breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Unlabelled / Seratusan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Aceh akan Datangi DPRA

Share This

BANDA ACEH - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Destika Gilang Lestari mengatakan, dalam waktu dekat seratusan keluarga korban pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) di Aceh, akan mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
"Tujuan mereka ke DPRA adalah untuk memberikan saran atau masukan kepada pihak dewan terkait Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata koordinator Kontras Aceh dalam diskusi Publik yang bertema Membedah Draft Final Raqan KKR Aceh, Mendengar Suara Korban Pelanggaran HAM, Jumat (6/12) di Cafee Three in One,Banda Aceh.
Terkait materi Qanun KKR, Destika menjelaskan, saat ini beberapa lembaga yang bergerak dalam isu HAM telah melakukan diskusi dengan masyarakat korban kekerasan HAM di Aceh terkait isi materi Qanun KKR.
"Banyak kritikan yang muncul dalam diskusi yang kami lakukan. Jadi masukkan dan kritikan masyarakat tersebut, yang akan diberikan kepada DPRA sebelum qanun difinalkan," jelasnya.
Sementara itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Mustiqal Syah Putra menambahkan, ada beberapa point yang mendapatkan kritikan dari masyarakat korban konflik, misalnya dalam qanun tersebut tidak menjelaskan jangka waktu keberadaan KKR Aceh.
"KKR di Aceh bersifat permanen, padahal di berbagai negara KKR bersifat sementara, sebab kasus yang akan ditangani adalah pelanggaran HAM masa lalu, karena dalam pasal 19 Rancangan Qanun KKR disebutkan bahwa pengungkapan kebenaran untuk Aceh fokus 2 tahap, yakni tahap pertama antara tahun 1976 - 2005 dan tahap kedua sebelum tahun 1976," tambahnya.
Selain itu, Mustiqan menambahkan, dalam pasal 3 ayat 2 juga mendapatkan kritikan terkait jabatan komisioner, belum lagi Pasal 36 yang menyebutkan 'untuk proses rekonsiliasi akan dilakukan oleh lembaga Wali Nanggroe', poin ini berpotensi menghadirkan transaksional politik mengingat posisi wali nanggroe masih mengundang perdebatan di pemerintah pusat.
"Pasal 26 ayat 5 juga mendapatkan kritikan karena dalam point tersebut menyebutkan 'upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah aceh dan pemerintah kab/kota serta berbaga pihak lain dapat digolongkan sebagai kegiatan reparasi untuk para korban', sehingga dalam pasal ini menghadirkan kesan bahwa bantuan yang pernah diberikan kepada korban konflik selama ini bisa jadi merupakan bagian hasil kerja KKR ke depan dan ini cukup aneh," ujarnya.
Disisi lain, Direktur NGO-HAM Aceh Zulfikar juga menilai kelemahan lain yang sangat fatal dari rancangan Qanun KKR adalah, tidak adanya perlindungan bagi para saksi dan korban.
"Seharusnya qanun ini memikirkan keamanan para saksi dan korban yang dimintai keterangan, jikta tidak bisa jadi masyarakat akan takut memberikan keterangan karena adanya potensi ancaman dari pihak tertentu," imbuhnya.(acehonline.info).

«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama