breaking

budaya

Mengibarkan Haba Aneuk Nanggroe Atjeh (HANA). Diberdayakan oleh Blogger.

NATIJAH

NATIJAH

HUKUM DAN KRIMINAL

HUKUM DAN KRIMINAL

NANGGROE

NANGGROE

atjeh

atjeh

nasional

nasional

SYA'E

clean-5

HADIH MAJA

/ / Unlabelled / KOMNAS HAM

Share This
PENGUATAN EKSISTENSI KELEMBAGAAN KOMNAS HAM
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
 A. Latar Belakang
Pada era reformasi ini terdapat sebuah fenomena baru dalam praktek ketatanegaraan Indonesia terutama dengan kehadiran lembaga-lembaga yang berbentuk komisi-komisi negara bersifat independen seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain-lain.[1] Dari sekian banyak komisi-komisi tersebut, keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut mendapat perhatian lebih karena lembaga inilah yang bisa dianggap sebagai embrional dari kemunculan aneka lembaga serupa yang dikenal dengan istilah state auxiliary agencies atau institutions,[2] dengan segala implikasinya bagi sistem ketatanegaraan Indonesia kontemporer.[3]
Jika melihat sejarah dibentuknya Komnas HAM, maka lembaga ini didirikan pada masa Orde Baru yang dasar hukum pembentukannya menggunakan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kemudian pada era reformasi keberadaan Komnas HAM lebih diperkuat lagi dengan diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan Komnas HAM pada awal pendiriannya sempat diragukan independensinya karena dianggap rentan oleh intervensi pemerintah. Komnas HAM terkesan tak lebih dari sebuah lembaga korporatisme negara yang dibentuk oleh pemerintah untuk meredam kritikan para aktivis HAM agar bergabung dalam derap himne otoritarianisme pemerintahan Orde Baru.[4] Komnas HAM dianggap hanya sebagai alat politik dari kepentingan penguasa Orde Baru untuk memulihkan citra negatif Indonesia dalam penegakan HAM.
Akan tetapi meski mendapat banyak kritikan, ternyata di luar dugaan Komnas HAM mampu memperlihatkan kinerja yang cukup baik dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kesuksesan Komnas HAM mendapatkan kepercayaan dari masyarakat semakin membuat publik memiliki ekspektasi tinggi akan keberhasilan kinerjanya. Apalagi ketika Indonesia memasuki era reformasi, maka Komnas HAM diharapkan dapat memberikan perlindungan dan penegakan HAM yang lebih baik. Namun sayangnya ternyata Komnas HAM masih belum mampu memenuhi harapan itu. Begitu banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi tidak dapat diselesaikan oleh Komnas HAM, baik itu merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada masa lalu seperti kasus Kedung Ombo, Lampung, penembakan mahasiswa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, sampai kasus-kasus yang paling mutakhir saat ini yaitu kasus Lapindo, hilangnya hak memilih masyarakat dalam pemilihan umum pada tahun 2009, kasus Mesuji, Bima dan lain-lain. Dengan kondisi seperti itu maka eksistensi Komnas HAM dipertanyakan karena dianggap tidak mampu dalam menjalankan fungsinya.
Ketidakberdayaan Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM secara maksimal tidak terlepas dari persoalan desain kelembagaannya yang masih mengandung sejumlah kelemahan. Seperti persoalan masih lemahnya independensi dan  kewenangan yang dimiliki, anggaran yang tidak mencukupi, tidak jelasnya kedudukan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan dan lain-lain. Meski sebenarnya ditinjau dari segi pengaturan kelembagaannya sekarang, keberadaan Komnas HAM jauh lebih kuat dibandingkan pada masa Orde Baru, akan tetapi hal tersebut masih belum memadai ketika dihadapkan pada tantangan dan kompleksitas persoalan HAM di Indonesia saat ini. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut terkait dengan eksistensi Komnas HAM, maka tulisan ini akan mengkaji persoalan kelembagaan Komnas HAM yang masih mengandung sejumlah kelemahan dan akan dilakukan upaya penguatannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

B. Persoalan Kelembagaan Komnas HAM
Eksistensi Komnas HAM saat ini dirasakan masih belum efektif dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dari segi pengaturan kelembagaannya masih mengandung sejumlah kelemahan dan tidak memadai dalam menghadapi begitu kompleksnya persoalan HAM di Indonesia. Adapun yang menjadi persoalan kelembagaan Komnas HAM, yaitu:
1. Dasar Hukum Pembentukan.
Komnas HAM dibentuk berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan tidak diatur berdasarkan UU khusus melainkan hanya menjadi bagian pengaturan dari UU lain. Padahal di beberapa negara lain khususnya di kawasan Asia Pasifik, keberadaan institusi HAM-nya diatur dengan UU khusus, malahan di Thailand dan Afrika Selatan diatur langsung dengan konstitusi. Keberadaan Komnas HAM selain tidak diatur dengan UU khusus, juga tidak diatur oleh UUD 1945 secara langsung meski di dalamnya terdapat pengaturan terhadap norma-norma HAM.
 Implikasinya, Komnas HAM tidak mempunyai legal standing untuk dapat menjadi pihak baik pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sehari-hari terutama dalam konteks hubungan kelembagaan dengan lembaga-lembaga negara lain, persoalan untuk terjadinya sengketa kewenangan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh Komnas HAM.
2. Persoalan Independensi dan Kedudukan sebagai Lembaga Negara
Eksistensi Komnas HAM sebagai lembaga independen diatur secara eksplisit oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[5] Meski Komnas HAM dinyatakan sebagai lembaga yang independen akan tetapi masih memiliki berbagai persoalan yang dapat mengganggu independensinya itu. Pertama, soal rekrutmen keanggotaan komisioner Komnas HAM yang harus melalui mekanisme fit and proper test dan mendapat persetujuan dari DPR serta diresmikan oleh Presiden. Dalam hal ini tentu saja menyebabkan Komnas HAM sebagai lembaga yang rentan untuk adanya intervensi kepentingan politik dalam pemilihan komisionernya. Dikhawatirkan komisioner yang terpilih sebenarnya lebih merefleksikan kepentingan politik yang dominan di DPR daripada integritas dan profesionalitasnya.
Kedua, sistem pendukung (support system) Komnas HAM adalah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan stafnya yang mempunyai status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal jika mengacu berdasarkan Prinsip-Prinsip Paris maka keterlibatan pegawai negeri atau pejabat pemerintah dalam sebuah institusi nasional HAM paling jauh hanya sebagai konsultan.[6] Hal ini dikhawatirkan dengan adanya sekretariat yang para personilnya terdiri dari PNS akan menyebabkan Komnas HAM rentan untuk diintervensi oleh pemerintah.
Ketiga, berkaitan dengan masalah minimnya alokasi dan mekanisme pengelolaan anggaran. Jumlah alokasi anggaran bagi Komnas HAM belum mencukupi untuk menopang pelaksanaan tugas, fungsi dan operasionalnya secara optimal. Begitu juga dengan mekanisme pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh sekretariat yang bersifat birokratis karena berdasarkan mekanisme pengelolaan keuangan negara. Hal ini kemudian berujung kepada benturan antara pola kerja Komnas HAM sebagai komisi independen yang harus fleksibel, dinamis dan responsif berhadapan dengan mekanisme pengelolaan keuangan negara yang birokratis.[7]
Selain itu berkaitan dengan kedudukannya, Komnas HAM adalah lembaga yang unik karena di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kedudukannya dirumuskan dengan istilah lembaga yang “setingkat lembaga negara”. Pengaturan kedudukan Komnas HAM sebagai lembaga yang “setingkat lembaga negara” telah menimbulkan banyak sekali penafsiran. Karena apakah yang dimaksud dengan perumusan seperti itu. Apakah setingkat lembaga negara berarti Komnas HAM adalah lembaga negara atau malahan bukan. Hal ini menyebabkan tidak jelasnya status kelembagaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan.  
3. Kewenangan yang belum memadai dan potensi sengketa kewenangan
Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM diberi tugas untuk melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan serta mediasi. Komnas HAM juga memiliki kewenangan sebagai penyelidik kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan berdasarkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM diberi wewenang sebagai pengawas dari pelaksanaan UU tersebut. 
Melihat sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM yang tersebar ke dalam beberapa UU seperti di atas, maka hal ini memperlihatkan tidak adanya sebuah desain kelembagaan Komnas HAM yang utuh dan komprehensif. Terkesan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM seperti tambal sulam dan tidak sebagai sebuah kewenangan yang secara sistemik melekat kepada lembaga tersebut dikaitkan dengan tujuan yang dimandatkan kepadanya.
Selain itu kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM itu dirasakan masih sangat lemah karena hanya sampai kepada tahapan memberikan rekomendasi yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Sebagai contoh dalam konteks kewenangan Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat, dimana banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang sudah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM malahan terhambat di Kejaksaan Agung karena tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dalam konteks ini Komnas HAM tidak berdaya untuk dapat memaksakan hasil penyelidikannya supaya ditindaklanjuti.
Persoalan banyaknya hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM masih tertahan di Kejaksaan, hal ini disebabkan oleh relasi institusional yang dikonstruksikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia antara Komnas HAM sebagai penyelidik pro-yustisia dan Kejaksaan Agung yang merupakan penyidik untuk kasus pelanggaran HAM yang berat.[8] Menurut Enny Soeprapto, pemisahan lembaga pelaksana fungsi penyelidikan, fungsi penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM yang berat seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000 itu, mengakibatkan ketidaklancaran hubungan antara kedua lembaga yang menjalankan fungsi tersebut yaitu Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Namun, haruslah dicatat bahwa ketidaklancaran hubungan itu tidak semata-mata disebabkan oleh pemisahan “fisik” antara lembaga pelaksana fungsi penyelidikan di satu pihak dan pelaksana fungsi penyidikan serta penuntutan di pihak lain, melainkan oleh sering tidak samanya persepsi masing-masing pihak mengenai permasalahan yang mereka tangani, yaitu pelanggaran HAM yang berat, beserta berbagai aspeknya.[9]
Begitu juga dalam konteks pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu seperti yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, yang juga menimbulkan permasalahan terkait tidak jelasnya mekanisme hubungan kelembagaan antara Komnas HAM, DPR, dan Presiden. Karena hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM yang seharusnya dijadikan dasar untuk penyidikan dan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dapat saja diabaikan oleh DPR.[10]
Problem lainnya berkaitan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden untuk menetapkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas usul dari DPR. Di sini tidak ada ketentuan berapa lama jangka waktu yang mengharuskan Presiden untuk mengeluarkan Keppres tersebut setelah menerima usul dari DPR. Sebagai contoh adalah hasil rekomendasi Pansus DPR tentang Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997/1998, dimana DPR telah meminta dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc namun belum ditindaklanjuti oleh Presiden sampai sekarang. Persoalan-persoalan hubungan kelembagaan tersebut tentu saja berdampak kepada ketidakjelasan terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada dan Komnas HAM tidak dapat melakukan tindakan apa-apa untuk menyelesaikan karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki.

C. Penguatan Kelembagaan Komnas HAM dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Melihat pengaturan kelembagaan Komnas HAM saat ini yang masih banyak mengandung sejumlah kekurangan sehingga berimplikasi belum efektif dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Untuk mengatasi persoalan tersebut harus dilakukan penguatan kelembagaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Adapun penguatan ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Memperkuat dasar hukum pembentukan Komnas HAM
Upaya memperkuat kelembagaan Komnas HAM harus dimulai dengan melakukan penguatan terhadap dasar hukum pembentukannya yaitu dengan diatur langsung oleh konstitusi. Caranya adalah amandemen terhadap UUD 1945 dalam rangka melakukan pengaturan serta penataan terhadap eksistensi Komnas HAM dan juga terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, terutama keberadaan sejumlah komisi-komisi independen, berkaitan dengan kedudukan, tugas, fungsi, wewenang, dan hubungan kelembagaannya yang harus diatur oleh konstitusi.
Keberadaan Komnas HAM sebagai lembaga yang diatur langsung oleh UUD 1945 akan membawa implikasi, pertama, mempertegas kedudukannya sebagai lembaga negara bukan hanya sebagai lembaga yang setingkat dengan lembaga negara seperti yang diatur selama ini; kedua, Komnas HAM akan memiliki legal standing untuk menjadi pihak baik sebagai pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan dapat menjadi solusi untuk memperjelas hubungan kelembagaan antara Komnas HAM dengan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga dapat menghindari terjadinya overlapping dalam pelaksanaan tugas dan fungsi; ketiga, semakin mempertegas urgensi keberadaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena tugas dan fungsi yang dimilikinya merupakan fungsi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara modern yaitu memberikan perlindungan dan penegakan HAM.
Diharapkan bahwa dengan menjadikan Komnas HAM sebagai organ konstitusi akan membuat lembaga ini menjadi lebih berwibawa berhadapan dengan lembaga-lembaga dan pihak-pihak lain dalam kerangka pelaksanaan tugasnya. Selain itu sejumlah kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM juga harus diperkuat dan untuk pengaturan lebih rinci tentang organisasi kelembagaannya akan diatur dengan UU khusus.
2. Memperkuat independensi Komnas HAM
Implikasi Komnas HAM sebagai lembaga yang independen berarti lembaga ini harus berdiri di antara pemerintah dan masyarakat sipil, yaitu sebagai suatu lembaga quasi pemerintah. Di satu pihak keberadaan Komnas HAM meskipun sebagai lembaga negara tidaklah untuk menggantikan institusi pengadilan atau lembaga legislatif melainkan melengkapi fungsi tersebut. Di pihak lain,  Komnas HAM haruslah tetap independen dari lembaga eksekutif maupun lembaga pemerintah lainnya.[11] Sebagai lembaga independen maka Komnas HAM adalah lembaga yang harus bekerja secara terpisah dari pemerintah, partai politik, legislatif serta semua lembaga dan situasi yang mungkin dapat mempengaruhi kinerjanya. Namun pengertian independen di sini bukan berarti sama sekali tidak ada hubungan dengan pemerintah, akan tetapi dimaksudkan tidak adanya intervensi pemerintah maupun pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Untuk mewujudkan Komnas HAM yang independen maka dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, melalui penataan proses rekrutmen anggota Komnas HAM; mekanisme rekrutmen komisioner Komnas HAM yang melalui fit and proper test dan harus mendapat persetujuan dari DPR memang rentan untuk adanya intervensi kepentingan politik. Hal ini dapat diminimalisir dimana Komnas HAM diberi kewenangan untuk merekrut anggotanya sendiri dengan membentuk tim seleksi independen. Tim ini yang nantinya akan melakukan seleksi terhadap para calon anggota Komnas HAM. Diharapkan dari seleksi oleh tim independen ini akan dihasilkan sejumlah anggota Komnas HAM yang berkualitas, independen dan berintegritas. Oleh karena itu siapapun yang terpilih adalah mereka yang layak untuk menjadi anggota Komnas HAM bukan berdasarkan pertimbangan politik di DPR seperti selama ini. 
Selain mekanisme perekrutan maka dalam konteks wewenang melakukan pemberhentian sangat berkaitan erat juga dengan independensi Komnas HAM sehingga harus diatur serinci mungkin keadaan yang dapat menyebabkan diberhentikannya anggota Komnas HAM. Misal seperti adanya situasi yang berhubungan dengan adanya pelanggaran hukum serius oleh anggota Komnas HAM atau karena tidak mampu lagi dalam menjalankan pekerjaan karena sakit secara terus menerus sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai dasar pemberhentian. Mekanisme pemberhentian anggota ini sebaiknya diserahkan juga kepada mekanisme internal Komnas HAM melalui rapat paripurna. Selain itu untuk menjamin independensinya maka para anggota Komnas HAM dan stafnya harus diberi hak imunitas yaitu hak untuk mendapatkan kekebalan hukum atas pelaksanaan tugas dan fungsinya dari ancaman gugatan baik secara perdata maupun pidana yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja dari Komnas HAM.
Kedua, penataan terhadap sekretariat sebagai sistem pendukung (support system); Keberadaan sekretariat Komnas HAM yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan para stafnya yang mempunyai status sebagai PNS memang tidak sesuai dengan Prinsip-Prinsip Paris yang hanya memperbolehkan keterlibatan unsur pemerintah atau PNS dalam hubungannya dengan institusi nasional HAM sebagai penasehat atau konsultan semata tetapi tidak merupakan bagian dari struktur kelembagaan. Hal ini dimaksudkan supaya institusi nasional HAM tersebut tidak rentan untuk diintervensi.
Akan tetapi di Indonesia karena mekanisme pengelolaan anggaran negara harus dilaksanakan oleh struktur satuan kerja yang personilnya berstatus pegawai negeri sehingga Komnas HAM yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN tidak dapat menghindar untuk adanya keterlibatan PNS di dalam sekretariatnya. Untuk menghindari adanya intervensi dari pemerintah dalam konteks penguatan independensi Komnas HAM maka para personil PNS yang ada di sekretariat sebaiknya direkrut dan bertanggung jawab langsung kepada Komnas HAM. Selain itu juga sekretariat Komnas HAM harus didukung oleh para staf yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sehingga memiliki kapasitas yang memadai dalam rangka mendukung kinerja kelembagaan Komnas HAM.         
Ketiga, berkaitan dengan masalah alokasi dan mekanisme pengelolaan anggaran bagi pembiayaan Komnas HAM; supaya Komnas HAM dapat berfungsi secara efektif dan independen harus ditopang dengan alokasi anggaran yang memadai dan mekanisme pengelolaan anggaran yang tepat dalam kerangka mendukung mekanisme kerja dari Komnas HAM.  Untuk mewujudkan independensi Komnas HAM maka harus adanya independensi melalui otonomi keuangan dimana Komnas HAM diberikan tanggung jawab untuk merancang anggaran tahunannya sendiri yang kemudian diberikan langsung kepada DPR untuk disetujui. Peran DPR dalam urusan anggaran Komnas HAM, hanya terbatas pada pemeriksaan dan evaluasi laporan keuangan yang disampaikan oleh Komnas HAM setiap tahunnya.
3. Memperkuat kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM
Selama ini sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM dirasakan belum memadai sehingga dirasakan tidak efektif dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu untuk meningkatkan dan memperkuat efektivitas kelembagaan Komnas  HAM selain dengan memperkuat kewenangan yang sudah ada maka harus juga dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk dapat melakukan penyidikan terhadap adanya kasus pelanggaran HAM yang berat dimana ditegaskan bahwa posisi Kejaksaan Agung hanya bertindak sebagai penuntut.
Kedua, dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, maka lembaga yang berwenang untuk merekomendasikan  pembentukannya kepada Presiden adalah Komnas HAM. Di sini DPR tidak lagi dijadikan sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc seperti sebelumnya, dengan pertimbangan karena DPR sebagai lembaga politik tidak tepat untuk dilibatkan dalam proses hukum penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Selain itu, ditentukan jangka waktu yang harus dipenuhi oleh Presiden dalam mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc setelah menerima rekomendasi dari Komnas HAM.    
Ketiga, memperkuat kewenangan Subpoena bagi Komnas HAM terkait kewenangan pemanggilan orang dimana Komnas HAM harus diberikan kewenangan untuk melakukan adanya pemanggilan paksa. Setiap orang yang diperlukan kehadirannya, keterangan, kesaksian, pernyataan, atau kerja samanya oleh Komnas HAM yang jika dipanggil berturut-turut tiga kali, tetapi tidak datang, maka Komnas HAM berwenang meminta bantuan Polri untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.[12]
Keempat, dalam kewenangan pemberian rekomendasi oleh Komnas HAM, maka setiap pihak yang menerima rekomendasi tersebut wajib untuk melaksanakannya. Dalam hal pihak penerima rekomendasi tidak bersedia melaksanakan seluruh atau sebagian rekomendasi, maka pihak penerima rekomendasi wajib menjelaskan secara tertulis kepada Komnas HAM tentang ketidakbersediaannya itu dalam jangka waktu paling lama tujuh hari. Apabila Komnas HAM tidak dapat menerima alasan dari penerima rekomendasi, Komnas HAM dapat mengajukan penetapan pengadilan.[13]
4. Pembentukan Komnas HAM di setiap Provinsi
Saat ini Komnas HAM hanya memiliki Perwakilan di Papua dan Kantor Perwakilan di Aceh, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Selama ini pendirian kantor perwakilan dan perwakilan Komnas HAM lebih diprioritaskan kepada daerah-daerah yang mempunyai potensi konflik dan belum menyebar ke seluruh Indonesia yang terutama disebabkan oleh persoalan minimnya dana. Hal ini jelas memperlihatkan masih belum optimalnya efektivitas dan aksesibilitas bagi jangkauan pelayanan yang dapat diberikan oleh Komnas HAM kepada masyarakat. Oleh karena itu perlunya penguatan kelembagaan yang komprehensif bagi Komnas HAM agar mudah diakses oleh semua pihak dengan cara membentuk kantor perwakilan di setiap Provinsi.
5. Peningkatan Kerjasama Komnas HAM dengan berbagai Pihak
Dalam konteks penguatan kelembagaan maka Komnas HAM harus membangun kerjasama dengan berbagai pihak baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Di tingkat nasional, kerjasama dengan lembaga pemerintah adalah sangat penting bagi Komnas HAM terutama dapat menggunakan sumber daya dan keahlian yang tersedia yang ada di lembaga-lembaga pemerintah untuk meningkatkan efektivitas fungsinya. Kemudian Komnas HAM harus menjalin kerjasama dengan Organisasi non pemerintah (Ornop), karena dukungan dari Ornop akan sangat berguna bagi Komnas HAM dalam meningkatkan aksesibilitas kelembagaan dimana Ornop sering berperan memfasilitasi pengaduan dari korban pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Ornop juga dapat dijadikan sebagai mitra kerja dalam program-program seperti pendidikan, pelatihan, dan penyebarluasan informasi tentang HAM. Selain itu Komnas HAM harus membangun kerjasama dengan media massa karena media sebagai sumber informasi yang utama bagi masyarakat dan sangat kuat dalam membentuk serta mempengaruhi sikap dan opini publik.
Dalam konteks internasional, Komnas HAM harus berperan aktif dalam menjalin dan meningkatkan kerjasama baik dengan berbagai institusi nasional HAM yang ada di negara-negara lain, maupun meningkatkan kerjasama di tingkat subregional seperti ASEAN, di tingkat regional Asia Pasifik dan di tingkat internasional yaitu PBB. Oleh karena itu untuk menjadikan Komnas HAM sebagai institusi nasional HAM yang efektif harus selalu berupaya menjalin dan meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak.

D. Penutup 
Eksistensi Komnas HAM sebagai institusi nasional HAM masih memiliki sejumlah kelemahan mulai dari persoalan belum optimalnya dasar hukum pembentukan, pendanaan yang minim, belum jelasnya hubungan kelembagaan dengan lembaga-lembaga negara lain, ketidakjelasan kedudukan, persoalan independensi, terbatasnya kewenangan dan aksesibilitas kelembagaan, dimana hal itu semua memperlihatkan bahwa eksistensi Komnas HAM di Indonesia belum merupakan sebagai sebuah institusi nasional HAM yang efektif.
Oleh karena itu untuk memperkuat eksistensi kelembagaan Komnas HAM dalam sistem ketatanegaraan Indonesia harus dilakukan penguatan dasar hukum pembentukannya dengan diatur langsung oleh konstitusi, penguatan independensi kelembagaan dan kewenangan, alokasi anggaran yang memadai, memperluas akses pelayanan dengan pembentukan Komnas HAM di setiap Provinsi, serta menjalin dan meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak baik di level nasional maupun internasional. Penguatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kelembagaan Komnas HAM yang efektif dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Makalah
Asplund, Knut D dkk (Ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta.

Hidayat, Arief dkk, 2010, Penataan Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Lembaga Penunjang Negara (Auxiliary State organ) dalam Rangka Mewujudkan Sistem Ketatanegaraan yang Efektif dan Efisien, Kerjasama Dewan Ketahanan Nasional dengan Univesitas Diponegoro, Semarang.

Huda, Ni’matul, 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta,

Jentera Jurnal Hukum, Edisi 12 tahun III, April-Juni 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

Kasim, Ifdhal, 2011, Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini, Jurnal HAM Dignitas: HAM dan Realitas Transisional, Elsam, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara, 2009, Kajian tentang Penataan Mekanisme Hubungan Antar Lembaga Negara, Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi Negar, Jakarta.

Pratikno, Cornelis Lay dkk, 2002, Komnas HAM 1993-1997: Pergulatan dalam Otoritarianisme, FISIPOL UGM, Yogyakarta.

                , 2002, Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi politik, Fisipol UGM, Yogyakarta.

Soeprapto, Enny, 2011, Meninjau Ulang UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan berkerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo, Yogyakarta, 8-10 Juni 2011.

                , 2011, Meninjau Ulang UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan berkerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo, Yogyakarta, 8-10 Juni 2011.

Internet
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/05/03024410/Komnas.HAM.Ajukan.Penguatan.Kewenangan, diakses pada tanggal 21 April 2012.

http://www.komnasham.go.id



[1]Persoalan utama dari kehadiran begitu banyaknya komisi-komisi negara independen dalam struktur ketatanegaraan Indonesia adalah mereka tidak dibentuk berdasarkan desain konstitusional yang dapat menjadi payung hukum keberadaannya, tapi hanya berdasarkan isu-isu parsial, insidental dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Setidaknya hal ini mengakibatkan munculnya dua permasalahan, pertama, persoalan legitimasi yuridis bagi keberadaan komisi-komisi itu sangat lemah, sehingga akan mudah terkendala dalam menjalankan kewenangannya; kedua, komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri tanpa tersedia sistematisasi kerja sinergis yang bisa saling mendukung satu sama lain sehingga hasil kerja suatu komisi seringkali tidak termanfaatkan dengan baik oleh komisi lainnya. Lihat A. Ahsin Thohari, 2006, Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jentera Jurnal Hukum: Komisi Negara, Edisi 12 tahun III, April-Juni 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 32-33.
[2]secara teoretis banyak penyebutan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena keberadaan sejumlah komisi-komisi negara dalam sistem ketatanegaraan suatu negara termasuk Indonesia yaitu ada yang menyebutnya state auxiliary agencies, state auxiliary institutions, independent and self regulatory bodies, lembaga ekstra struktural, lembaga kuasi negara, lembaga negara bantu, lembaga sampiran negara, lembaga penunjang dan lembaga non struktural. Lihat Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 197.  
[3]Cornelis Lay, 2006, State Auxiliary Agencies,…., Op.Cit, hlm. 5.
[4]Pratikno, Cornelis Lay dkk, 2002, Komnas HAM 1993-1997: Pergulatan dalam Otoritarianisme, FISIPOL UGM, Yogyakarta,  hlm. 4.
[5]Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 39 Tahun 1999  tentang Hak Asasi Manusia bahwa Komnas HAM adalah: “sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia”.
[6]Knut D Asplund dkk (Ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, hlm. 284.
[7]Arief Hidayat dkk, 2010, Penataan Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Lembaga Penunjang Negara (Auxiliary State organ) dalam Rangka Mewujudkan Sistem Ketatanegaraan yang Efektif dan Efisien), Kerjasama Dewan Ketahanan Nasional dengan Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 20.
[8]Ifdhal Kasim, 2011, Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini, Jurnal HAM Dignitas: HAM dan Realitas Transisional, Elsam, Jakarta, hlm. 81.
[9]Enny Soeprapto, 2011, Meninjau Ulang UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM Lanjutan untuk Dosen Hukum dan HAM, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan berkerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo, Yogyakarta, 8-10 Juni 2011, hlm. 23-26.   
[10] Malahan DPR kadang menyimpulkan sendiri atas ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat terhadap suatu peristiwa dengan tanpa memperhatikan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hal ini dapat dilihat berdasarkan sejumlah kasus dimana DPR pada periode 1999-2004 telah menyatakan tidak terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisakti 1998, Semanggi 1998 dan 1999 dan oleh karena itu tidak mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk perkara-perkara tersebut. Ibid, hlm. 20-21.
[11]Knut D. Asplund, dkk (Ed), 2008, Hukum Hak…, Op.Cit, hal. 283.
[13]Ibid.
«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

This is the last post.