan kuno Tanoh Abee sekarang ini. Karena di dalam pesantren tersebut
tersimpan ribuan kitab tulisan tangan karya para ulama Aceh terdahulu.
PEWARIS
Perpustakaan yang terletak di kaki gunung Seulawah yang berjarak sekitar 42
km ke arah Timur Kota Banda Aceh, atau sekitar 7 km ke pedalaman sebelah Utara
ibukota Kecamatan Seulimum ini, dikelola secara turun temurun sejak 600 tahun
lalu. Mulai dari pendirinya Syeh Fairus Al-Baghdady pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, diteruskan oleh seorang anaknya bernama Syeh Nayan.
Kemudian Syeh Nayan ini mewariskan kembali perpustakaan tersebut sekaligus
pesantrennya bernama Syeh Abdul Hafidh.
Selanjutnya beralih ke tangan Syeh Abdurrahim, yang menurut catatan
sejarah, Syeh Abdurrahim termasuk pewaris pesantren Tanoh Abee yang sangat
banyak mengumpulkan naskah-naskah kuno untuk menjadi koleksi perpustakaan. Dari
Syeh Abdurrahim perpustakaan dan pesantren ini diwarisi oleh Syeh Muhammad
Saleh. Diteruskan oleh anaknya Syeh Abdul Wahab. Kemudian Syeh Muhammad Sa’id.
Dari Muhammad Sa’id pesantren ini diurus oleh Teungku Muhammad Ali, hingga
kemudian jatuh kepada pewaris terakhir sekarang ini, yaitu Al-Fairusy, sebagai
pewaris urutan ke-9.
DISALIN
Dari pewaris terakhir inilah penulis
memperoleh sejumlah keterangan tentang sejarah dan keberadaan perpustakaan kuno
Tanoh Abee. Dari 9 orang keturunan yang mewariskan perpustakaan ini, yang
menonjol kemajuannya adalah pada masa kepemimpinan Syeh Abdul Wahab (pewaris
ke-6). Syeh Abdul Wahab inilah yang kemudian dikenal sebagai ulama besar yang
berpengaruh di Aceh dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee. Ketika pesantren
Tanoh Abee berada di bawah kepemimpinannya, hampir seluruh perhatian Syeh Abdul
Wahab dicurahkan untuk memajukan perpustakaan. Ia sangat berminat agar
perpustakaan pesantren Tanoh Abee menjadi sebuah perpustakaan Islam terbesar di
Nusantara, dan bahkan dapat menjadi perpustakaan Islam terbesar di Asia
Tenggara. Untuk mengujudkan cita-cita itu, Syeh Abdul Wahab menyalin ribuan
kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawi dari berbagai ilmu pengetahuan untuk
menjadi perbendaharaan perpustakaan Tanoh Abee. Hal yang menyedihkan ketika
ulama Nuruddin Ar-Raniry memusnahkan kitab-kitab karya ulama Sufi terbesar di
Aceh, yaitu Syeh Hamzah Fansuri, karena ajarannya dianggap “sesat” oleh
Nuruddin Ar-Raniry. Orang memperkirakan dengan kejadian itu semua kitab Hamzah
Fansuri telah habis dibakar saat itu. Ternyata sebahagian besar kitab-kitab
dari karya Hamzah Fansuri yang ditulis tangan masih sempat diselamatkan di
perpustakaan Tanoh Abee hingga sekarang ini.
RUSAK
Sejumlah naskah kuno, kitab hasil karangan para ulama Aceh terdahulu,
hingga akhir abad ke-18 diperkirakan sekitar 10.000 buah naskah (tulis tangan) tersimpan
di perpustakaan ini. Namun dalam perjalanan waktu naskah-naskah tersebut banyak
yang lapuk dan rusak akibat tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya.
Selain itu, naskah-naskah tersebut juga banyak yang dimusnahkan dan dicuri oleh
Belanda ketika mereka masuk ke Tanoh Abee waktu itu. Kini menurut cerita Tgk.
M. Dahlan Al Fairusy selaku pimpinan pesantren sekaligus pengelola perpustakaan
kuno Tanoh Abee ini, jumlah kitab yang masih tersisa di perpustakaan ini
sekitar 3.000 naskah lagi. Sebagian disimpan di pesantren dan sebagian lagi
tersimpan di rumah Tgk. Dahlan agar tidak sampai hilang.
H.Harun Keuchik Leumiek DIANTARA kitab-kitab tulisan tangan yang masih utuh
terlihat di perpustakaan kuno Tanoh Abee adalah kitab karya ulama besar Aceh
Syeh Hamzah Fansury sebanyak 14 judul naskah. Karangan Syeh Syamsuddin as
Sumatrani 10 judul, karya Syeh Nuruddin Ar-Raniry 12 judul dan kitab karangan
Syeh Abdurrauf Al-Singkili: sebanyak 14 judul naskah.
POPULER
Suatu yang aneh, perpustakaan kuno Tanoh Abee dalam pemanfaatannya lebih
populer, di luar negeri dari pada di Aceh ataupun di Indonesia. Banyak para
ilmuan dari luar datang ke perpustakaan ini untuk mengadakan penelitian. Dari
buku tamu, mereka yang berkunjung ke perpustakaan kuno ini kebanyakan adalah
mahaguru (profesor). Doktor-Doktor dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika,
Australia, Negeri Belanda, Pakistan, Prancis, Inggris, India, dari Mesir, Arab
Saudi, bahkan dari Bangladesh. Kalau dari Malaysia tak terhitung jumlahnya.
Mereka yang berkunjung ke perpustakaan ini paling banyak. Dari perpustakaan ini
pula cukup banyak yang telah berhasil memperdalam ilmunya dalam penulisan tesis
atau disertasi dengan meneliti naskah dan kitab-kitab kuno yang terdapat di
perpustakaan Tanoh Abee. Dalam daftar buku tamu, yang berkunjung ke
perpustakaan ini, tampaknya memang lebih banyak dimanfaatkan oleh para ilmuan
luar negeri Mereka datang ke perpustakaan ini kadang menginap beberapa minggu
untuk meneliti naskah-naskah kuno tulisan tangan guna memperoleh informasi yang
diperlukan
KERTAS KUNO
Karena itu, perpustakaan Tanoh Abee ini lebih dikenal namanya di luar
negeri ketimbang dimanfaatkan oleh, ilmuan-ilmuan dari dalam negeri. Seperti
dalam buku tamu, di situ terdapat nama-nama antara lain: Dr. Daniel Berecelius
seorang professor Sejarah dari Universitas Los Angeles. Danny Lombard, profesor
sejarah dari Prancis yang menulis, buku paling lengkap tentang sejarah Sultan
Iskandar Muda. Dr. Russell Jones dari London yang khusus datang untuk meneliti
bentuk-bentuk kertas kuno yang dipakai dalam penulisan naskah tulisan tangan
yang terdapat di perpustakaan ini. Masih banyak ilmuan lainnya dari berbagai
negara yang datang ke perustakaan ini untuk tujuan penelitiannya.
SEGERA
DIBANGUN
Menyadari betapa pentingnya penyelamatan perpustakaan kuno Tanoh Abee
sebagai pusat pengembangan ilmu agama Islam, maupun sebagai warisan sejarah
Aceh yang sangat berharga, Gubernur NAD Abdullah Puteh memberi perhatian serius
terhadap kondisi perpustakaan Islam Tanoh Abee ini. Dalam kunjungannya ke
pesantren Tanoh Abee belum lama ini, sangat kagum melihat kitab-kitab kuno
karya ulama Acch terdahulu yang kini banyak tersimpan di perpustakaan pesantren
tersebut. Saat itu gubemur langsung memberitahu Wagub NAD Azwar Abubakar agar
segera membangun kernbali sebuah gedung perpustakaan, yang permanen dalam
komplek pesantren Tanoh Abee ini untuk menyimpan dan menyelamatkan
naskah-naskah hasil karya ulama Aceh dimaksud.
PUSAT
KAJIAN
Perpustakaan ini merupakan aset yang tak ternilai harganya. “Karena itu
seluruh santri di pesantren ini selain terus dapat mempelajari kitab-kitab
tersebut, juga sekaligus supaya merawatnya dengan baik,” ucap gubernur.
Menurutnya, semua peninggalan naskah diperpustakaan Tanoh Abee ini bukan saja
menjadi pusat kajian para ilmuan dalam negeri, tetapi juga peneliti dari
berbagai negara lainnya. Perhatian, Pemda NAD untuk membangun kembali
perpustakaan kuno Tanoh Abee ini, patut disyukuri tidak hanya oleh masyarakat
Aceh sendiri tapi juga oleh. seluruh umat Islam di Nusantara bahkan di Asia
Tenggara. Karena, perpustakaan Islam tertua ini telah cukup banyak memberikan
konstribusi bagi pengembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam di Nusantara dan Asia
Tenggara. Bahkan sampai ke negara-negara lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Pendeta Asal Aceh, Muhamad Husein HoseaDibenaknya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk pindah agama. Tapi rencana Tuhan lain. Di usianya yang tiga tahun, pria kelahiran Sigli...
-
Orang Aceh Di Gaji Belasan Juta Untuk Memurtadkan SaudaranyaGerakan Kristenisasi dan aksi pemurtadan semakin gencar dilakukan misionaris melalui LSM/NGO asing terhadap anak-anak dan masyarakat Aceh...
-
Sejarah Singkat Abu KeumalaSejarah Singkat Abu Keumala-Abu Keumala" itulah gelar untuk seorang Ulama populer Aceh yang bernama lengkap Teungku Haji Syihabudd...
-
Tante Girang Incar Berondong Di Kota LhokseumaweIni bukan film, tapi nyata terjadi di Kota Petro Dolar Lhokseumawe. Kelompok wanita usia 40an tahun aktif mengincar pemuda berpenampilan ...
-
Menyusuri Makam Raja JeumpaMengawali sejarah Kabupaten Bireuen, dulunya dikenal wilayah Jeumpa. Baru setelah pemekarannya dengan kabupaten induk yakni Aceh Utara, ...